Menuju konten utama

RKUHP Pasal Aborsi Dikritik, Kemenkes Akan Tetap Ikuti RKUHP

Kemenkes akan melihat RKUHP soal aborsi, jika memang ada yang kontradiktif dengan poin dalam Permenkes, baru akan disesuaikan.

RKUHP Pasal Aborsi Dikritik, Kemenkes Akan Tetap Ikuti RKUHP
Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)DIY, Candrika P. Ratri (tengah) memberikan keterangan kepada wartawan di Yogyakarta, Rabu (31/7/2019). (tirto.id/Irwan A. Syambudi)

tirto.id - Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan akan menunggu kepastian hasil dari pembahasan RKUHP soal aborsi.

"Tentu nanti itu kalau sudah ada [ditetapkan menjadi RKUHP], tentu aturan di bawahnya [Permenkes] harus disesuaikan," kata Anung saat ditemuk di kawasan Gator Subroto, Jakarta, pada Selasa (10/9/2019).

Namun demikian pihaknya akan melihat pasal-pasal dalam RKUHP secara menyeluruh. Jika memang ada yang kontradiktif dengan poin dalam Permenkes, baru disesuaikan.

"Iya, pada saatnya, kami lihat secara utuh, konsepnya seperti apa, kan enggak bisa lihat pasal itu saja, lihat pasal lain juga, ada enggak yang berkaitan dengan hal-hal semacam itu," ujar Anung.

Anung pun menjelaskan bahwa ada pelaksanaan aborsi terhadap korban perkosaan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Permenkes Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratann Medis dan Kehamian Akibat Perkosaan tersebut harus melalui beberapa kriteria.

"Syarat-syaratnya kan harus dipenuhi dulu, usia kehamilannya, kemudian psikologi, konsultasi, dan sebagainya," kata Anung. "Nanti kalau memang sudah ada, atas putusan pengadilan, kita baru lakukan sesuatu," tambahnya.

Dalam Undang-Undang tentang Kesehatan Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, Aborsi dilarang. Namun, terdapat pengecualian untuk korban pemerkosaan dan ibu dalam keadaan gawat darurat.

Terdapat pula aturan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan. Permenkes tersebut mengatur tata laksana aborsi di Indonesia.

Namun, Peneliti ICJR Maidina Rahmawati menyampaikan bahwa masih terdapat sejumlah poin yang bermasalah dalam RKUHP soal aborsi.

"Pasal-pasal tentang pengguguran kandungan masih menyisakan masalah yang mutlak harus diperbaiki oleh pemerintah dan DPR pada masa pembahasan RKUHP ini," tegas Maidina saat dihubungi pada Jumat (6/9/2019).

Ia menjabarkan sejumlah pasal yang bermasalah, yakni:

1. Pasal 251 ayat (1) tentang kriminalisasi memberi obat atau meminta seorang perempuan untuk menggunakan obat dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa obat tersebut dapat mengakibatkan gugurnya kandungan.

2. Pasal 415 tentang kriminalisasi mempertunjukkan alat untuk menggugurkan kandungan.

3. Pasal 470 ayat (1) tentang kriminalisasi setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan.

4. Pasal 471 ayat (1) tentang kriminalisasi setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya.

"RKUHP diskriminatif terhadap korban perkosaan [...] RKUHP memuat pengecualian berupa tidak memidana dokter yang melakukan pengguguran kandungan atas indikasi medis dan untuk korban perkosaan, sedangkan pengecualian untuk perempuan yang melakukan tidak dimuat," jelas Maidina.

Harusnya kata dia RKUHP harus memuat jaminan bahwa tidak ada pemidanaan bagi aborsi yang dilakukan atas indikasi medis dan untuk korban perkosaan dan semua aspeknya, baik aspek pengobatannya, perbuatan aborsi nya sendiri, maupun promosi kesehatan terkait hal tersebut.

Kemudian, kata Maidina, apabila ketentuan pengecualiaan tersebut tidak dimasukkan dalam RKUHP, maka bisa mengancam korban perkosaan yang melakukan penguguran kandungan.

"Padahal apabila merujuk semangat kodifikasi Pemerintah dan DPR, maka aturan tentang pengecualian seperti yang dimuat dalam UU Kesehatan, harus diatur dalam RKUHP," tegas Maidina.

Baca juga artikel terkait RKUHP atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Irwan Syambudi