Menuju konten utama

Risiko di Balik Pembiayaan Infrastruktur Indonesia dari KTT BRI

Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace, Adila Isfandiari menyoroti 4 proyek PLTU yang ditawarkan pemerintah Indonesia kepada Cina.

Risiko di Balik Pembiayaan Infrastruktur Indonesia dari KTT BRI
Michel Temer, Vladimir Putin, Xi Jinping, Jacob Zuma dan Narendra Modi berpose untuk foto dalam KTT BRICS di Xiamen International Conference and Exhibition Center di Xiamen, tenggara provinsi Fujian, China, Senin (4/9). ANTARA FOTO/REUTERS/Kenzaburo Fukuhara/Pool

tirto.id - Sejumlah pejabat teras Indonesia menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Belt and Road Initiative (BRI) di Cina. Sejak 24 hingga 27 April 2019, Indonesia akan berupaya menawarkan 28 proyek strategis senilai Rp1.287 triliun untuk memperoleh pembiayaan dari institusi finansial di Cina.

Namun, peneliti Iklim dan Energi Greenpeace, Adila Isfandiari mengatakan pemerintah perlu mewaspadai potensi ketidakmampuan Indonesia membayar kembali pinjaman pemerintah Cina itu. Adila mengutip data Center for Global Development 2018 yang menyatakan terdapat 8 negara peserta BRI yang diprediksi gagal membayar pinjaman itu.

Kedelapan negara itu adalah Djibouti, Kyrgyztan, Laos, the Maldives, Mongolia, Montenegro, Pakistan, dan Tajikistan. Tiga di antaranya telah melepas pelabuhan hingga tanahnya bagi pemerintah Cina sebagai ganti utang itu. Salah satunya bahkan dibangun pangkalan militer.

“Kami menyoroti risiko China’s debt trap ini. Indonesia memiliki risiko terhadap pinjaman BRI ini. Ada 8 negara tak bisa bayar karena utang kepada Cina lebih dari 50 persen dari total utang mereka kepada pihak asing,” ucap Adila dalam media briefing di Plaza Kuningan, Jakarta, Rabu (24/4/2019).

Dalam kajiannya, Adila pun menyoroti 4 proyek PLTU yang ditawarkan pemerintah Indonesia kepada Cina.

Ia mengatakan tambahan 4 PLTU ini perlu ditinjau ulang lantaran sudah banyak proyek serupa yang berjalan dan segera diselesaikan di Indonesia sehingga berpotensi menghasilkan kelebihan listrik yang tidak terpakai.

Adila mengkhawatirkan dengan skema take or pay, maka pembangkit yang akan dibangun nanti dapat menjadi beban keuangan, baik bagi pemerintah maupun PT PLN (Persero). Sebuah studi dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) memprediksi PLN harus membayar 76 miliar dolar AS untuk akumulasi perjanjian jual beli listrik yang terlanjur dilakukan selama 25 tahun.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Zulfikar Rachmat pun membenarkan kehadiran risiko itu. Menurut Zulfikar sejumlah proyek infrastruktur besar pemerintah berada pada jangkauan risiko ini.

Sebab, kata Zulfikar, pembiayaannya tidak bisa menggunakan skema business to business (B to B), melainkan government to government (G to G). Sebagaimana yang pernah dialami Bangladesh dan Sri Lanka, Zulfikar tidak menutup kemungkinan bila kejadian yang sama dapat terulang bila Indonesia tak berhati-hati.

“Dari proyek-proyek yang akan kita tawarkan nanti ke Cina ada [risikonya]. Belajar dari pengalaman Bangladesh dan Sri Lanka, mereka tidak bisa bayar utang jadi akhirnya pelabuhannya diambil oleh Cina,” ucap Zulfikar saat dihubungi reporter Tirto.

Umumnya, kata Zulfikar, jebakan utang Cina ini dapat terjadi jika pemerintah tak cukup bijak dalam mempertimbangkan jangka waktu pembayarannya. Menurut dia, kendati pemerintah Cina memberi lampu hijau untuk menggelontorkan dana, tapi jangka waktu pengembaliannya juga harus dapat disanggupi.

“Macam-macam, tapi biasanya jangka waktu sedikit untuk utang itu dibayarkan. Kalau mau nawarin proyeknya, jangka waktu pembayaran harus sesuai,” ucap Zulfikar.

Zulfikar menambahkan “poin saya bagaimana kita bisa bernegosiasi. Kalau kita enggak pintar bernegosiasi, bisa terperangkap China’s debt trap itu.”

Sebaliknya, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah menilai jebakan utang itu belum menjadi ancaman serius.

Ia mengatakan keadaan yang menimpa 8 negara dunia itu tak dapat disamakan dengan Indonesia yang memiliki potensi ekonomi lebih baik. Hal ini dapat dilihat, baik dari segi pertumbuhan ekonomi maupun rasio utang terhadap PDB yang masih di bawah angka 60 persen.

Di samping itu, Piter menilai, selama proyek infrastruktur yang dibangun itu mampu memberi dampak positif bagi perekonomian, maka pemerintah dapat melunasi pinjaman itu.

“Saya tidak meyakini itu ancaman bagi kita. Potensi kita sangat jauh. Berbeda dengan negara yang disebut korban China's debt trap itu,” ucap Piter.

Staf Khusus Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Atmadji Sumarkidjo mengatakan pemerintah akan menolak skema pembiayaan proyek secara G to G.

Pemerintah, kata dia, tak akan mengulangi kesalahan Sri Lanka yang membangun infrastruktur dengan APBN sebagai sumber pembayaran konstruksi yang dikerjakan perusahaan Cina.

Sebaliknya, kata Atmadji, skema yang digunakan adalah B to B, sehingga bila proyek itu menghasilkan keuntungan maka kedua perusahaan itu yang akan menikmatinya. Hal yang sama juga berlaku bila kerja sama itu berujung pada kerugian maupun jeratan utang-piutang.

“Pemerintah enggak akan beri garansi atau jaminan ke proyek yang ditawarkan ke Cina. Kalau umpamanya rugi, ya tanggung jawab swasta,” ucap Atmadji saat ditemui di Gedung Menko Kemaritiman, Kamis (25/4/2019).

“Pemerintah Indonesia tidak akan terjebak dengan Chinese's Debt Trap,” kata Atmadji menegaskan.

Lagi pula, kata Atmadji, tidak semua proyek infrastruktur Indonesia ditawarkan untuk memperoleh pembiayaan dari Cina. Kalau pun ada, kata Atmadji, jumlah utang luar negeri (ULN) Indonesia kepada Cina hanya Rp22 triliun atau 0,5 persen dari total ULN.

“Enggak semua ditawarin ke Cina. Kami tetap terbuka dengan investasi asing ke mana pun,” kata Atmadji.

Baca juga artikel terkait PROYEK INFRASTRUKTUR atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz