Menuju konten utama

Riwayat Si Pembangkang Victor Hugo, Google Doodle Hari Ini

Victor Hugo dikenal penulis legendaris yang menghasilkan novel Les Miserables dan Notre-Dame de Paris. Namun, tak cuma karya sastranya yang dikenang banyak orang. Rekam jejak aktivisme sosial-politiknya memikat simpati khalayak.

Riwayat Si Pembangkang Victor Hugo, Google Doodle Hari Ini
Victor Hugo. Foto/alchetron

tirto.id - Hari ini, 30 Juni, Google merayakan Victor Hugo, penulis tersohor dan aktivis hak asasi manusia asal Perancis. Bab final novelnya yang terkenal dan telah diadaptasi dalam film dan pertunjukan, Les Misérables, dipublikasikan tepat pada hari ini tahun 1862. Selain Les Misérables, karya Hugo yang paling diingat khalayak adalah Notre-Dame de Paris yang dirilis pada 1831.

Hugo lahir di Besançon, Perancis, pada 26 Februari 1802. Semasa kecil, ia tinggal bersama sang Ibu dan kedua kakaknya, Abel dan Eugène, di Paris. Sementara, sang Ayah berdomisili di Italia lantaran bertugas sebagai gubernur provinsi Avellino. Ayah Hugo adalah pendukung loyal Napoleon, sedang ibunya royalis Katolik yang setia. Ketidakcocokan pandangan politik orangtuanya ini memengaruhi kehidupan keluarga Hugo.

Pada usia 15 tahun, Hugo memenangi kompetisi puisi yang diselenggarakan Académie Française. Tahun berikutnya, ia menjuarai kompetisi puisi lain, Académie des Jeux Floraux. Sejak remaja, reputasinya sebagai pujangga telah melesat. Pada usia 20 tahun, ia telah mengantongi gaji sendiri dari hasil tulisannya.

Volume I Odes et Poésies Diverses yang ditulisnya mendatangkan hadiah dari Raja Louis XVIII. Pada 1826, Hugo menerbitkan Odes et Ballades yang kian meneguhkan posisinya sebagai penulis berpengaruh dalam dunia sastra romantis Perancis.

Hugo sempat mengambil studi hukum di Paris. Namun, kecintaannya terhadap dunia sastra membuatnya kembali menekuni dunia menulis. Sejalan dengan minatnya pada menulis, Hugo juga mengembangkan minatnya terhadap isu sosial dan politik, terutama membela kaum-kaum marginal.

Notre-Dame de Paris tak hanya sukses merebut para penikmat sastra. Novel ini juga membuat Katedral Notre Dame dan bangunan Renasains lain menjadi populer di kalangan masyarakat Eropa sehingga mendorong pemugaran terhadap bangunan-bangunan tersebut. Secara garis besar Notre-Dame de Paris menyampaikan kritisisme terhadap masyarakat yang mengucilkan Quasimodo yang cacat pada zaman Pertengahan.

Pada awal kehidupannya, Hugo yang dididik oleh sang Ibu mendukung sistem monarki di Perancis. Namun, beberapa kejadian yang dialaminya setelah dewasa membuat Hugo berpindah haluan. Pertama, pada 1832, Jendral Lamarque yang memberontak pemerintah monarki Louis Philippe direpresi. Hal ini menjadi inspirasi adegan pemberontakan pelajar dalam Les Misérables.

Kedua, pada 1848, gagal panen, pengangguran yang menanjak, harga makanan melambung, dan resesi besar menciptakan pergolakan sosial-politik di Perancis. Revolusi pun terjadi.

Hugo yang kala itu menduduki posisi politik strategis berada dalam dilema: Membela kaum marjinal seperti yang selalu dilakukannya dalam berkarya atau memihak pemerintah monarki yang selama itu didukungnya?

Ada satu momen saat Hugo dilumat rasa bersalah karena mesti menekan orang-orang yang memberontak pemerintah monarki, orang-orang yang sebelumnya menyokong Hugo. Seiring waktu, Hugo melihat cacat cela pemerintahan monarki, terlebih saat Napoleon III yang otoriter berkuasa. Hugo berbalik mengkritisi pemerintah dan membela mereka yang ingin menggulingkan tirani monarki.

Pertentangannya terhadap Napoleon III yang berkuasa sejak kudeta 2 Desember 1851 membuat Hugo kabur ke Brussel, Belgia, guna menghindari penangkapan penguasa terhadap siapa saja yang melawan pemerintah. Sayangnya, ia tak bisa lama berlindung di negara itu. Pemerintah Belgia, yang berelasi dekat dengan pemerintah Perancis, menyadari bahwa keberadaan Hugo yang mengambil posisi oposisi berpotensi merenggangkan hubungan bilateral mereka. Hugo pun kembali mencari tempat aman di negara lain—yaitu Jersey, Channel Islands, Inggris—dan bergabung dengan sekumpulan orang Perancis lain yang sehaluan dengannya.

Pengungsian Hugo tidak berhenti sampai di situ. Pada saat di Jersey, Hugo menghasilkan Napoléon le petit (1852) dan Châtiments (1853); keduanya merefleksikan kepahitan dan kemarahan yang dirasakannya. Menyadari aktivitas perlawanan yang masih Hugo lakukan, pemerintah Perancis pun menekan pihak Inggris untuk tidak mengizinkan publikasi sang penulis yang bisa membahayakan relasi kedua negara.

Pada 1855, Hugo dipindahkan ke Guernsey, pulau lebih kecil di gugusan Channel Islands. Hal ini terjadi setelah ia mendukung koran yang mengkritisi Ratu Victoria. Di sanalah ia bersama sejumlah sejawat menghabiskan nyaris 15 tahun hidupnya.

Selama di luar Perancis, Hugo terus menulis kritik terhadap pemerintahan Napoleon III. Meski tulisannya dilarang beredar di negara asal, pengaruh Hugo terus menyebar. Karyanya juga disebut-sebut berdampak terhadap karya penulis-penulis lain seperti Charles Dickens, Fyodor Dostoevsky, dan Albert Camus.

Anton Kurnia, penerjemah Les Misérables ke dalam bahasa Indonesia, mengatakan bahwa Hugo ialah pengarang yang peduli pada politik dan perubahan zaman. Dalam Les Misérables, ujar Kurnia, "kentara dia bersemangat progresif dan pro revolusi. Dia menggambarkannya dengan hidup dalam novel ini."

Saat Hugo meninggal pada 22 Mei 1885, lebih dari dua juta orang menghadiri pemakamannya. Ini salah satu mobilisasi massa paling besar di Paris dengan jumlah orang yang terlibat melampaui populasi kota tersebut saat itu.

========

Catatan: Terjemahan Les Misérables diterbitkan oleh Bentang pada 2008. Notre-Dame de Paris diterjemahkan Sunaryono Basuki K.S. (dan disunting oleh Anton Kurnia) dengan judul Si Cantik dari Notre Dame, diterbitkan oleh Serambi pada 2010.

Baca juga artikel terkait GOOGLE DOODLE atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Fahri Salam