Menuju konten utama

Rugi & PHK Pekerja, Indosat Masih Layak Dipelihara Negara?

Indosat masih mengalami kerugian dan melakukan PHK Karyawan. Urgensi kepemilikan saham pemerintah di perusahaan tersebut dipertanyakan.

Rugi & PHK Pekerja, Indosat Masih Layak Dipelihara Negara?
indosat ooredoo di yogyakarta. tirto/danna c

tirto.id - PT Indosat Ooredoo (Persero) Tbk masih belum keluar dari tekanan keuangan. Terakhir, perusahaan yang 14,29 persen sahamnya dimiliki pemerintah itu menawarkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada 677 karyawan.

Director & Chief of Human Resources Indosat Irsyad Sahroni mengatakan PHK adalah bagian dari efisiensi, dan efisiensi dibutuhkan agar perusahaan bisa bertahan, bahkan tumbuh di tengah persaingan yang kian ketat.

"Kami telah mengkaji secara menyeluruh semua opsi, hingga pada kesimpulan bahwa kami harus mengambil tindakan yang sulit ini," ujar Irsyad, Sabtu (15/2/2020) pekan lalu.

Dalam laporan keuangan kuartal III 2019, emiten berkode ISAT itu tercatat masih rugi sebesar Rp284,59 miliar. Beban karyawan menjadi salah satu penyebab tekornya neraca hingga Rp2,4 triliun di tahun 2018berbanding terbalik dengan tahun 2017 yang mencetak laba hingga Rp1,135 triliun.

Sepanjang tahun tersebut, ongkos yang dikeluarkan ISAT untuk upah dan tunjangan karyawan meningkat sebesar 10,7 persen dari Rp2,022 triliun menjadi Rp2,238 triliun.

Pengamat telekomunikasi Heru Sutadi mengatakan, PHK di Indosat wajar meski jumlah karyawan perusahaan itu menyusut dari 4.392 (akhir 2017) menjadi 3.700 karyawan (akhir 2018). Soalnya, menurut dia, rasio efisiensi atau perbandingan antara jumlah pelanggan dan karyawan ISAT jauh lebih rendah dibandingkan Telkomsel.

Idealnya, menurut Heru, karyawan Indosat Ooredoo hanya di kisaran 2.000.

Meski demikian, sebenarnya jumlah karyawan tak bisa jadi satu-satunya dalih kerugian. Perkembangan teknologi telekomunikasi yang distruptif tidak bisa tidak mempengaruhi kinerja perusahaan. Satu contoh saja, Indosat tak bisa lagi mengandalkan layanan voice dan SMS yang dengan cepat tergantikan layanan data.

Sepanjang 2018, pendapatan Indosat anjlok menjadi Rp23,139 triliun dari tahun sebelumnya sebesar Rp29,92 triliun.

Pertumbuhan pendapatan voice ISAT sendiri terus melambat dalam tiga tahun terakhir, yakni 31,9 persen (2016), 28,9 persen (2017) dan 25,1 persen (2018). Sementara dari layanan SMS, pertumbuhan pendapatannya berturut-turut sebesar 20,6 persen (2016), 15,6 persen (2017) dan 8,6 persen (2018).

Perlukah Indosat Dipertahankan?

Kinerja Indosat yang kurang mentereng sejak 2018 nampaknya perlu jadi pertimbangan pemerintah apakah tetap mempertahankan kepemilikan saham atau tidak. Apalagi, pemerintah telah memiliki PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) yang bergerak dalam bisnis serupa—lewat anak usahanya PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel).

Telkom menguasai 59,1 persen pasar pelanggan seluler dan jadi satu-satunya perusahaan yang mencatatakan laba bersih positif.

Analis Saham Muhammad Nafan Aji mengatakan pemerintah perlu fokus untuk mengembangkan bisnis Telkom mengingat pertumbuhan Industri telekomunikasi masih cukup prospektif: mengalami pertumbuhan 9,41 persen atau lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.

Jangan sampai, kata dia, pemerintah seperti membesarkan dua anak kandung yang justru saling berebut 'makanan'.

"Pemain-pemain besar yang memiliki SDM unggullah yang bisa meningkatkan penetrasi pasar," kata Aji kepada reporter Tirto, Senin (17/2/2020). Dibanding Indosat, Telkomsel-lah yang lebih mampu untuk melakukan itu.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI TELEKOMUNIKASI atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana