Menuju konten utama
23 Februari 1905

Rotary Club di Antara Aksi Kemanusiaan dan Tuduhan Organisasi Sesat

Rotary Club didirikan dengan tujuan kemanusiaan. Dianggap organisasi sesat oleh kelompok konservatif Islam dan Katolik.

Ilustrasi lambang Rotary Club. tirto.id/Nauval

tirto.id - Paul Harris, pengacara asal Chicago, meyakini bahwa dunia harus bisa menjadi sebaik-baiknya tempat tinggal. Untuk itulah pada 23 Februari 1905, tepat hari ini 105 tahun lalu, ia mendirikan Rotary Club of Chicago. Ide awalnya adalah sebuah organisasi sipil bagi para profesional dari bermacam bidang yang hendak “bertukar ide” dan “menjalin persahabatan bermakna seumur hidup.”

Seiring waktu, jangkauan visi Rotary meluas. Tak sekadar bergerak dalam pelayanan masyarakat, mereka juga menyasar bidang kemanusiaan. Pertumbuhannya pun seketika melesat. Cabang-cabang baru, catat Encyclopaedia Britannica, berdiri di seluruh AS, selain juga muncul di Kanada, Irlandia, dan Inggris.

Selang 16 tahun dari pendiriannya, keberadaan Rotary tersebar di enam benua. Nama mereka pun berganti menjadi Rotary International—dengan jumlah keanggotaan mencapai 1,2 juta Rotarian pada awal abad ke-21.

Polio dan Perdamaian Global

Pada 1911, ketika konvensi Rotary yang kedua berlangsung di Portland, Oregon, keputusan penting diambil para peserta: menetapkan motto organisasi. Dari situ lahir “Service Above Self” dan “One Profits Most Who Serves Best” yang kemudian menyangga perjalanan Rotary sampai sekarang.

Kiprah Rotary dapat dirangkum ke dalam enam aspek: mempromosikan perdamaian dunia, memerangi penyakit, menyediakan sanitasi yang layak, mempermudah akses kesehatan bagi ibu dan anak, mendukung pemerataan pendidikan, serta ambil peran dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi lokal. Sejauh ini total dana yang telah disalurkan guna merealisasikan kerja-kerja mereka mencapai lebih dari $4 miliar.

Dari enam misi yang ada, Rotary paling dikenal lewat dua gerakan: upaya perdamaian global dan pemberantasan polio. Dalam konteks perdamaian global, kontribusi Rotary dapat dilacak selama meletusnya Perang Dunia II. Kala itu Rotary menjadi salah satu kelompok yang gencar mengampanyekan pentingnya pembentukan PBB lewat artikel-artikel yang tayang di The Rotarian.

Selain itu Rotary turut aktif membantu khalayak—setidaknya para anggota—untuk memahami apa saja yang akan dibahas negara-negara global dalam konferensi di Dumbarton Oaks, Washington, AS. Bahkan, pada April sampai Juni 1945, Rotary menjadi satu dari 42 organisasi yang diundang untuk hadir di pertemuan San Francisco sebagai konsultan.

Usai PBB terbentuk, Rotary merilis buklet setebal 95 halaman bertajuk “From Here On!”. Dalam buklet tersebut terdapat salinan teks Piagam PBB yang ditujukan guna memantik diskusi anggota Rotary ihwal perkembangan global setelahnya.

“Rotarian setia mengikuti halaman-halaman ini dan akan menemukan dirinya menapaki jalan menuju pelayanan,” demikian tulis buklet.

Sementara September 1979 menjadi titik mula sepak terjang Rotary dalam pemberantasan polio. Saat itu anggota Rotary cabang Filipina memberikan vaksin polio oral ke sejumlah anak di pusat kesehatan Guadalupe Viejo, Makati. Acara ini merupakan bagian dari Proyek Hibah Kesehatan, Kelaparan, dan Kemanusiaan (3-H) pertama Rotary.

Di Filipina, Rotary meneken kontrak bersama Departemen Kesehatan Filipina. James L. Bomar Jr., Presiden Rotary International, dan Enrique M. Garcia, Menteri Kesehatan Filipina, sepakat mengadakan program imunisasi polio kepada 6 juta anak dengan taksiran biaya sekitar $760 ribu.

Proyek Filipina lantas mengarahkan Rotary untuk menempatkan pemberantasan polio sebagai prioritas. Pada 1985 mereka meluncurkan PolioPlus yang disusul dengan pendirian Global Polio Eradication Initiative tiga tahun berselang.

Hasilnya tak main-main. Upaya Rotary telah menyasar 2,5 miliar anak-anak di seluruh dunia dan, seturut laporan Forbes, berkontribusi dalam menekan persebaran “endemik polio”—dari yang awalnya 125 negara (1988) menjadi tiga negara.

Tuduhan Zionis dan Kontroversi di Indonesia

Perjalanan Rotary nyatanya tak selalu mudah. Yang cukup kentara adalah kiprah mereka dihubung-hubungkan oleh praktik zionisme dan Freemason. Di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, terutama oleh para fundamentalis, anggapan tersebut tumbuh begitu subur dan diyakini sebagai kebenaran.

Pasal 17 Piagam Hamas, misalnya, menyebut Rotary merupakan bagian dari “Organisasi Zionis” yang melakukan propaganda lewat film, pendidikan, sampai kebudayaan. Hal senada juga bisa ditemukan pada buku pedoman al-Qaeda berjudul “Studi Militer dalam Jihad Melawan Tiran” yang menegaskan Rotary adalah bentuk lain dari kolonialisme.

Teori berbau konspirasi yang sama akan mudah dijumpai ketika Anda menggeser fokus ke Mesir, Turki, Palestina, sampai Arab Saudi. Di Mesir, Shaikh al-Azhar, pemegang otoritas tertinggi dalam Islam, mengeluarkan fatwa haram bergabung dengan Rotary. Di saat bersamaan, koran-koran konservatif dan pro-pemerintah seperti Aqidati dan Al-Ahram rutin menyudutkan Rotary dengan bermacam tuduhan. Sedangkan di Arab Saudi buku teks di tingkat sekolah menengah atas mencantumkan Rotary sebagai “organisasi yang merusak dan paling berbahaya bagi Islam serta kaum muslim.”

Sementara itu eksistensi Rotary di Indonesia punya sejarah yang panjang sekaligus berliku. Rotary di Indonesia pertama kali muncul pada 1927 di Yogyakarta yang kemudian diikuti pendirian cabang di Surabaya (1928) dan Batavia (1930).

Ketika Jepang datang dan menjajah Indonesia pada 1942, Rotary—beserta 26 cabang lainnya—dibekukan. Situasi perlahan berbalik pasca-kemerdekaan. Di Bandung, setahun usai Sukarno-Hatta membacakan proklamasi di Pegangsaan Timur, Rotary kembali diaktifkan, dengan jumlah cabang menyusut menjadi 16 buah.

Namun, lagi-lagi, kiprah mereka dicekal tatkala Orde Lama berkuasa. Lewat Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962, Sukarno melarang aktivitas yang dilakukan Rotary dan lima organisasi lainnya seperti Liga Demokrasi, Divine Life Society, Baha’i, Moral Rearmament Movement, serta Ancient Mystical Organization of Rosi Crucians (AMORC).

Pergantian tampuk kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru turut memengaruhi posisi Rotary di Indonesia. Kendati Keppres 264 belum dianulir, Rotary muncul kembali pada 1970 di Jakarta—diikuti Surabaya dan Malang (1971). Perlahan, cabang Rotary kian bertambah. Saat ini Rotary Indonesia memiliki dua distrik: 3410 (yang menaungi kawasan di sebelah barat) dan 3420 (daerah timur). Fokus kerja mereka sama seperti Rotary di belahan bumi lainnya.

Butuh waktu tiga dekade lebih agar keberadaan Rotary tidak dilarang secara konstitusional. Pada 2000 Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres 69 yang mencabut ketentuan Keppres 1962. Artinya, kehadiran Rotary tak lagi bikin senewen dan sah di mata hukum.

Meski demikian legalitas tersebut tak serta merta membuat Rotary diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat. Penolakan masih saja bermunculan. Alasannya pun tak berubah: Rotary dianggap sebagai tangan panjang Israel sampai Freemason.

Contoh kasus yang menyita perhatian publik terjadi pada Januari 2009 tatkala, mengutip pemberitaan Detik, Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) mengeluarkan maklumat ihwal peringatan kepada masyarakat agar “tidak bergabung dengan organisasi-organisasi sayap Yahudi berkedok kemanusiaan” yang salah satunya berwujud Rotary.

Terdapat tiga poin yang termaktub dalam maklumat FUUI. Selain mendorong masyarakat untuk menjauhi Rotary, FUUI juga mendesak pemerintah mengaktifkan lagi Keppres 264. Sementara bagi mereka yang sudah terlanjut bergabung, FUUI menganjurkan agar segera meninggalkan organisasi itu.

FUUI mengaku “telah mengumpulkan bukti-bukti” yang menunjukkan bahwa Rotary Club adalah “organisasi sayap Yahudi yang menginduk pada Freemason.” Bukti yang disodorkan yakni dugaan adanya aliran dana sebesar $145 ribu dari Israel yang mengalir ke kas Rotary.

“Freemasonry ini merupakan intelijen Yahudi yang merupakan induk dari organisasi-organisasi di bawahnya antara lain Rotary Club dan Lions Club,” tegas Athian Ali, Ketua Umum FUUI, dalam gelar wicara di Bandung. Athian menambahkan, Freemason bahaya sebab “dapat menggiring masyarakat untuk jadi ateis.”

Tak sekadar mengeluarkan maklumat, penolakan terhadap Rotary juga diiringi dengan aksi demonstrasi di halaman Gedung Sate pada Februari 2009. Tuntutannya tak jauh beda: meminta pemerintah melarang eksistensi Rotary.

Tekanan yang muncul dari ormas kanan macam FUUI membuat petinggi Rotary Indonesia buka suara. Sujatmiko, Past District Governor Rotary Club Indonesia, seperti dilaporkan Detik, menganjurkan kepada FUUI untuk menempuh dialog, alih-alih demonstrasi. Sujatmiko juga menegaskan bahwa tuduhan adanya aliran dana tersebut tidaklah benar karena “Rotary Club menerapkan manajemen yang terbuka” dan “setiap orang dapat memeriksa keuangan organisasi.”

Infografik Mozaik Rotary Club

Infografik Mozaik Rotary Club. tirto.id/Rangga

Anda mungkin bertanya-tanya mengapa organisasi yang banyak berfokus pada isu kemanusiaan bisa dianggap sebagai corong Zionisme atau Freemason yang keberadaannya wajib dibasmi. Jonathan Schwartz dalam “The Rotarian Menace” yang diterbitkan di Slate (2006) punya penjelasan yang cukup rasional guna mengurai polemik ini.

Pandangan negatif para fundamentalis Islam terhadap Rotary, tulis Schwartz, adalah gambaran kusutnya pengaruh Barat di Timur Tengah dan betapa terpengaruhnya mereka akan kosmologi teori konspirasi Eropa. Sejak Protokol Para Tetua Zion—propaganda yang menyebut rencana-rencana Yahudi untuk menguasai dunia—dilepas pada 1903 dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, orang-orang fundamentalis seketika menganggap Barat adalah ancaman bagi komunitas Islam.

Propaganda tersebut mengilhami banyak orang untuk meyakini bahwa organisasi seperti Rotary tak lain dan tak bukan merupakan agen zionis dan jelmaan Freemason—organisasi persaudaraan yang eksis pada abad 16 sampai 17. Mereka dianggap pasukan rahasia yang punya kemampuan merekayasa tatanan politik dalam balut kegiatan kemanusiaan. Walhasil, dari sini, sentimen anti-Barat melonjak tajam, seiring pula dengan masifnya praktik kolonialisme di Timur Tengah.

Sebetulnya kebencian terhadap Rotary tak cuma lahir dari kelompok Islam. Di Katolik pun, terlebih yang konservatif, juga punya penilaian yang sama. Pada 1928, ambil contoh, beberapa uskup Spanyol menyatakan bahwa Rotary adalah wujud organisasi setan yang sesat dan oleh sebab itu harus diwaspadai pergerakannya.

Tak lama usai larangan dari uskup Spanyol beredar, Vatikan turut mengadopsi kebijakan serupa dengan meminta pastor Katolik untuk tidak bergabung dengan Rotary. Relasi kedua belah pihak ini pun sempat mendidih manakala Rotary dikecam dari mimbar-mimbar ibadah pada 1970-an. Memasuki akhir 1970-an, hubungan mereka perlahan membaik setelah Paus Yohanes Paulus II secara terbuka mendukung proyek-proyek kemanusiaan Rotary.

Penolakan kuat, yang dipicu sentimen anti-Barat, oleh sebagian muslim di kawasan Timur Tengah membikin Rotary kesulitan dalam menjalankan program-programnya. Kampanye pemberantasan polio mereka, misalnya, mendapatkan perlawanan keras di Nigeria karena desas-desus yang menyebut bahwa vaksin polio “akan mensterilkan anak-anak.”

Sekalipun tekanan dari kelompok Islam konservatif cukup masif, Rotary tetap saja dapat membuka cabang di beberapa negara berpenduduk mayoritas muslim seperti macam Turki dan Lebanon. Rotary selalu menegaskan bahwa mereka merupakan “organisasi kemanusiaan yang tak berafiliasi kepada kepentingan politik maupun agama.”

Sejarah Rotary membuktikan bahwa bagi banyak orang teori konspirasi dapat menyebar begitu cepat dan diyakini sebagai kebenaran tunggal, bahkan sebelum era media sosial memenuhi ruang-ruang pembicaraan publik dengan segala hoaks dan disinformasi. Anda bisa membayangkan bagaimana jadinya bila kiprah Rotary muncul satu-dua tahun lalu?

==========

M. Faisal Reza Irfani adalah penulis independen asal Surakarta. Minat kepenulisannya terbentang luas dari musik indie hingga politik internasional; dari film non-mainstream sampai hukum tata negara. Di kala mahasiswa ia pernah menjadi Presiden BEM FH UNS.

Baca juga artikel terkait TEORI KONSPIRASI atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Ivan Aulia Ahsan
-->