Menuju konten utama

Rontoknya Dinasti Politik di Pilkada Serentak 2018

Fenomena gagalnya calon dari dinasti politik di pilkada serentak 2018 karena pemilih yang mulai melek politik.

Rontoknya Dinasti Politik di Pilkada Serentak 2018
Bupati Landak Karolin Margaret Natasa dan Bupati Bengkayang Suryatman Gidot resmi diusung oleh PDIP Perjuangan sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur pada Pilkada Kalimantan Barat 2018, Jakarta, (7/1/2018). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Sejumlah kandidat kepala daerah dari dinasti politik di pilkada serentak 2018 berguguran. Berdasarkan hasil hitung cepat atau quick count sejumlah lembaga survei, setidaknya ada enam calon gubernur yang berasal dari politik dinasti yang gagal memenangi pertarungan di empat provinsi, yaitu: Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Kalimantan Barat.

Di Pilgub Sumatera Selatan, misalnya, Dodi Reza Alex Noerdin (Bupati Musi Banyuasin) yang berpasangan dengan Giri Ramanda Kiemas (Taufiq Kiemas) hanya menempati urutan kedua dalam hitung cepat yang dilakukan LSI Denny JA. Anak dari gubernur petahana, Alex Noerdin ini hanya mendapatkan suara 31,9 persen, kalah dari pasangan Herman Deru-Mawardi Yahya yang meraih dukungan 35,3 persen.

Nasib serupa juga dialami Karolin Margret Natasa di Pilgub Kalimantan Barat. Bupati Landak periode 2017-2022 yang juga anak dari gubernur petahana, Cornelis ini harus puas finis di urutan kedua berdasarkan hitung cepat SMRC dan LSI Denny JA. Berdasarkan quick count dua lembaga survei yang bekerja sama dengan Tirto tersebut, pasangan Karolin Gidot hanya memperoleh suara 43,74 persen (SMRC) atau 38,6 persen (LSI Denny JA).

Pasangan yang diusung koalisi PDIP, Demokrat, dan PKPI itu kalah dari duet Sutarmidji-Ria Norsan. Paslon nomor urut tiga yang diusung oleh lima parpol, PKB, Hanura, PKS, Nasdem, dan Golkar itu memperoleh suara sebanyak 49,04 persen (SMRC) atau 54,1 persen (LSI Denny JA).

Bergeser ke Sulawesi Selatan dan Maluku Utara. Di Pilgub Sulsel, misalnya, cagub nomor urut empat, Ichsan Yasin Limpo juga kalah. Pria yang menjabat sebagai Bupati Kabupaten Gowa periode 2005-2015 yang juga adik kandung dari Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo hanya memperoleh suara 18,18 persen (SMRC) atau 20,2 persen (LSI Denny JA).

Sementara kakak-adik yang bertarung di Pilgub Maluku Utara, yaitu Abdul Gani Kasuba dan Muhammad Kasuba juga kalah dari cagub Ahmad Hidayat Mus. Namun, untuk Abdul Gani Kasuba masih ada kesempatan karena selisih perolehan suaranya tipis.

Berdasarkan data hasil hitung cepat KPU di wilayah Maluku Utara hingga Jumat (29/6/2018), pukul 18.30 WIB (data masuk 99,49%), pasangan Ahmad Hidayat Mus-Rivai Umar memperoleh suara 176.019 (31,94%), sedangkan paslon Abdul Gani Kasuba-M Al Yasin Ali mendapat 167.453 suara (30,38%). Berbeda dengan Muhammad Kasuba yang hanya mendapat 64.498 suara (11,70%).

Calon dari dinasti politik yang juga keok di pilkada serentak 2018 adalah Asrun. Tersangka kasus korupsi yang bertarung di Pilgub Sulawesi Tenggara ini berpasangan dengan Hugua. Berdasarkan hasil hitung cepat KPU di wilayah Sultra hingga Jumat (29/6/2018), pukul 11.05 WIB dengan data masuk 92,32 persen, Asrun hanya memperoleh suara 24,71 persen. Sementara Ali Mazi-Lukman Abunawas memimpin dengan persentase perolehan sementara 43,77 persen.

Dari sekian kandidat dari dinasti politik di pilgub 2018 yang lumayan beruntung adalah Sitti Rohmi Djalilah yang maju sebagai cawagub Nusa Tenggara Barat (NTB). Kakak dari Gubernur NTB petahana, TGB Zainul Madji ini berpasangan dengan H Zulkieflimansyah yang diusung oleh PKS dan Partai Demokrat. Pasangan nomor urut tiga ini mendapatkan suara 30,8 persen berdasarkan hitung cepat LSI Denny JA.

Pemilih Mulai Melek Politik

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Angraini mengatakan, fenomena gagalnya calon dari dinasti politik di pilkada serentak 2018 tidak lepas dari pemilih yang mulai melek politik. Menurut Titi, perlahan para pemilih mulai memahami manfaat dari pilkada langsung, sehingga lebih objektif dalam menentukan pilihan.

“Saya kira secara perlahan pemilih kita mulai melek politik, melek pilkada, sadar bahwa hak yang ada pada mereka,” kata Titi kepada Tirto, Minggu (1/7/2018).

Menurut Titi, para pemilih mulai menjadikan pilkada langsung sebagai mekanisme koreksi atas kepemimpinan daerah. Meskipun, kata dia, masih ada pekerjaan rumah yang harus dikerjakan ke depan agar masyarakat yang memiliki hak suara di pilkada semakin kritis dan selektif dalam memilih pemimpin daerah.

Namun, Titi tidak sepenuhnya sepakat bila gagalnya beberapa kandidat di pilkada serentak 2018 sebagai “runtuhnya” politik dinasti. Alasannya, kata Titi, sejumlah calon yang tidak terpilih, misalnya Karolin di Pilgub Kaliman Barat dan Dodi Reza di Sumatera Selatan masih berstatus sebagai bupati. Keduanya, kata Titi, masih tercatat sebagai kepala daerah, Dodi Reza sebagai Bupati Musi Banyuasin, sementara Karolin sebagai Bupati Landak.

Di pilkada tahun ini, kata Titi, Dodi dan Karolin memang belum berhasil secara langsung mengambil kekuasaan dari orangtuanya, namun bisa saja mereka kembali maju di pilgub periode berikutnya dan menjadi gubernur seperti orangtua mereka.

Oleh sebab itu, kata Titi, perlu beberapa terobosan agar pemilih semakin melek politik dan manfaat pilkada langsung, sementara parpol juga berbenah tidak menggunakan cara-cara instan dalam mencari figur yang diusung dalam pilkada.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno. Dosen politik di UIN Jakarta ini mengatakan, semakin modern dan semakin maju, maka kecenderungan masyarakat dalam menentukan pilihan politik semakin rasional. Dengan demikian, kata Adi, secara otomatis dinasti politik cenderung mulai terkikis.

Menurut Adi, runtuhnya dinasti politik di pilkada serentak 2018 karena masyarakat mulai melek politik dan memilih calon kepala daerah yang dinilai lebih berkualitas. “Demokrasi kita sudah maju, pemimpin yang dilirik yang lebih merakyat, yang menunjukkan sikap kepeduliannya terhadap rakyat,” kata Adi kepada Tirto, Minggu (1/7/2018).

Adi menambahkan “banyak calon yang tumbang [dari dinasti politik] itu karena munculnya figur-figur alternatif, dengan kegiatan sosialnya yang baik, kegiatan politik baik. Ini sekaligus menawarkan menu lain selain politik kekeluargaan. Budaya politik telah berubah.”

Hal ini, kata Adi, harus menjadi pelajaran berharga bagi para politikus yang berasal dari politik dinasti. Menurut dia, mereka yang maju mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak hanya mengandalkan kekuatan dan jaringan keluarga, melainkan juga diimbangi dengan kapasitas dan rekam jejak politik yang baik.

“Jangan hanya [mengandalkan] kharisma dan wibawa keluarga besar. Tapi memang yang dilirik ialah yang kredibel dan layak dipilih,” kata Adi.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz