Menuju konten utama

RKUHP Buktikan Indonesia Tak Punya Komitmen Hapus Hukuman Mati

Panja RKUHP berdalih tidak bisa serta merta menghapus hukuman mati karena banyak yang menginginkan dan sebagai jalan tengahnya menerapkan masa percobaan.

RKUHP Buktikan Indonesia Tak Punya Komitmen Hapus Hukuman Mati
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (kiri) menyerahkan tanggapan pemerintah kepada Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin (kanan) Komisi III DPR tentang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/nz

tirto.id - Presiden Joko Widodo memang memutuskan menunda pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Tapi itu sebenarnya tidak menyelesaikan masalah selama pasal-pasal kontroversial yang ada di dalamnya tidak diperbaiki.

Salah satu yang bermasalah dalam RKUHP adalah banyaknya pasal yang dilengkapi dengan sanksi hukuman mati. Misalnya, pasal terkait makar.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Ricky Gunawan mengatakan sebenarnya dia tidak terkejut dengan itu karena menganggap pemerintah memang tidak pernah punya komitmen menghapus hukuman mati dalam dunia hukum Indonesia.

Lagipula, kata Ricky kepada reporter Tirto, Kamis (19/9/2019), laju tuntutan dan vonis hukuman mati masih tinggi meski eksekusinya tidak terjadi dalam dua tahun terakhir.

Berdasar pantauan LBH Masyarakat, per 10 Desember 2018 setidaknya ada 298 terpidana mati. 45 vonis dijatuhkan pada 2018, 33 vonis pada 2017, dan sisanya pada 2016.

“Mengingat jaksa ini di bawah presiden, kalau presiden sungguh-sungguh punya intensi moratorium, harusnya dibarengi dengan instruksi ke kejaksaan untuk tidak mengajukan tuntutan mati,” kata Ricky.

Dalam RKUHP, seorang hakim bisa menjatuhkan hukuman mati dengan masa percobaan. Artinya, ada waktu 10 tahun bagi terpidana mati untuk membuktikan dirinya sudah berubah. Putusan itu bisa dijatuhkan jika dalam proses persidangan terdakwa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki, perannya dalam kasus itu tidak terlalu penting, dan ada alasan meringankan.

Hukuman bisa diubah jadi penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden atas pertimbangan Mahkamah Agung.

Tapi bagi Ricky, ketentuan itu justru membuka potensi korupsi baru: jual beli putusan hukuman mati dengan percobaan. Idealnya, ketentuan percobaan 10 tahun diterapkan pada seluruh terpidana mati tanpa terkecuali.

“Kalau tidak punya lawyer yang berkualitas, bisa jadi kesulitan meminta hakim mencantumkan ketentuan itu,” kata Ricky.

Direktur Eksekutif Institute Criminal For Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju pun memandang sinis pengaturan hukuman mati dengan percobaan. Salah satu yang bakal jadi sumber masalah adalah tidak jelasnya lembaga yang mengawasi napi dalam masa percobaan dan kriteria mendapat pengurangan hukum.

“Ini yang tidak pernah dibahas,” kata Anggara.

Anggara pun menganggap pengaturan masa tunggu 10 tahun bukan langkah maju. Sebab ide itu bahkan sudah dituangkan dalam draf RKUHP yang pertama kali diajukan tahun 1991.

Soal nihilnya eksekusi mati dalam dua tahun terakhir, Anggara menilai itu bisa terjadi karena pemerintah memang belum memerlukan itu. Eksekusi mati hampir bisa dipastikan akan dilakukan lagi ketika pemerintah butuh membangun citra bahwa mereka tegas terhadap kejahatan.

Umumnya ini terjadi di awal masa pemerintahan seorang presiden.

Sebagai catatan, eksekusi mati pertama di era Presiden Jokowi digelar terhadap duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, pada 29 April 2015 atau enam bulan setelah Jokowi-Jusuf Kalla dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.

Melawan Arus

Lewat RKUHP, Indonesia seolah melawan tren internasional yang cenderung menghapus hukuman mati.

Berdasarkan catatan Amnesty International, tahun lalu ada 106 negara yang telah menghapus hukuman mati dari sistem hukum mereka. Ini belum termasuk negara yang masih menerapkan hukuman mati, tapi tidak pernah dilakukan.

"Masyarakat global menganggap hukuman mati sudah ketinggalan zaman. Hukuman mati dilihat sebagai hukuman yang kejam karena menutup pintu tobat," kata peneliti dari Amnesty International Indonesia Papang Hidayat kepada reporter Tirto.

Hukuman mati juga dianggap tidak memberikan efek jera. Hal itu terlihat dari indeks persepsi korupsi tahun 2018 yang dilansir Transparency International. Dari 10 besar negara paling bersih di dunia, tak ada satu pun negara yang menerapkan hukuman mati terhadap koruptor.

Cina yang menerapkan hukuman mati terhadap koruptor justru tercecer di urutan ke-87 dengan skor 39. Ia hanya terpaut dua peringkat dari Indonesia di posisi ke-89 dengan skor 38.

Sikap Indonesia yang ngotot mempertahankan hukuman mati juga sebetulnya bisa memperlemah Indonesia dalam kerja sama hukum internasional. Pemerintah Belanda, misalnya, sempat menolak memberikan hasil visum terhadap mayat Munir yang teridentifikasi diracun. Alasannya, mereka tahu pembunuhan berencana di Indonesia berpotensi diganjar hukuman mati.

“Akhirnya waktu itu Jaksa Agung sepakat [tidak ada hukuman mati bagi pelaku pembunuhan]," kata Papang.

Jalan Tengah

Anggota DPR RI Komisi III yang juga anggota panitia kerja RKUHP, Arsul Sani, menjelaskan mereka tidak bisa serta merta menghapus hukuman mati. Dia beralasan, masih banyak kelompok masyarakat yang menginginkan pidana mati tetap ada bahkan menjadi pidana pokok.

"Nah kami bikin tengah-tengahnya. Pidana mati tapi tempatkan tidak lagi [sebagai] pidana pokok, tapi pidana khusus yang istilahnya dijatuhkan secara alternatif," kata Arsul di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (20/9/2019).

Arsul menilai penerapan masa percobaan 10 tahun adalah langkah awal pemerintah dan DPR untuk mulai menghindari hukuman mati. Solusi ini diusulkan oleh pakar hukum pidana Profesor Muladi.

Ia mencontohkan bandar narkoba Bali Nine yang dirasa sudah berubah jadi baik, tapi nyawanya tidak bisa diselamatkan karena tak ada mekanisme hukum untuk itu.

"Cara kami yang bijak," ujar Arsul.

==========

(Revisi Jumat 20 September 2019 pukul 17:28 WIB: struktur naskah sedikit diubah)

Baca juga artikel terkait RKUHP atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz