Menuju konten utama

Riwayat Diplomasi Senjata Korea Utara-AS

AS dan komunitas internasional telah lama berupaya melucuti kekuatan senjata Korut. Namun sampai saat ini tidak juga berhasil.

Riwayat Diplomasi Senjata Korea Utara-AS
Presiden AS Donald Trump berjabat tangan dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di resor Capella di Pulau Sentosa Selasa, 12 Juni 2018 di Singapura. AP / Evan Vucci

tirto.id - Setelah Joe Biden dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat pada awal 2021, fokus Washington langsung dikerahkan untuk menarik sisa pasukan AS-NATO dari Afganistan usai menjalani misi militer selama 20 tahun. Belum sempat rehat, perhatian mereka sudah teralihkan pada potensi perang antara Cina dan Taiwan serta ketegangan di perbatasan Ukraina-Rusia.

Seiring itu terjadi, Iran datang menagih janji AS terkait kesepakatan yang terjalin pada 2015. Ketika itu Iran setuju untuk membatasi program nuklirnya, namun dengan imbalan sanksi terhadap mereka dicabut. Namun kesepakatan ini ditinggalkan oleh administrasi Donald Trump pada 2018.

Saat segala keriuhan itu terjadi, sepanjang Januari lalu, Korea Utara menguji coba tujuh rudal, lebih banyak dibanding yang diluncurkan selama 2021. Termasuk yang jajal kali ini adalah rudal balistik Hwasong-12 dengan potensi daya jangkau sampai ke markas militer AS di Guam, Samudra Pasifik.

Korut terus melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB dengan konsisten pamer rudal, yang kabarnya dibiayai dengan kripto curian, ketika situasi ekonomi dalam negeri kian merosot karena banjir dan pembatasan selama pandemi Covid-19 yang mengakibatkan penurunan nilai transaksi dengan mitra dagang utama, Cina. Belum lagi kekurangan pangan menimpa 10 juta rakyat atau sekitar 40 persen populasi.

Serangkaian aksi yang dianggap provokatif tersebut ditanggapi dengan keras oleh Biden, yang pernah diejek sebagai “orang bodoh ber-IQ rendah” oleh media pemerintah Korut. Sebelum Korut menjajal rudal, AS memang tampak tidak menjadikan mereka sebagai prioritas kebijakan luar negeri.

Pertengahan bulan kemarin, otoritas AS akhirnya menjatuhkan sanksi terhadap lima pejabat Korut yang berbasis di Rusia dan Cina. Aset-aset mereka di AS dibekukan dan mereka dilarang berbisnis dengan entitas AS. Departemen Keuangan AS menuding mereka sudah menyokong proyek-proyek pertahanan Korut lewat lembaga penelitian Second Academy of Natural Sciences (SANS) di Pyongyang.

Tak berhenti sampai di situ, AS ingin sanksi yang sama dilayangkan oleh Dewan Keamanan PBB, meskipun proposalnya kelak diblok oleh Rusia dan Cina, sekutu Korut pemilik hak veto.

Pemerintah AS dan komunitas internasional telah bertahun-tahun mendorong Korut mengakhiri proliferasi atau aktivitas pengembangan nuklir dan rudal, termasuk menghalau penyebaran teknologinya di antara rezim prosenjata nuklir seperti pemerintah Iran atau Pakistan. Dua pendahulu Biden, Barack Obama dan Donald Trump, telah mengerahkan strategi berbeda untuk melembutkan hati Kim Jong-un, diktator termuda Korut yang berkuasa sejak 2011.

Namun beragam sanksi dari AS dan Dewan Keamanan PBB tak jua berhasil memaksa negara tersebut melepas nuklir dan rudalnya.

Usaha Awal Berdiplomasi

Ambisi Korut mengembangkan senjata, terutama nuklir, bisa ditelusuri sejak awal 1980-an. Kala itu, dibantu Uni Soviet, Korut di bawah komando Kim Il-sung (1948-1994) berhasil membangun reaktor nuklir pertama di Yongbyon—sekitar 100 km di utara ibu kota. Mereka bersikeras teknologi ini dipakai untuk kebaikan. Sebagai bukti, pada 1985 Korut ikut meratifikasi Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT) yang intinya membatasi kepemilikan senjata nuklir.

Di sisi lain, sebagai bentuk keseriusan mendorong proses denuklirisasi di Semenanjung Korea, Presiden George Bush juga menarik seluruh senjata nuklir mereka yang ditempatkan di Korea Selatan pada 1991.

Meskipun terdapat progres dalam diplomasi nuklir, otoritas Korut kala itu disinyalir membiarkan perkembangan senjata peluru kendali alias rudal. Akibatnya, pada 1992, pemerintahan Bush menjatuhkan sanksi kepada beberapa perusahaan yang terlibat.

Seiring waktu, komitmen Korut terhadap denuklirisasi semakin dipertanyakan. Pengawas nuklir International Atomic Energy Agency (IAEA) curiga Korut berbuat curang karena melarang pemeriksaan terhadap dua situs limbah nuklir. Kesal didesak terus, Korut mengancam keluar dari NPT.

Pemerintah AS di bawah administrasi Bill Clinton lantas mengupayakan negosiasi dengan Kim Il-sung. Kesepakatan bernama Agreed Framework (AF) tercapai pada Oktober 1994, hanya saja ditandatangani oleh anak Kim Il-sung, Kim Jong-il. Kim Il-sung meninggal di tengah proses diplomasi.

Salah satu poin kesepakatan adalah Korut setuju menghentikan aktivitas pembuatan senjata nuklir di pusat riset Yongbyon apabila pemerintah AS dan konsorsium internasional mau mendirikan reaktor air ringan (LWR) untuk memenuhi kebutuhan energi Korut. Sampai LWR tersebut selesai dibangun, otoritas AS juga akan menyuplai Korut dengan 500 ribu ton minyak per tahun.

Poin kesepakatan lain adalah Korut tidak keberatan dengan inspeksi IAEA. Dari perjanjian ini diharapkan pula tercapai normalisasi hubungan diplomatik antara Korut dengan AS dan Korsel.

Menurut Joel Wit, salah satu negosiator AF dan peneliti senior Johns Hopkins School of Advanced International Studies, Korut mau bersepakat karena situasi geopolitik yang berubah sejak akhir dekade 1980 sampai awal 1990-an. Korut sudah kehilangan sekutu utamanya, Uni Soviet, lalu mendapati Cina mulai memperbaiki hubungan dengan Korsel.

“Maka dari itulah, pihak Korut mengambil keputusan strategis bahwa jika mereka ingin mengamankan relasi lebih baik dengan AS, mereka bersedia membayar harganya. Harga yang harus dibayar tak lain adalah program nuklir mereka,” ujar Wit dilansir dari artikel di PBS.

Namun, seiring kesepakatan AF berlangsung, Korut ternyata masih menyokong program rudal dan transfer teknologi. Pada 1998, misalnya, mereka menguji Taepodong-1 yang bisa melintasi Jepang. Hal ini membuat administrasi Clinton berkali-kali menjatuhkan sanksi pada entitas Korut. Pada 1999, Korut setuju menangguhkan uji coba rudal jarak jauh jika AS mengangkat sebagian sanksinya.

Perjanjian AF akhirnya tidak berjalan mulus. Pemerintahan baru AS sejak 2001 di bawah George W. Bush skeptis dengan komitmen Korut. Bush bahkan menyebut Korut bagian dari “Poros Setan” bersama Irak dan Iran.

Administrasi Bush juga mendapati Korut diam-diam mengembangkan senjata nuklir lagi. Maka, pada 2002, pengiriman minyak ke Korut sejak era Clinton dihentikan.

Awal 2003, Korut akhirnya keluar dari NPT.

Masih melansir artikel PBS, pakar menilai momen-momen di atas sebagai “kesempatan yang sudah disia-siakan.” AF sebenarnya berpotensi sukses seandainya Korut tidak mengolah senjata nuklir dan pihak AS bergegas memenuhi janji seperti menyelesaikan pembangunan LWR yang prosesnya tersendat padahal mendesak untuk mengatasi krisis energi rakyat Korut.

Administrasi Bush kemudian mengajak Korut bernegosiasi lagi, kini melibatkan Korsel, Jepang, Cina, dan Rusia. Diplomasi yang dikenal dengan nama Six Party Talks ini berhasil membuat Korut melunak. Dalam deklarasi 2005, mereka setuju mengakhiri program senjata nuklir dan bergabung lagi dengan NPT. Pada waktu sama, mereka diperbolehkan mengolah nuklir untuk pemenuhan energi dalam wujud LWR, yang pembangunannya dibantu oleh negara-negara yang terlibat dalam negosiasi.

Sayangnya Six Party Talks berusia pendek. Konstruksi LWR, misalnya, tidak berjalan tepat waktu seiring pemerintah AS berusaha memutus akses Korut terhadap jaringan perbankan internasional karena aset-asetnya disinyalir dipakai untuk membiayai aktivitas-aktivitas ilegal. Korut juga kembali menguji rudal-rudal jarak jauh (termasuk Taepodong-2 yang berpotensi menjangkau Alaska) dan melakukan tes nuklir pertama pada 2006.

Harian New York Times kala itu menyebut aksi Korut sebagai “kegagalan setelah nyaris dua dekade diplomasi atom oleh Washington dan sekutu.” Dewan Keamanan PBB lantas mulai mengadopsi resolusi-resolusi untuk menghukum rezim Kim Jong-il, seperti melarang negara PBB untuk bertransaksi senjata nuklir atau alat militer canggih dengan Korut dan melarang perjalanan beberapa pejabat Korut.

Diplomasi 10 Tahun Terakhir

Presiden Obama (2009-2017) menerapkan kebijakan bernama “strategic patience” terhadap Korut. Pada prinsipnya, AS cuek terhadap segala perkara di Semenanjang Korea. Mereka enggan bertindak sampai Korut mengambil langkah pertama, sekaligus bertekad tidak akan memberikannya konsesi apa pun.

Dan itulah yang dilakukan Korut, membuat relasi kedua negara tetap menegangkan. Tak lama setelah Obama diinaugurasi, Korut melakukan tes nuklir kedua, menahan jurnalis AS, sampai terlibat dalam kasus tenggelamnya kapal perang Korsel Cheonan yang menelan 46 korban.

Setelah Kim Jong-il meninggal pada 2011 dan jabatan tertinggi dialihkan ke putranya, Kim Jong-un, Korut semakin sering pamer senjata. Selama pemimpin muda ini berkuasa, Korut telah melakukan empat kali tes nuklir (tiga kali selama pemerintahan Obama, satu kali pada era Trump) dan lebih dari seratus uji coba rudal.

Uji coba senjata Korut selalu ditanggapi dengan sanksi. Pada 2016, setahun sebelum administrasi Obama selesai, AS bahkan menjatuhkan sanksi ekonomi langsung untuk Kim Jong-un atas kasus-kasus pelanggaran HAM di Korut. Akhir tahun itu pula, Dewan Keamanan PBB memberikan sanksi ekonomi “paling berat” dengan membatasi produk ekspor Korut seperti batu bara dan tembaga yang diprediksi bisa memiskinkan Korut sampai 800 juta dolar AS (lebih dari Rp10 triliun) setiap tahun.

Strategi acuh tak acuh Obama dianggap gagal meredam agresivitas Kim. Maka, ketika Trump, yang seorang pebisnis, menjabat pada 2017, administrasinya menawarkan strategi berbeda. Kerap disebut “grand bargain”, strategi ini merujuk pada usaha memberikan “tawaran besar” kepada Korut demi denuklirisasi di Semenanjung Korea.

Awalnya relasi Korut-AS tetap panas. Pada tahun pertama Trump duduk di Gedung Putih, ia saling bertukar ejekan kasar dengan Kim. Bersamaan dengan itu, Korut kesampaian juga melakukan tes nuklir untuk kali keenam, dan pertama kali menguji rudal balistik antarbenua (ICBM) yang berpotensi menjangkau Washington.

Maka sanksi pun kembali dilayangkan oleh administrasi Trump dan PBB. Di antara sekian sanksi dari PBB adalah pembatasan impor minyak, ekspor tekstil, sampai jumlah pekerja asal Korut di luar negeri.

Kendati demikian, relasi Korut-AS kemudian menghangat, bahkan mencatat momen historis ketika Kim mengundang Trump untuk bernegosiasi langsung—untuk kali pertama penguasa Korut bertatap muka dengan Presiden AS. Pertemuan ini berlangsung tiga kali, di Singapura pada 2018, dan di Hanoi, Vietnam serta Zona Demiliterisasi Korea pada 2019.

Namun usaha ini masih gagal mendorong denuklirisasi. Meskipun dijanjikan dengan penghapusan sanksi ekonomi, Korut tetap enggan meninggalkan seluruh misi senjata nuklirnya. Kalaupun berkenan, paling pol dilakukan secara bertahap, dimulai dengan mengakhiri aktivitas di kompleks reaktor nuklir lama Yongbyon.

Di sisi lain, otoritas AS masih mewaspadai adanya kemungkinan proyek-proyek serupa di lokasi berbeda. Selain itu, mereka juga keberatan memenuhi permintaan Korut agar mengangkat sanksi-sanksi ekonomi terlebih dahulu sebelum fasilitas nuklir Yongbyon dinonaktifkan.

Pada awal pemerintahan Joe Biden, Korut dilaporkan masih mau bernegosiasi dengan AS. Syaratnya, sanksi-sanksi ekspor mineral dan impor minyak dicabut terlebih dahulu. Mereka juga minta keran impor produk-produk mewah seperti minuman beralkohol dibuka lagi, tak lain untuk konsumsi Kim Jong-un dan para elite Pyongyang.

Infografik Diplomasi Nuklir AS Korea Utara

Infografik Diplomasi Nuklir AS Korea Utara. tirto.id/Fuad

Menurut Khang Vu dalam tulisan yang rilis di situs think tank Lowy Institute Oktober silam, selama ini Korut sudah memberikan sinyal kepada Biden tentang ruang untuk bernegosiasi. Salah satunya ditunjukkan lewat kepatuhan mereka untuk tidak menguji nuklir atau rudal balistik jarak jauh sesuai moratorium sejak era Trump. Sayangnya, lanjut Vu, administrasi Biden memberikan “tawaran diplomatik yang kurang detail dan suam-suam kuku untuk melibatkan Korut.”

Washington tidak punya tawaran yang konkret untuk memulai pembicaraan dengan Korut, tulis Vu. Mereka mengutuk uji coba rudal jarak dekat-menengah Korut dan menghukum mereka namun pada waktu sama juga menyatakan siap bernegosiasi.

Sikap administrasi Biden terhadap rezim Kim sebenarnya berangkat dari kebijakan gagal “strategic patience” era Obama, menurut Mitch Shin dalam artikel di The Diplomat. Administrasi Biden dipandang sekadar mempertahankan status quo.

Shin menulis, AS memang menunjukkan dukungan retorik terhadap upaya damai yang diinisiasi Korsel serta mendorong Korut agar mau kembali ke meja perundingan. Akan tetapi, AS melakukan itu semua tanpa secara resmi menyiratkan insentif-insentif apa saja yang mungkin mau Korut terima.

Menurut Shin, apa pun respons yang diberikan AS dan Korsel terhadap tes rudal Korut, rezim Kim akan terus menguji senjata dan bungkam seribu bahasa jika diajak bernegosiasi. Maka dari itu, administrasi Biden dipandang perlu bekerja lebih keras dalam mengekspresikan keseriusan untuk mengajak Korut berdialog, serta mempertimbangkan proses denuklirisasi secara bertahap.

Baca juga artikel terkait DENUKLIRISASI atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino