Menuju konten utama

Risiko di Balik Kebijakan B20 yang Diklaim Bisa Kurangi Impor BBM

Greenpeace Indonesia menilai kebijakan yang lebih tepat melawan bahan bakar fosil adalah renewable energy, seperti sinar matahari, angin, hingga air.

Risiko di Balik Kebijakan B20 yang Diklaim Bisa Kurangi Impor BBM
Petani menurunkan Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari perahunya di Desa Kuala Tripa, Kecamatan Tripa Makmur, Nagan Raya, Aceh, Kamis (19/10/2017). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnnas

tirto.id - Calon presiden petahana Joko Widodo akan menjadikan capaian kinerjanya selama menjabat sebagai “senjata” dalam debat jilid II yang mengangkat tema 'Energi, Pangan, Infrastruktur, dan Lingkungan Hidup.' Salah satunya soal perluasan mandatori B20 yang diberlakukan sejak 1 September 2018.

Kebijakan mandatori B20 ini mengharuskan adanya pencampuran 20 persen biodiesel dengan 80 persen minyak solar. Selain itu, pencapaian B20 ini juga akan digunakan sebagai “senjata” dari komitmen pemerintah dalam menekan emisi gas karbon.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan dalam empat bulan sejak perluasan mandatori B20 diterapkan, kebijakan itu diklaim mampu menekan impor BBM yang selama ini menjadi penyumbang defisit neraca perdagangan.

Pada 2018, misalnya, defisit neraca dagang Indonesia mencapai rekor terbesarnya sejak 1975 dengan nilai 8,57 miliar dolar AS. Salah satu penyebabnya adalah defisit neraca migas yang mencapai 12,4 miliar dolar AS.

Selain itu, Kementerian ESDM pun menyebut kebijakan mandatori B20 ini sebagai “BBM Ramah Lingkungan." Kebijakan ini juga diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dari sawit dan mengurangi impor minyak mentah.

“Dalam empat bulan, kebijakan masif untuk berbagai sektor tersebut mampu menghemat sebesar 937,84 juta dolar AS,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto seperti dikutip laman Setkab.

Ekonom dari Universitas Surabaya (Ubaya) Putu Anom Mahadwartha membenarkan klaim pemerintah itu. Menurut dia, penggunaan B20 memang mampu menekan impor BBM sekaligus neraca perdagangan.

Sebab, kata dia, saat ini kemampuan produksi minyak Indonesia hanya mampu memenuhi sekitar 780 barel per hari, padahal kebutuhannya mencapai 1, 6 juta barel per hari. Sehingga impor yang dilakukan pemerintah mau tidak mau menyedot setidaknya Rp24 triliun untuk merealisasikannya.

Kendati demikian, kata Putu, penggunaan B20 bukan tanpa risiko. Sebab, meski mampu menekan defisit, tapi kebijakan ini berpotensi menimbulkan kenaikan inflasi untuk konsumsi rumah tangga, terutama yang berbahan baku sawit, seperti minyak goreng hingga sabun.

Karena itu, kata Putu, jika pemerintah dapat menjamin pasokan sawit untuk domestik, maka kebijakan ini baru dapat diterapkan. Sekurang-kurangnya dapat diarahkan pada kebutuhan industri terlebih dahulu ketimbang memasuki wilayah BBM kendaraan.

“Kalau pemerintah bisa mengontrol inflasi, ya boleh saja menggunakan B20,” kata Putu ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (29/1/2019).

Infografik CI Kinerja Ekspor Minyak Sawit Indonesia 2018

undefined

Namun, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Dwi Sawung menilai kebijakan mandatori B20 tidak menjawab persoalan lingkungan seperti yang dikampanyekan pemerintah.

Sebab, kata Sawung, kebijakan tersebut mengabaikan asal muasal B20 sendiri yang berasal dari kelapa sawit. Padahal kelapa sawit merupakan salah satu penyebab deforestasi, yaitu kegiatan penebangan hutan atau pohon sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan nir-hutan.

Data University of Marland yang dikutip Greenpeace –lembaga yang fokus soal isu lingkungan-- dalam laporannya pada 2017 menunjukkan Indonesia kehilangan sekitar 355,5 ribu hektar hutan dan 80 ribu hektarnya dari kelapa sawit.

Greenpeace pun, kata Suwung, menyimpulkan bahwa kelapa sawit masih menjadi penyebab deforestasi terbesar di Indonesia.

“Sama saja bohong ya. Enggak menyelesaikan masalah karena mau mengurangi emisi akibat fosil, tapi dia mengakibatkan perubahan lahan hutan,” kata Sawung saat dihubungi reporter Tirto.

Sawung menilai hal ini tidak lain disebabkan karena kebijakan B20 lahir secara tiba-tiba. Menurut dia, pada 2018 kebijakan B20 hadir sebagai jawaban atas jatuhnya harga komoditas kelapa sawit sehingga direspons dengan penyerapan kelapa sawit dalam negeri.

Belakangan, kata dia, kebijakan mandatori B20 itu juga berkembang menjadi jawaban atas tingginya impor minyak bumi yang dilakukan pemerintah.

Karena itu, Sawung meragukan bila kebijakan ini dapat berlanjut dengan mulus. Alasannya, pelaku usaha kelapa sawit dapat kembali memilih ekspor bila harga kelapa sawit dunia telah berangsur normal sehingga tak lagi menyalurkan kelapa sawit untuk program B20.

Bila hal ini terjadi, kata dia, maka pewajiban B20 dapat berkonsekuensi pada pembukaan lahan sawit baru dari luas yang sudah ada. Sebab, ketersediaan sawit yang ada saat ini dianggap belum dapat memenuhi pasokan B20.

Hal yang sama juga berlaku bila akibat pembukaan lahan itu malah mengorbankan lahan pertanian pangan. Atau sebaliknya, demi menunjang bauran energi B20, tanaman pangan seperti singkong atau tebu difokuskan pada pencapaian target B20.

“Jangan sampai kita mengurangi bahan bakar fosil, tapi pemenuhan energi bersaing dengan kebutuhan pangan masyarakat,” kata Sawung.

Terkait ini, Kepala Kampanye Forest Global untuk Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik menilai kebijakan yang lebih tepat untuk melawan bahan bakar fosil adalah Energi Baru Terbarukan (EBT) atau renewable energy, seperti sinar matahari, angin, hingga air.

Menurut Kiki, anggaran pemerintah untuk EBT perlu dilakukan ketimbang mendorong bahan bakar hayati (biofuel).

“Kalau biofuel nanti konversi lahan lagi. Jadi ujung-ujungnya deforestasi,” kata Kiki saat dihubungi reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait MANDATORI B20 atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz