Menuju konten utama

RKUHP Rasa Kolonial: Pasal Penghinaan Presiden Dihidupkan Kembali

Pasal penghinaan presiden dalam KUHP warisan kolonial telah dibatalkan MK. Tapi DPR dan pemerintah membangkitkannya lagi.

RKUHP Rasa Kolonial: Pasal Penghinaan Presiden Dihidupkan Kembali
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (kiri) menyerahkan tanggapan pemerintah kepada pimpinan Komisi III DPR rapat kerja tentang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/nz

tirto.id - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tinggal selangkah lagi disahkan menjadi undang-undang. Pembahasan di tingkat Panitia Kerja (Panja) RKUHP Komisi III telah selesai dan DPR bersama pemerintah sepakat melanjutkan ke tingkat selanjutnya: rapat paripurna.

Meski nampaknya akan berjalan mulus, masih banyak elemen masyarakat sipil yang berharap RKUHP tak disahkan oleh DPR periode 2014-2019, yang akan habis masa kerjanya akhir bulan ini. Mereka merasa banyak pasal yang masih perlu dibenahi, bahkan ditiadakan.

Salah satu poin yang disoroti adalah pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.

Dalam draf RKUHP, aturan tersebut tercantum dalam Pasal 218 dan 219 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 218 mengatakan setiap orang yang dianggap "menyerang kehormatan" presiden dan wakil presiden bisa dipidana maksimal 3,5 tahun atau denda Rp150 juta.

Sementara Pasal 219 menyebut setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang dianggap menyerang kehormatan dan martabat presiden dan wakil presiden di depan publik, terancam hukuman paling lama empat tahun enam bulan atau denda paling banyak kategori IV, yakni maksimal Rp150 juta.

Sedangkan Pasal 220 menegaskan perbuatan itu baru menjadi delik apabila ada aduan dari presiden atau wakil presiden. Hukuman lebih berat diberikan bagi yang menyiarkan hinaan tersebut. Pada Pasal 219, disebutkan ancamannya adalah 4,5 tahun penjara.

Sejumlah pasal tersebut dianggap berbahaya bagi kehidupan berdemokrasi dan memukul mundur semangat reformasi yang sudah diperjuangkan bertahun-tahun.

Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dio Ashar Wicaksana menilai pasal ini sangat berpotensi menjadi 'karet', bahkan bisa menjadi senjata pemerintah untuk mengkriminalisasikan masyarakat hanya karena mengkritik kebijakan presiden.

"Karena nanti potensi kriminalisasi justru ketika ada kritik kepada kebijakan presiden, padahal dalam negara demokrasi kritik masyarakat sangat penting," ujar Dio kepada reporter Tirto, Kamis (19/9/2019).

Soal pasal ini Mahkamah Konstitusi (MK) sebetulnya pernah memutuskan untuk menghapusnya pada 2006. Hakim MK kala itu menilai pasal tersebut bisa menimbulkan ketidakpastian hukum lantaran tafsirnya yang amat rentan manipulasi.

Karena itulah bagi Dio pasal ini semestinya sudah tamat selamanya. Tapi DPR dan pemerintah membangkitkannya lagi dengan mengubahnya dari delik biasa menjadi delik aduan.

Delik aduan berarti setiap orang yang menghina presiden harus diadukan terlebih dahulu oleh pihak yang merasa dirugikan atau korban sebelum bisa diproses penegak hukum. Sementara delik umum memungkinkan aparat memproses kasus tersebut dengan atau tanpa pengaduan korban.

Menurut Dio, perubahan ini sama saja. Tak ada bedanya untuk membungkam kritik dalam negara yang menganut sistem demokrasi ini.

Malahan, kata Dio, justru presiden atau wakil presiden bisa secara subjektif melaporkan ke kepolisian setiap kritik yang dianggap menyerangnya. Apalagi dikhawatirkan presiden atau wakil presiden akan bertarung melawan masyarakatnya sendiri dalam peradilan, yang menurutnya sangat tak baik.

"Padahal kritik dan masukan masyarakat sangat penting, apalagi pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung," ujar Dio.

Karena alasan serupa, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menegaskan pasal ini harus dihapus.

Menurut Fickar, pasal penghinaan terhadap presiden masuk dalam KUHP karena masih mengacu pada aturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda. Atas alasan itulah wajar belaka jika MK menghapus pasal ini. Ia tak relevan di masa saat ini.

"Dahulu mengapa KUHP mengaturnya, karena aslinya 'Penghinaan Terhadap Ratu,' dimana Belanda adalah kerajaan, Ratu sebagai lambang negara [yang] harus dihormati dan dijaga nama baiknya," terang Fickar kepada reporter Tirto, Kamis (19/9/2019).

Fickar juga khawatir, pasal ini bisa digunakan untuk menjerat pers yang mengkritik kebijakan presiden lewat pemberitaan.

"Itu yang menjadi bahaya. Mesti hati-hati, merumuskan atau kriminalisasi perbuatan yang mestinya bukan perbuatan kriminal," ucap Fickar.

DPR Klaim Tak Mau Polisi Cari Muka

Anggota Panitia Kerja RKUHP DPR RI Arsul Sani mengatakan alasan pasal ini dibangkitkan lagi dan diubah menjadi delik aduan agar tak ada lagi aparat yang mencari muka ke pemimpin negara.

"Maka kami atur sekarang supaya penegak hukumnya itu tidak, katakanlah, cari muka ke presiden kemudian nangkap-nangkapin orang, kemudian nyari-nyari orang. Maka kami atur, ini tidak lagi menjadi delik biasa, tetapi menjadi delik aduan. Siapa yang bisa ngadu? Ya Pak Presiden-nya atau kuasa hukumnya," kata Arsul di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2019).

Mengubah pasal jadi delik aduan juga dalam rangka menjaga demokrasi di Indonesia dan tak seenaknya masyarakat menghina seorang presiden atau wakil presiden.

"Jadi kami sepakat untuk tetap diatur supaya demokrasi kita, kritik kita, itu tetap menjaga kultur kesantunan. Tidak kemudian seenak perutnya bisa ngata-ngatain presiden," ucap Sekjen PPP ini.

Baca juga artikel terkait POLEMIK RKUHP atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Hukum
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz