Menuju konten utama

Rucker Park: Kiblat dan Ruang Berseminya Kultur Basket New York

Rucker Park adalah Makkahnya para pemain dan pencinta basket. Tidak peduli amatir atau profesional, semua bisa bertanding di sini.

Rucker Park: Kiblat dan Ruang Berseminya Kultur Basket New York
Holcombe Rucker Park, New York. AP / John Minchillo

tirto.id - Jika diminta menyebut nama-nama pemain basket paling jago dalam sejarah NBA, para fan hampir pasti selalu menyebut Wilton Norman Chamberlain sebagai salah satunya. Pada 1978, mantan pemain Philadelphia 76ers (Sixers) itu masuk dalam Basketball Hall of Fame. Lalu, pada 1996, namanya masuk jajaran 50 Greatest Players in NBA History.

Rekor-rekor yang pernah dia catatkan selama aktif sebagai pemain profesional membuktikan kelayakannya. Situs NBA menyebut, dia adalah satu-satunya pemain NBA yang mencetak 4.000 poin dalam satu musim. Pemain berposisi center ini mengejutkan khalayak dengan capaian 50,4 poin per game selama musim 1961-62.

Sepanjang kariernya, Chamberlain membukukan total 31.419 poin. Raihan itu sempat menempatkannya sebagai pencetak poin terbanyak dalam sejarah NBA sebelum akhirnya dilampaui Kareem Abdul Jabbar. Rekor terhebat peraih dua kali juara NBA ini adalah kala dirinya mencetak 100 poin dalam satu pertandingan pada Maret 1962. Belum ada pebasket NBA lain yang mampu melampaui rekor itu hingga kini,

“Namanya muncul begitu sering dalam buku rekor hingga menjadi jawaban default setiap kali muncul pertanyaan tentang rekor skor di NBA,” tulis situ NBA.

Kecemerlangan pemain yang lahir pada 21 Agustus 1936 itu sudah tampak sejak dia masih kuliah. Sebelum memulai kiprah profesional di NBA, penggemar basket era akhir 1950-an mendapati Chamberlain beraksi pertama kali di Rucker Park, Harlem. Bagi khalayak New York, Rucker Park bukan lapangan basket biasa. Pasalnya, banyak calon pemain NBA yang mengasah kemampuan di taman itu.

Chamberlain adalah salah satu contoh bagaimana kultur basket di Rucker Park sukses membawa pemain muda menembus NBA. Para pemain NBA jebolan Rucker Park pun tidak segan untuk datang bermain lagi di taman itu. Mereka biasa melakukan tanding spesial melawan bintang lokal atau sesama pemain NBA lainnya.

Chamberlain pun sering “berziarah” ke Rucker Park. Lain itu, Julius Winfield Erving II atau akrab disapa Dr. J dari Philadelphia Sixers, Nathaniel “Tiny” Archibald dari Boston Celtics, hingga Kareem Abdul-Jabbar dari Los Angeles Lakers juga pernah bermain di Rucker Park.

Rucker Park sudah laiknya Mekkah bagi para pencinta basket NBA. Hingga abad 21, tradisi “ziarah” ke Rucker Park terus berlangsung. Pada tahun 2002 misalnya, Stephon Marbury, Jermaine O’neal, dan Baron Davis ikut kompetisi di sana. Ketiganya pemain terkenal yang pernah terpilih dalam All-Star Game di NBA.

Pada 2010, giliran legenda Michael Jordan berkunjung ke Rucker Park. Kevin Durant yang pernah dua kali juara NBA juga datang pada 2011. Mengapa Rucker Park bisa sepopuler dan berpengaruh macam itu?

Institusi Pendidikan Jalanan

Rucker Park kini berada persis di persimpangan Jalan 155 dan Frederick Douglas Boulevard, Harlem, Amerika Serikat. Namun, itu adalah nama dan lokasi yang dibangun belakangan untuk mengenang Holcombe Rucker.

Rucker lahir di Harlem pada April 1926. Sejak kecil dia tumbuh bersama nenek Rosa Deniston dengan keuangan pas-pasan. Rucker muda mahir bermain basket dan tergabung dalam tim SMA Benjamin Franklin. Saat Perang Dunia II berkecamuk, Rucker keluar dari sekolah dan ikut berpartisipasi dalam militer.

Setelah perang berlalu, pada 1946, Rucker pulang dan mendedikasikan dirinya untuk memajukan Harlem.

Modal Holcombe Rucker adalah kasih sayang, ilmu, dan basket. Selalu begitu,” tulis Jesse Washington di laman ESPN.

Pada 1948, Rucker memulai pekerjaannya di New York City Department of Parks and Recreation. Di sela waktu kerjanya, Rucker juga menjadi pelatih basket bagi remaja komunitas Gereja Saint Philips. Sebagai pelatih, Rucker punya motto: each one, teach one.

Rucker tak hanya melatih mereka basket, tapi juga membantu mereka belajar. Baginya, pengetahuan dan kemahiran basket saling melengkapi.

Rucker tidak pernah setengah-setengah dalam urusan basket. Vincent M. Mallozzi dalam buku Asphalt Gods: An Oral History of the Rucker Tournament (2003) menyebut, suatu saat, Rucker pernah kesal pada tim Saint Phillips yang dilatihnya karena bermain seenaknya dalam sebuah pertandingan. Mereka mengoper bola sembarangan dan melakukan langkah-langkah yang lincah dan mencolok. Tampak trendi dan menarik ditonton memang, tetapi timnya justru tertinggal 30 angka.

Saat istirahat jelang babak kedua, Rucker mengeluh dan meneteskan air mata. Dia kecewa karena anak-anak itu telah mengkhianati harapannya.

“Selama ini aku sudah mengajar kalian semampuku,” kata Rucker. “Dan kalian justru bermain seperti sampah?”

Charles Turner, salah satu pemain dalam tim itu, tak bisa melupakan kejadian di ruang ganti itu. Turner langsung tersadar dirinya bermain tidak disiplin. Turner dan kawan-kawannya tak banyak bicara setelah itu, tapi menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya di lapangan.

“Kami akhirnya membalik keadaan dan justru menang 30 angka,” aku Turner.

Menurut Turner, Rucker sangat tegas dalam masalah pendidikan. Sampai-sampai, dia menentukan siapa yang bisa ikut bermain dalam timnya berdasarkan prestasi di sekolah. Jika nilai-nilai pelajaran anak asuhnya tak memuaskan, Rucker tidak akan menurunkannya untuk bermain.

Dengan cara itu, setidaknya, Rucker memberi pilihan lain bagi anak-anak jalanan, terutama keturunan Afrika-Amerika bahwa mereka punya masa depan selain menjadi gangster dan berakhir di penjara.

“Rucker bukan orang gemuk yang mendapat uang hanya dengan membersihkan taman. Dia Direktur di Dinas Pertamanan yang menolong ribuan anak Harlem untuk bisa lanjut kuliah dan menjauhkan ribuan lainnya dari jalanan agar tak masuk penjara,” ucap Turner.

Dedikasi Rucker terhadap Harlem dan basket makin kuat saat dia menginisiasi turnamen basket musim panas. Lagi-lagi, tujuannya hanya satu: menjauhkan anak-anak dari jalanan dan dan kriminalitas. Turnamen musim panas itu pertama kali diadakan pada 1950 di taman dekat Gereja Saint Philips.

Pada 1964, Rucker meninggal karena komplikasi kanker yang dideritanya. Sepeninggal Rucker, Bob McCullough dan Fred Crawford—pemain NBA yang pernah dididik Rucker—menciptakan Rucker Pro League. Turnamen itu diadakan setiap musim panas untuk menghormati mendiang Rucker.

Turnamen ini diadakan di sebuah taman di Jalan 155 yang dinamai Holcombe Rucker Park sejak 1974.

Infografik Rucker Park

Infografik Rucker Park. tirto.id/Fuad

Terjerumus Narkoba

Sejak 1970-an, Rucker Park tumbuh jadi ruang bergengsi bagi pebasket amatir dan profesional. Taman ini adalah tempat berseminya para pebasket jalanan terkenal macam Earl “Black Jesus” Monroe, Joe "The Destroyer" Hammond, Robert “Bob” McCullough, Richard “Pee Wee” Kirkland, hingga Cornelius Lance Hawkins.

Kareem Abdul-Jabbar, salah satu bintang LA Lakers, bahkan pernah menyatakan bahwa salah satu pertandingan tersulit yang pernah dia ikuti adalah saat melawan Monroe di Rucker Park. Monroe saat itu bahkan belum menjadi pemain NBA.

Banyak pebasket muda yang berlatih di Rucker Park punya kans besar menembus NBA. Namun, tidak semua jebolan Rucker Park sukses karena ada pula yang terjerembab gara-gara narkoba. Salah satunya adalah Kirkland yang pernah hendak direkrut Chicago Bulls pada 1969. Konon, Kirkland mementahkan tawaran itu karena tak ingin menjadikan basket sebagai karier tunggal. Menurutnya, main basket sambil berdagang narkoba lebih menguntungkan daripada terpaku pada karier atlet.

Hammond juga menolak tawaran bermain di NBA dengan alasan serupa: lebih banyak uang di jalanan. Padahal, kemampuan Hammond mengolah bola basket tidak sembarangan. Hammond pernah mencetak 50 angka hanya dalam waktu setengah babak kala melawan tim yang diperkuat pemain NBA Julius Erving.

Di luar Harlem, New York, dan Amerika, Hammond tidak begitu tenar. Itu karena dia banyak menghabiskan waktu di penjara gara-gara terbelit kasus narkoba. Sama belaka dengan Kirkland, Hammond jugaterjerat narkoba dan jadi pengedar.

“Sungguh menyakitkan jika mereka yang kukenal melihatku yang seperti ini. Aku tidak ingin mereka mengingatku karena narkoba. Bagi kebanyakan dari mereka, aku masih seorang legenda," kata Hammond kepada reporter Slamonline sekira 2008.

Kegagalan terbesar seorang bintang Rucker Park menembus kancah profesional adalah kasus Earl “The Goat” Manigault. Meski prestasi akademiknya tak seberapa, kemampuan basketnya tergolong istimewa.

Di lapangan yang hanya beralaskan beton, keranjang tanpa jaring, dan arena yang dibatasi pagar, Earl “The Goat” Manigault terbang. Tubuhnya hanya setinggi 1,85 meter tapi dia bisa melakukan satu aksi gila. Dia akan menceploskan bola langsung ke dalam keranjang, kemudian menangkap bola yang sedang jatuh dengan tangan kirinya, mengoper ke tangan kanan, dan sekali lagi melakukan dunk.

Lebih gila lagi, Manigault melakukan aksi yang kemudian dikenal sebagai double dunk itu tanpa berpegang pada keranjang untuk menahan badannya agar tak jatuh. Sepanjang sejarah basket, hanya Manigault yang bisa melakukan aksi macam itu.

Kemampuannya main basket sempat membuat banyak kampus bagus di AS menawarkan beasiswa kepadanya. Tapi, Manigault menolak semuanya. Dia lebih memilih masuk universitas semenjana yang tingkat kedisiplinannya juga rendah.

Manigault tampaknya memang tidak ingin serius pada basket. Meski kuliah Universitas Johnson C. Smith yang biasa-biasa saja dan bergabung dengan tim basketnya, Manigault berkali-kali terlibat pertengkaran dengan pelatihnya. Sang pelatih ingin Manigault bermain agak lambat, sedangkan The Goat tak mau mengubah gaya permainannya.

Pada akhirnya dia memilih mengakhiri kuliahnya dan kembali ke New York. Sejak itu pula, Manigault lebih banyak bergelut dengan alkohol dan heroin. Setelah dua kali masuk penjara, dia memutuskan untuk kembali menempa permainan basketnya.

Sayang itu semua sudah terlambat. Manigault tidak pernah menginjak karpet NBA dan kembali terjerumus ke kubangan narkoba.

“Untuk setiap Michael Jordan yang lahir, selalu ada Earl Manigault yang jatuh,” kata Manigault sebagaimana dikutip The New York Times. “Tidak semua dari kita bisa jadi legenda. Harus ada seseorang yang gagal. Dan akulah orangnya.”

Baca juga artikel terkait BOLA BASKET atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Olahraga
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Fadrik Aziz Firdausi