Menuju konten utama
Miroso

Roti Buaya dan Betapa Menariknya Cerita Pernikahan

Pada masa VOC, seserahan menjadi salah satu jaminan bagi gadis-gadis Belanda yang akan dibawa dan menikah di Hindia Belanda.

Roti Buaya dan Betapa Menariknya Cerita Pernikahan
Header Miroso Roti Buaya. tirto.id/Tino

tirto.id - Sepupuku, yang telah pacaran selama 10 tahun dengan seorang gadis Betawi, akhirnya menikah juga. Kami sekeluarga yang sudah lama menunggu momen ini, serentak sibuk mempersiapkan pernikahan. Namun, keluarga kami yang berlatar belakang etnis Sunda, cukup kelimpungan mempersiapkan seserahan ini. Apalagi, walau tinggal di Jakarta, kami sudah jarang melihat pernikahan adat Betawi. Pernah, sekali waktu keluarga kami diundang tetangga di suatu pernikahan adat Betawi. Bunyi petasan yang memekakkan telinga menjadi tanda datangnya mempelai pria dan keluarga – dan kami pun yang masih bersolek di depan cermin sontak ngacir ke rumah sebelah gang agar tidak telat.

Sehari sebelum hari pernikahan, kami berkumpul di rumah sepupu untuk menghias seserahan. Suasana kumpul keluarga, bila ada kami --5 ibu muda-- selalu saja ada bahan yang digosipkan. Maklum, karena kesibukan, kami jadi jarang bertemu, dan ingin mendapatkan keseruan bersama dengan berbagi cerita. Namun kali ini, bukan gosip tentang dua sejoli yang hobi putus sambung itu, kami malah sibuk mempertanyakan seserahan yang ada di depan kami.

Sirih nanas lamaran dan sirih nanas hiasan, contohnya. Terus terang, walaupun kami para sepupu perempuannya sudah menikah duluan, kami tidak paham dengan simbol-simbol ini. Jangankan paham, melihat bentuknya saja baru kali ini. Untung, kini dunia dimudahkan dengan teknologi. Sekali ketik di Google, muncul gambar sirih nanas yang dimaksud, dan kami pun mulai menyontek menghias sirih nanas lamaran dan hiasan.

Di laman tersebut, tercantum juga informasi bahwa dalam pernikahan Betawi, sirih nanas hiasan merupakan simbol ungkapan rasa gembira, sedangkan sirih nanas lamaran mengungkapkan rasa hormat kepada pihak calon besan karena telah menerima lamaran.

Seserahan lainnya yang kami bawa termasuk miniatur masjid yang berisi uang belanja, peti shie atau kotak berornamen China, jung atau perahu China, hadiah pelengkap, kue pengantin, serta kekudang, yaitu barang atau makanan yang sangat disukai oleh calon pengantin perempuan sejak ia kecil hingga dewasa.

Jurnal Jayapangus yang berjudul "Seserahan dalam Perkawinan Adat Betawi: Sejarah dan Makna Simbolis" (2021) menuliskan bahwa seserahan di masa Vereenigde Oost Compagnie (VOC) merupakan salah satu bentuk jaminan bagi gadis yang akan datang ke Hindia Belanda untuk dinikahi. Karena Jan Pieterszoon Coen sebagai Gubernur Hindia Belanda saat itu, ingin membangun masyarakat kolonial di Batavia secara permanen. Maka gadis yang datang dan telah menikah akan diberi pakaian dan uang ekstra, rumah tinggal, dan bantuan lainnya. Gadis ini kemudian diwajibkan tinggal selama 15 di Hindia Belanda. Dengan bantuan itu, diharapkan para perempuan ini akan betah dan baik-baik saja.

Sambil terus menghias dan bergosip, mulut kami tidak berhenti menyomot kudapan yang sengaja disediakan bagi panitia pernikahan. Dari semua seserahan, sebenarnya roti buaya adalah yang paling familier. Bagi kami generasi X, ketenaran roti buaya, sama tenarnya seperti ondel-ondel yang di awal tahun 1990-an, masih sering berpawai di jalan lengkap dengan orkes Betawinya.

Saat itu, ondel-ondel masih diiringi oleh alat musik tiup serta alat musik lainnya seperti tabuhan, kenong, dan gendang. Kalaupun generasi sekarang masih berkesempatan melihat ondel-ondel, biasanya mereka hanya bisa melihat ondel-ondel yang diiringi dengan musik stereo saja.

Sama seperti ondel-ondel, roti buaya menjadi nama benda pertama yang ada di pikiran kami bila membicarakan budaya Betawi. Pengetahuan kami sebenarnya hanya sampai pada fisik roti yang benar-benar berbentuk replika buaya saja. Kami berlima sebenarnya tidak ada yang tahu mengapa buaya yang identik dengan idiom “lelaki buaya” atau lelaki yang cenderung tidak setia pada pasangannya ini (padahal sebenarnya buaya adalah hewan yang sangat setia), justru menjadi salah satu simbol yang ada di pernikahan Betawi.

Naha buhaya nya, teu nu sanes?”

"Kenapa harus buaya, ya?" tanya kami yang awam ini.

Dialog itu memancing salah seorang om yang ternyata dari awal mencuri dengar pembicaraan kami. Roti buaya menurutnya, dianggap melambangkan kesetiaan oleh masyarakat Betawi karena pengetahuan lokal yang sudah diceritakan secara turun menurun.

Padahal buaya pada roti buaya, menurut Jurnal Patrawidya (2019) dengan judul "Integrasi Pengetahuan Lokal dan Ilmu Pengetahuan: Penelaahan Roti Buaya dalam Perspektif Zoologi", merupakan jenis buaya muara yang menganut sistem perkawinan promiscuous.

Sistem perkawinan ini adalah bentuk perkawinan saat buaya betina bisa kawin dengan lebih dari satu buaya jantan untuk memperbanyak keturunan. Lain memang dengan buaya yang hidup dalam kandang dengan satu pasangan yang cenderung monogami, yang kemudian menjadi acuan kepercayaan adat Betawi akan karakter buaya yang setia dan hanya kawin sekali seumur hidupnya.

Jakarta lama menurut JJ Rizal adalah wilayah yang banyak dialiri sungai dan banyak dihuni oleh buaya. Tidak heran budaya Betawi akhirnya dikaitkan dengan hewan ini. Jakarta memiliki total 13 sungai yang menyebar di seluruh wilayah ibu kota.

Jurnal Patrawidya itu juga menyebutkan, dalam sejarah Indonesia, pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1762 pernah memberikan hadiah bagi masyarakat yang berhasil membunuh buaya di Jawa dan Madura, karena banyaknya jumlah buaya pada saat itu.

Masyarakat Betawi dikatakan juga memiliki kebiasaan memberikan sesajen di beberapa sungai yang dianggap keramat, seperti kali di Ancol, Cideng, dan Lebak Bulus, karena adanya mitos 2 buaya putih. Mitos Betawi tentang siluman buaya yang bersemayam di sumber mata air di lingkungan sekitar kediaman mereka, menceritakan peran buaya dalam menjaga sumber air sebagai salah satu sumber kehidupan manusia. Dari filosofi inila, roti yang biasanya berukuran 50 sentimeter, bahkan bisa mencapai satu meter ini, dilambangkan sebagai simbol kehidupan.

Infografik Miroso Roti Buaya

Infografik Miroso Roti Buaya. tirto.id/Tino

Keesokan harinya, sebelum matahari mulai terik, kami sudah siap berada di depan rumah mempelai perempuan. Sebagai bagian dari prosesi pernikahan, sebelum masuk kami sekeluarga diminta menunggu di luar rumah terlebih dahulu. Momen ini kembali kami manfaatkan untuk bergosip kembali tentang roti yang sama sekali “tidak buaya” ini.

Kang, roti sakitu ageung, kenging diemam, teu?”

“Kang, roti segini besar, nanti boleh dimakan tidak?”

Nah, tentang hal ini, ada 2 versi cerita . Menurut budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, dahulu masyarakat Betawi membuat bentuk buaya hanya dari anyaman daun kelapa, kemudian berkembang menjadi bentuk kayu yang diukir. Saat industri pabrik roti mulai muncul di Nusantara sekitar akhir abad ke-17 dan 18, bentuk buaya mulai dibuat menjadi roti.

Versi lainnya, penggunaan roti sebagai bahan dasar roti buaya diduga dimulai sejak masuknya bangsa Eropa ke Batavia. Kala itu, roti dipandang sebagai makanan berkelas karena hanya bisa disantap oleh kaum bangsawan Eropa. Itulah sebabnya, oleh masyarakat Betawi, roti dipilih sebagai lambang kemakmuran.

Makna roti buaya sebagai wujud kesetiaan, membuat roti buaya dilarang untuk dimakan, apalagi dibagikan pada tamu. Roti buaya pada periode waktu tertentu, hanya boleh disimpan untuk pengantin. Oleh karena itu, awal mulanya, roti buaya sengaja dibuat sekeras mungkin. Semakin keras roti buaya, semakin baik kualitas roti tersebut.

Roti buaya kemudian ditata di tengah ruangan sampai acara pernikahan usai, untuk kemudian dipindahkan di atas lemari pakaian di kamar pengantin. Karena keras dan tawar, roti buaya akan tahan lama dan dibiarkan saja hingga hancur dan berbelatung di atas lemari. Proses ini menjadi simbol pasangan suami istri yang hanya akan dipisahkan oleh kematian.

Namun tradisi lama ini lambat laun ditinggalkan, dengan pertimbangan mubazir untuk membuang-buang makanan. Pada perkembangannya, roti buaya tidak dibuat tawar, melainkan lebih bervariasi dalam rasa, seperti diberi cokelat, kismis, serta bertekstur jauh lebih lembut. Roti buaya kini dibagikan pada para tamu untuk disantap usai upacara pernikahan. Bagi para lajang, menyantap roti buaya diyakini akan membuat enteng jodoh.

Aih, rame oge riwayatna nya, Kang? Eh, tapi roti buaya tos seueur diical online teu?” lirik salah satu sepupuku menanyakan peluang bisnis jualan roti buaya di lokakarya.

Dhuar!

Dhuar!

Dhuar!

Suara petasan menghentikan keseruan gosip kami. Saatnya bagi kami sekeluarga bersiap masuk ke dalam rumah mempelai perempuan.

Tentang bisnis roti buaya tadi, saya kok jadi ikut tergoda juga, ya.

Baca juga artikel terkait MIROSO atau tulisan lainnya dari Ima purbasari

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Ima purbasari
Penulis: Ima purbasari
Editor: Nuran Wibisono