Menuju konten utama

Rodrigo de Villa dan Sejarah Kerja Sama Asing Perfilman Indonesia

“Kalau Penonton mau yang India, kita kasih India. Biar sampai mereka bosan.”

Rodrigo de Villa dan Sejarah Kerja Sama Asing Perfilman Indonesia
Rd Mochtar dan Netty Herawaty di film Rodrigo de Villa. FOTO/wikipedia

tirto.id - Pada 1952, sebuah papan reklame keliling yang memamerkan iklan film buatan Perseroan Artis Indonesia (Persari) berjudul Rodrigo de Villa bikin ramai jalanan Jakarta. Gambar wajah kedua pemeran utama, Raden Mochtar dan Netty Herawati, menyembul jelas di atas triplek raksasa yang diarak dengan gerobak.

Mochtar difoto dalam pose gagah sambil menghunuskan pedang. Sementara, Netty dalam balutan gaun off shoulders nampak tak berdaya bersadar di bahu Mochtar. Sekilas Netty terlihat seperti tokoh perempuan dalam poster-poster film Amerika yang agak loyo. Ibarat pawai, pemandangan itu langsung menjadi pusat perhatian warga.

Berdasarkan catatan Harlen Lookman yang dimuat dalam majalah Varia edisi Januari 1956, reklame besar-besaran itu berhasil membangkitkan rasa penasaran masyarakat. Apalagi dalam iklannya, Rodrigo de Villa digadang sebagai film Indonesia pertama yang tata warnanya menggunakan teknik Hollywood.

Persari dan Kerjasama Asing

Rodrigo de Villa adalah film Indonesia pertama yang lahir dari kerjasama dengan pihak asing. Proses pembuatan dilakukan dengan menggabungkan sumber daya perusahaan film Persari milik saudagar asal Minang, Djamaluddin Malik, dengan Studio LVN dari Filipina.

Film ini cukup ambisius. Biayanya diperkirakan mencapai 150.000 peso atau sekitar Rp1 juta, tiga kali lebih mahal dari biaya film nasional Darah dan Doa (1950) buatan Usmar Ismail di Perfini.

Filmnya dibuat dalam dua versi yang memiliki perbedaan pemain dan bahasa. Meskipun ceritanya sendiri disadur mentah-mentah dari skenario yang ditulis orang Filipina, tetapi sutradara dan para pemainnya tetap orang Indonesia.

Kerjasama Persari dan studio di Manila sebenarnya sudah dimulai pada 1951, dua tahun sebelum Rodrigo de Villa diproduksi. Dalam kurun kurang dari satu tahun, Persari mengirimkan lima buah film untuk dicuci di laboratorium Manila, yakni Rindu (1951), Bunga Bangsa (1951), Bakti Bahagia (1951), Sepandjang Malioboro (1951), dan Rumah Hantu (1951).

Kerjasama asing Persari yang pertama itu dilandasi oleh rasa tidak puas Djmaluddin Malik terhadap kondisi laboratorium film milik Perusahaan Film Negara (PFN). Menurut Djamal, PFN sangat sulit bekerjasama dengan produser swasta. Belum lagi peralatan tercanggih yang dimiliki pemerintah Indonesia saat itu kerap tidak tersedia karena selalu dipinjam perusahaan film lain.

“Tujuan utama Persari mengirimkan film2nja ke Manila ialah oleh karena sama sekali tidak mendapat pekerdjaan bersama PFN yang semestinya harus membantu perusahaan2 film nasional,” kata Djamal melansir Aneka No.32 (10/1/1952).

Di samping produksi bersama, jelas J.E. Luik dalam makalah “Indonesian-Philippine Co-Production Movie: From Rodrigo de Villa to Holiday in Bali” (2010) LVN juga berperan sebagai konsultan yang bertugas mencarikan laboratorium film khusus untuk film-film Persari.

Makalah yang disunting dalam Jurnal Ilmiah Scriptura, Vol. 3, No. 1 (Januari 2009) itu juga menyebutkan Persari berhasil memproduksi dua buah film berwarna dalam kurun dua tahun berkat teknologi percetakan film di Manila. Setelah Rodrigo de Villa, Persari membuat film berwarna kedua berjudul Leilani (Tabu) pada 1953. Keduanya sama-sama melibatkan orang Filipina sebagai penulis skenario.

Sejak 1953, hubungan Persari dengan beberapa perusahaan film Filipina semakin erat. Selain LVN, Persari juga teken kontrak dengan Nolasco Pictures dan menghasilkan sebuah film berlatar alam Indonesia dengan pemain-pemain dari Filipina.

Asal Penonton Senang

Tiga puluh tahun setelah rilis perdana, Goenawan Mohamad dalam rubrik catatan pinggirnya di majalah Tempo (28/5/1983) mengkritik Rodrigo de Villa. Ia bilang film itu penuh dengan keganjilan. Terlebih akibat cerita dan penokohannya yang tidak cocok untuk selera orang Melayu tahun 1950-an.

“Djamaluddin Malik sekali sabet memungut begitu saja sebuah cerita yang mungkin cocok buat Filipina yang Katolik-Spanyol tapi agak ganjil buat Indonesia yang Islam-Melayu,” tulis Goenawan.

Menurut resensi J.B. Kristanto dalam Katalog Film Indonesia, 1926-2005 (2005, hlm. 23), Rodrigo de Villa yang memang sarat akan pertikaian kekuasaan antara Kesultanan Turki dengan Kerajaan Castile di Spanyol abad ke-9. Tokoh Rodrigo yang dimainkan Raden Mochtar pada akhirnya berhasil memadamkan konflik internal kerajaan seraya mengusir orang-orang Turki.

“Seandainya Rodrigo de Villa dibuat sekarang, pemerintah pasti akan menyetopnya atau organisasi-organisasi Islam akan memprotesnya. Dan para penulis resensi akan terpingkal-pingkal. Tapi 30 tahun yang lalu adalah 30 tahun yang lalu,” lanjut Goenawan.

Meskipun dinilai janggal untuk selera orang Melayu, strategi iklan film Rodrigo de Villa yang megah tetap berbuah manis. Prestasi kisah heroik Rodrigo di atas layar perak tidaklah buruk untuk ukuran tahun 1950-an. Berdasarkan catatan Ramadhan K.H. dan Nina Pane dalam Djamaluddin Malik: Pengusaha, Politikus, Pelopor Industri Film (2006, hlm. 68) antrean penonton Rodrigo de Villa di bioskop Alhambra, Sawah Besar, sampai mengular.

Infografik Rodrigo de Villa

Infografik Rodrigo de Villa. tirto.id/Nadya

Djamal bukannya tak peduli selera penonton. Ia justru paham betul selera penonton Indonesia yang masih menggemari melodrama percintaan yang diselingi nyanyian dan adegan adu pedang warisan film-film buatan etnis Tionghoa sebelum Perang Dunia II. Oleh karena itu, ia memilih Rodrigo de Villa yang penuh cinta dan laga.

Layaknya cerita Rodrigo de Villa dan Leilani (Tabu) yang dipungut dari Filipina, Djamal dikenal sebagai sosok yang tidak segan-segan menganjurkan peniruan terhadap film-film populer yang dikehendaki penonton. Hal ini dituliskan Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia (1982, hlm. 42).

Kebijakan bisnis Djamal ini lantas membuka pintu kerjasama asing lainnya, kali ini dengan perusahaan film India. Tercatat sejak pertengahan 1950-an, Persari mulai gencar mengirimkan teknisi-teknisinya untuk belajar film ke India, setelah sebelumnya banyak yang sudah melenggang ke Amerika dan Filipina. Di lain kesempatan, Persari mendatangkan sutradara dan ahli kamera dari India ke Jakarta.

Buah dari kerjasama tersebut menghasilkan film Djanjiku (1956) yang ceritanya disadur langsung dari sebuah film India laris. Berdasarkan penuturan sutradara Rodrigo de Villa Rempo Urip kepada Salim Said, saat itu Djamaluddin memang terobsesi memberikan tontonan yang paling disukai penonton. Kebetulan pada periode yang sama, film India tengah merajai bioskop dalam negeri.

“Kalau Penonton mau yang India, kita kasih India. Biar sampai mereka bosan,” kata Djamal seperti ditirukan Rempo Urip.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Film
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Windu Jusuf