Menuju konten utama

Romantika Bersepeda

Bagi beberapa tokoh Indonesia, sepeda tak sekadar alat transportasi. Sepeda adalah sebuah alat untuk menemukan ide bahkan menyelamatkan banyak orang.

Romantika Bersepeda
Soekarno memboncong Fatmawati dengan sepeda ontel. FOTO/Istimewa

tirto.id - Suatu kali bisnis Federal Motor milik William Soeryadjaya pada 1980-an mengalami gangguan. Ia pun memanggil direktur utama Budi Setiadharma. Mereka bicara soal nasib Federal Motor, karena penjualan sepeda motor yang mereka rakit menurun akibat krisis. Budi yang frustasi menyarankan pemutusan hubungan kerja massal. William tak setuju, karena akan berdampak buruk bagi banyak karyawan.

William memaksa Budi melakukan perluasan usaha. Sementara penjualan motor sepi, mereka mulai memproduksi dan menjual sepeda dengan merek Federal, seperti nama perusahaan mereka. Sepeda ini sangat disukai para remaja hingga puluhan tahun berikutnya. Demikian kisah dalam biografi William, sang pendiri Astra, Man of Honor: Kehidupan, Semangat dan Kearifan William Soeryadjaya (2012). Sepeda-sepeda Federal itu pun menyelamatkan para karyawan dari PHK. Sepeda Federal belakangan jadi produk sepeda kebanggaan Indonesia.

Tak hanya menyelamatkan karyawan Federal Motor, sepeda juga jadi saksi bisu sejarah Indonesia. Sebelum sepeda motor merajalela, sepeda gowes adalah raja jalanan di awal abad 20. Ketika baru tiba, sepeda sering disebut sebagai kereta angin. Kendaraan ini tentunya tunggangan unik, karena di awal abad 20 orang Hindia Belanda lebih terbiasa dengan tunggangan macam kuda.

Harga sepeda cukup mahal awalnya. Fongers, Batavus, dan Gazalle adalah merek-merek yang berkeliaran di jalanan Hindia Belanda. Menurut sejarawan Ben Anderson, di daerah Rembang, serdadu-serdadu Jepang mendarat bersama sepeda-sepeda mereka untuk mengalahkan militer Belanda pada 1942. Adegan ini terdapat dalam film dokumenter Riding The Tiger. Tak hanya serdadu Jepang, beberapa pelaku sejarah Indonesia punya cerita bersama sepeda.

Bung Karno dan Sepeda

Sukarno, dengan jerih keringatnya, berhasil menabung dan dua kali membeli sepeda di Surabaya. Di sekitar Bandung, Sukarno sering bersepeda. Berkat sepeda, Sukarno bertemu dengan petani sederhana tetapi merdeka, bernama Marhaen. Petani itu menginspirasi Sukarno soal bagaimana petani Indonesia harusnya hidup. Setelah berbincang dengan petani Marhaen, Sukarno bersepeda dan berpikir lagi.

“Hari itu aku mendayung sepeda berkeliling mengolah pengertian yang baru,” katanya dalam autobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2007). Orang-orang Indonesia kelak menjadi kenal dengan ideologi sosialis Marhaenisme, yang sekarang mulai dilupakan.

Di masa kolonial, aparat polisi pemerintah kolonial sering bersepeda ketika patroli. Sepeda juga dipakai buat menguntit tokoh pergerakan. Menurut Soekarno Poenja Tjerita (2016), sepeda jadi saksi kejahilan Sukarno pada polisi yang rajin menguntitnya. Sukarno yang sedang bersepeda sadar dirinya dikuntit. Ia pun memperlambat laju sepedanya. Polisi itu mengikuti.

Begitu melintasi pematang sawah, Sukarno berhenti. Sepedanya ditaruh, dan ia berjalan melintasi pematang dan mengunjungi seorang kawan di kampung yang tak jauh dari tempat ia tinggalkan sepedanya. Polisi itu bingung, hendak mengikuti tapi segan ambil risiko jika sepedanya hilang. Sukarno pun lolos.

Penuntas Rindu Ahmad Yani

Beruntung Ahmad Yani bisa memperoleh sepeda. Ketika menjadi perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA), di zaman pendudukan Jepang, sepeda adalah tunggangannya untuk menemui kekasihnya, yang belakangan jadi istrinya.

Ketika itu Yani tinggal di asrama PETA Prembun, dekat Kebumen. Kekasih Yani, bernama Yayuk, adalah orang Purworejo seperti Yani. Jarak Prembun ke Purworejo sekira 25 km. Jarak adalah tembok besar yang harus dituntaskan sesegera mungkin. Yani sering mencuri waktu untuk bisa menuntaskan rindunya kepada Yayuk.

“Selama berada di asrama, Yani suka mencuri-curi. Kalau perlu melompat pagar asrama untuk menemui kekasihnya Yayuk,” tulis putri Yani, Amelia Yani dalam Profil Seorang Prajurit TNI (1988).

Tak hanya Yani, Yayuk juga sering bersepeda hingga belasan kilometer juga. “Yayuk sendiri karena sudah kenal orangtua Yani, sering datang naik sepeda. Jaraknya 12 km dari Purworejo,” tulis Amelia.

Sepeda itu menjadi saksi karier Yani di militer. Sepeda membuat Yani tak terganggu oleh rindu. Yani mencapai puncak karier di Angkatan Darat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat di era Presiden Sukarno.

Nasution Desersi

Awal 1942, Abdul Haris Nasution muda adalah vandrig (Letnan Muda) dalam dinas Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). Nasution ditempatkan di Jawa Timur. Ketika itu Perang Pasifik berkecamuk. Jepang hampir mengalahkan Belanda yang payah dalam hal pertahanan dan militer.

Semula Nasution bersama pasukan induk di sekitar Pasuruan, lalu mundur hingga ke Jember. Nasution, yang sering bergaul dengan Gondokusumo yang nasionalis dan merasa bukan orang Belanda, akhirnya memilih kabur menumpang sebuah cikar. Oleh penduduk desa tempat pasukannya bersembunyi, ia diberi sarung dan baju. Berkat pertolongan tokoh Parindra Jember, sebuah sepeda berhasil dibeli Nasution. Dengan sepeda itu, Nasution mengayuh sepedanya ke arah barat dari Jember.

“Inilah perjalanan pertama dengan bersepeda dari Jember ke Sukabumi, dari Jawa Timur ke Jawa Barat. Saya melewati Probolinggo, Pasuruan, Mojokerto, Solo, Yogya, Kroya, Banjar, terus ke Bandung dalam tempo kurang lebih dua minggu.” kata Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1989).

Tak semua rute dilalui Nasution dengan sepeda. Jika ada kereta beroperasi di jalur selatan Jawa, ia menumpang bersama sepedanya. Namun, tak semua kereta aktif beroperasi. Di beberapa kota yang dilalui Nasution, kebanyakan masih sepi. Orang-orang begitu takut jelang kedatangan serdadu Jepang.

Di Bandung, Nasution ke rumah Rahmat Kartakusumah, yang sudah ditawan militer Jepang. Selama perjalanan, Nasution memang selalu mengunjungi rumah kenalan-kenalannya. Sementara serdadu Jepang yang ganas, jika menemukan Nasution, bisa saja Nasution ditembak mati tanpa diadili.

Seorang kenalan bernama Soeroso di Mojokerto menasihati Nasution untuk tidak terang-terangan mengunjungi seseorang, karena akan menimbulkan kecurigaan. Untuk menghindari kecurigaan, Nasution yang sudah di Bandung rela bersembunyi di Sukabumi. Nasution lebih sering mengaku sebagai guru yang sekolahnya di Bandung ditutup karena perang. Nasution bahkan sempat meminjam tanah untuk bertani kacang, meski akhirnya tidak berhasil. Ia pernah mencoba ke Bandung sebentar, tetapi karena kondisi belum aman, ia kembali lagi ke Sukabumi.

Setelah tiga bulan dalam pelarian, banyak orang Indonesia yang jadi militer Belanda dibebaskan. Nasution pun memberanikan diri ke rumah Gondokusumo, yang belakangan jadi mertuanya. Gondokusumo dan keluarganya yang menyelamatkan pilot tempur Jepang di Purwakarta itu dipercaya militer Jepang Bandung. Begitulah akhir cerita desersi Nasution yang memulai kehidupan baru sebagai orang sipil sebentar, lalu sebagai tentara lagi di TNI hingga menjadi jenderal.

Baca juga artikel terkait SEPEDA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti