Menuju konten utama

Riwayat Rewang Mengumpulkan Sisa-Sisa PKI 1965

Setelah PKI dibikin babak belur, Rewang dan kawan-kawan bergerilya di Blitar Selatan dan akhirnya tertangkap.

Riwayat Rewang Mengumpulkan Sisa-Sisa PKI 1965
Portrait Rewang, mantan tapol PKI yang telah bebas. FOTO/Dodit Sulaksono

tirto.id - Berbulan-bulan Sri Kayati tak tahu lagi kabar suaminya. Sampai dia dengar berita dari kawan-kawannya, pada akhir 1967, jika suaminya berada di Surabaya. Perempuan yang pernah jadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) ini pun memutuskan meninggalkan Jakarta, menuju Surabaya, mencari suaminya.

Namun, begitu tiba di Surabaya, nasib sial menimpanya. Belum juga menemukan sang suami, ia digelandang petugas keamanan. Suami Sri Kayati adalah Rewang, pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Seperti tersangka lain, ia ditangkap tanpa melalui prosedur hukum yang ada. Ia ditangkap begitu saja tanpa ada surat perintah penangkapan,” tulis Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan (2011).

Saat Sri Kayati ditangkap, para petugas itu bilang: Ia akan dibebaskan setelah suaminya dapat ditangkap. Belakangan, Sri Kayati menghuni Kamp Plantungan, tahanan khusus perempuan untuk mereka yang dianggap PKI. Di situ ia mengaku menyaksikan penganiayaan yang tiada tara kejamnya.

Baca juga:

Perlawanan yang Gagal di Blitar Selatan

Setelah Gerakan 30 September (G30S) 1965 pimpinan Letnan Kolonel Untung digagalkan, banyak pimpinan PKI ditangkapi dan tercerai-berai. Begitu juga Rewang, yang berkeliaran di sekitar Blitar Selatan ketika Sri Kayati ditahan.

Dalam pelariannya itu, menurut catatan Sukri Abdurahman dalam Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional: Bagian II Konflik Lokal (2012), Rewang yakin “PKI tidak salah” pada peristiwa G30S. Dia termasuk anggota politbiro PKI yang tidak setuju dengan petualangan partai dengan sekelompok tentara yang tidak puas dengan atasan mereka.

Rewang dan kawannya, Iskandar Subekti, berada di Surabaya sejak Februari 1967. Sebelum ke Surabaya, bersama Sudisman, Oloan Hutapea, dan Sukatno; Rewang membangun PKI “gaya baru” dengan sebutan Tripanji PKI pada September 1966. Dalam PKI “gaya baru” itu, Rewang juga menjadi anggota Politbiro. Posisi lainnya adalah Ketua Departemen Agitasi Propaganda.

Baca juga: Nahasnya Organisasi-organisasi Onderbouw PKI

Bersama sisa-sisa anggota PKI dan simpatisannya, mereka membangun basis di Blitar selatan—yang kala itu terisolir. “Tak ada lagi pilihan bagi mereka selain melawan atau ditangkap hidup-hidup atau mati,” tulis Amurwani.

Di situ Rewang ikut jadi pemimpinnya. Di Blitar selatan, terdapat sungai bawah tanah yang potensial menjadi lokasi pelarian dan persembunyian orang-orang komunis yang dikejar aparat tentara. Beberapa tahun pertama gerilya sisa-sisa komunis tersebut, mereka agak sulit dihantam, karena lokasi persembunyian yang disediakan alam itu.

Berkat bantuan dari “mantan Dandim Pandeglang, Letnan Kolonel Pratomo, Rewang dan kawan-kawan, mendapat latihan militer bagi para anggotanya. Gerakan mereka dengan cepat memperoleh simpati masyarakat sekitar. Sebab Blitar Selatan merupakan daerah terpencil dengan taraf hidup rakyat yang sangat minim,” tulis Dasman Djamaluddin dalam Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar (2008).

Sementara dalam Tahun Yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65: Esai-esai Sejarah Lisan (2004), Rewang mengatakan, "bahkan anak sekolah dasar pun membantu memberitahu seandainya ada polisi yang datang." Menurutnya, "massa di Blitar selatan memberikan perlindungan tanpa paksaan, karena aktivis PKI tidak membawa [senjata] apa-apa.”

“Selama di Blitar Selatan saya tanpa sabun dan handuk. Pendeknya kita benar-benar meninggalkan pola hidup kota,” terang Rewang dalam memoar yang diterbitkan Ultimus, Saya Seorang Revolusioner (2017), yang disusun Joko Waskito. Bagi Rewang, “perlawanan itu dilakukan dalam situasi amat sulit, ketika sebagian rakyat masih berada dalam ketakutan akibat pembunuhan massal yang sangat kejam dan biadab.”

infografik rewang

Gerilyawan-gerilyawan komunis yang hendak meniru gerilya Vietkong melawan Perancis dan Amerika itu tak pernah sukses. Meski wilayahnya sulit terjangkau, pelan-pelan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) berhasil mematahkan perlawanan gerilyawan-gerilyawan komunis. Di masa-masa itu, tak hanya sisa PKI di Blitar selatan yang berontak. Setidaknya, ada juga PGRS/Paraku di Kalimantan.

Baca juga:

Rewang dan kawan-kawannya akhirnya kena gulung operasi militer Trisula oleh Komando Daerah Militer (Kodam) Brawijaya (Jawa Timur). Menurut pihak militer dalam Operasi Trisula Kodam VIII Brawidjaja (1969), “Rewang alias Parto alias Karto alias Demo alias Siman, lahir tahun 1928 di Dawung Wetan Solo.”

Rewang adalah anak dari Marjosuwiknjo. Ketika ia ditangkap, kedua orang tuanya sudah meninggal. Sang ayah wafat pada 1948. Menurut catatan militer itu pula, Rewang lulus sekolah dasar dan tidak lulus sekolah menengah MULO.

Di masa mudanya, ketika berusia 22 tahun, menurut Bintang Merah volume 6 tahun 1950, Rewang adalah anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) cabang Sukoharjo, Jawa Tengah. BTI merupakan organisasi petani yang belakangan merasa satu tujuan dengan PKI.

Lalu, sebelum Agustus 1965, menurut MR Siregar dalam Tragedi Manusia dan Kemanusiaan (2007), “Rewang adalah Sekretaris Pertama CDB (Comite Daerah Besar) PKI Jawa Tengah.”

“Awal Juli 1966 saya pindah ke Jakarta. Kepindahan saya ke Jakarta karena mendapat tugas baru sebagai Kepala Departemen Kebudayaan dan Sekretariat CC [PKI],” aku Rewang yang akhirnya jadi anggota politbiro partai.

Perlawanan di Blitar Selatan itu, menurut Rewang, hanya bertahan satu setengah tahun dari 1966 hingga 1968. Rewang tertangkap pada 21 Juli 1968 dan ketika diadili ia sudah siap dieksekusi mati. Namun, majelis hakim akhirnya memvonis penjara seumur hidup. Dalam memoarnya, Rewang bercerita soal salah satu anggota majelis hakim yang menjatuhkan vonis padanya belakangan masuk penjara Cipinang gara-gara korupsi.

---

Pada artikel ini, kami melakukan pelanggaran hak cipta dengan menggunakan foto milik Sdr. Dodit Sulaksono tanpa izin. Redaksi tirto.id memohon maaf atas kealpaan pemuatan foto tersebut.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan