Menuju konten utama

Rizal Ramli & Kwik Kian Gie akan Jadi Saksi di Sidang Korupsi BLBI

Kedua ekonom senior itu akan menjadi saksi dalam persidangan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung dalam kasus pemberian SKL BLBI.

Rizal Ramli & Kwik Kian Gie akan Jadi Saksi di Sidang Korupsi BLBI
Terdakwa kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung didampingi penasehat hukumnya Yusril Ihza Mahendra menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/7/2018). ANTARA FOTO/Reno Esnir.

tirto.id -

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana menghadirkan dua mantan Menko Perekonomian, yakni Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli, Kamis (5/7/2018). Kedua ekonom senior itu akan menjadi saksi dalam persidangan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung dalam kasus pemberian SKL BLBI.

Penasihat hukum Syafruddin, Yusril Ihza Mahendra tidak memiliki persiapan khusus untuk kehadiran dua ekonom tersebut. Ia siap mendengarkan keterangan para saksi, meskipun belum mengetahui maksud dari KPK memanggil kedua ekonom tersebut.

"Sebenarnya keterkaitan langsung dengan Pak Syafruddin tidak nyata ya karena Pak Kwik menjadi Ketua KKSK sebagai Menko Perekonomian itu sebelum Syafruddin menjadi Ketua BPPN begitu juga Pak Rizal Ramli. Jadi ya apa yang mau disampaikan besok kita dengar saja lah," kata Yusril di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Rabu (4/7/2018).

Yusril menegaskan, permasalahan kasus korupsi Syafruddin terjadi karena mantan Kepala BPPN tersebut dinilai kongkalikong dengan Sjamsul Nursalim. Pandangan tersebut ditolak tim penasihat hukum. "Mereka beralasan pemotongan jumlah hutang petani tambak udang itu diputuskan KKSK, bukan diputuskan BPPN saja," ujar Yusril.

Selain itu, Yusril menolak pandangan Sjamsul membayar uang dan melobi Syafruddin terkait pemotongan hutang petambak. Syafruddin ketika akhir masa jabatannya itu menyampaikan kepada Menkeu bahwa jumlah utang petani tambak Rp4,8 triliun. Akan tetapi, perusahaan yang dibentuk oleh pemerintah untuk mengambil alih penagih utang-utang itu dan menjual aset dari BDNI senilai Rp220 miliar. Namun, pemerintah justru menyalahkan Syafruddin akibat penjualan aset tersebut padahal Syafruddin berhenti jadi Ketua BPPN sudah lama.

"Syafruddin dah lama. Saya dah lama gak jadi Ketua BPPN. Saya serahkan waktu itu Rp4,8 triliun, dijual zaman pemerintahan SBY cuma Rp220 miliar salahin yang jual, kenapa saya yang dipersoalkan?" kata Yusril.

Yusril menilai Sjamsul Nursalim tidak bisa dipidana. Ia beralasan, UU Perseroan pada saat itu tidak ada tanggung jawab pemegang saham. Ia memahami bahwa pemerintah mengoper tanggung jawab BDNI ke pemilik saham pengendali yakni Sjamsul Nursalim. Namun, hal tersebut tidak serta merta membuat Sjamsul membayar secara pribadi bisa dipidana.

"Jaksa keliru memahami tanggung jawab pemegang saham. Jadi seolah-olah ini tanggung jawab pemegang sahamnya PT Dipasena. Dipasena bertanggung jawab iya, tapi bukan Sjamsul Nursalim pribadi walaupun dia waktu itu sebagai pemegang saham pengendali," kata Yusril.

Jaksa KPK mendakwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung menyalahgunakan wewenang dengan menerbitkan surat keterangan lunas piutang Bank Dagang Nasional Indonesia kepada petani tambak. Ia didakwa menerbitkan SKL bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjorojakti, pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istri Sjamsul, Itjih S Nursalim.

Syafruddin didakwa menerbitkan surat keterangan lunas untuk piutang Sjamsul Nursalim. Syafruddin menerbitkan surat keterangan lunas padahal Sjamsul belum membayar lunas kewajiban kepada pemerintah.

Akibat tindakan tersebut, Syafruddin dianggap melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya Sjamsul Nursalim sejumlah Rp4,58 miliar yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Atas perbuatan tersebut, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana.

Baca juga artikel terkait KASUS KORUPSI BLBI atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri