Menuju konten utama

Risiko dari Terorisme Juga Butuh Payung Asuransi

Indonesia sudah memiliki konsorsium asuransi terorisme dan sabotase sejak lima belas tahun lalu. Namun kapasitas dan peminatnya masih minim, padahal ancaman terorisme di Indonesia cukup besar.

Risiko dari Terorisme Juga Butuh Payung Asuransi
Peristiwa serangan teroris di World Trade Center, New York, pada 11 September 2001. REUTERS/Sean Adair

tirto.id - Serangan terorisme yang menghancurleburkan Menara Kembar World Trade Center (WTC) di New York lima belas tahun lalu menjadi serangan terorisme dengan nilai kerugian properti tertinggi. Pada 11 September 2001, ada empat pesawat penumpang di Amerika Serikat yang dibajak.

Dua pesawat disabotase dan ditabrakkan ke WTC, satu pesawat menabrak Pentagon di Virginia, satu pesawat lagi jatuh di lapangan dekat Shanksville, Pennsylvania.

Sebanyak 2.996 orang, termasuk 19 orang pembajak terbunuh dalam serangan itu. Sementara 6.000 lainnya luka-luka. Institute for the Analysis of Global Security (IAGS) mencatat, total kerugian akibat serangan itu mencapai $2 triliun.

Menurut data dari Swiss Re, jumlah klaim asuransi properti yang dibayarkan untuk kerusakan akibat serangan 11 September 2001 mencapai $25,15 miliar. Ini hanya klaim untuk properti saja. Belum lagi klaim asuransi untuk pesawat yang dibajak, klaim asuransi kendaraan yang hancur, asuransi kesehatan, dan klaim asuransi jiwa.

IAGS menyebutkan, total klaim asuransi untuk seluruh kerugian pada peristiwa itu mencapai $40 miliar. Ia disebut sebagai klaim kerusakan properti terbesar di dunia, setidaknya hingga 2015.

Sebelum peristiwa ini, ada rentetan serangan terorisme yang nilai kerugiannya juga tak kalah besar. Pada 24 April 1993, terjadi pengeboman di Bishopgate, sebuah distrik finansial di London, Inggris. Bom yang berasal dari sebuah truk meledak pada jam 10.27 pagi. Korban jiwa memang hanya satu orang, yakni seorang fotografer dan 44 orang lainnya luka-luka.

Jumlah korban jiwa yang sedikit dikarenakan serangan bom dilakukan pada Sabtu, bukan pada hari kerja. Lagipula, sudah ada peringatan sebelumnya sehingga petugas keamanan sempat mengosongkan area kejadian. Menurut buku Terrorism, Risk and the City yang ditulis Jon Coaffee pada 2003, pelaku pengeboman adalah Provisional Irish Republican Army yang biasa disebut IRA atau PIRA.

Namun, ledakan ini menghancurkan bangunan di sepanjang Bishopgate. Total klaim asuransi properti atas serangan ini sebesar $1,2 miliar.

Pascaserangan 11 September 2001, semua perusahaan reasuransi internasional memutuskan untuk tidak memberikan jaminan risiko terorisme dan sabotase. Jadi risiko itu dimasukkan dalam pengecualian polis asuransi properti dan kebakaran.

Dalam bisnis asuransi, ada yang namanya perusahaan reasuransi. Jadi, risiko-risiko pemegang polis yang ditanggung perusahaan asuransi biasanya membagi risiko atau diasuransikan lagi kepada perusahaan reasuransi.

Membagi risiko ini penting, agar jika terjadi risiko yang cukup banyak dalam waktu bersamaan, tak lantas membuat perusahaan asuransi bangkrut. Sebagian risiko juga harus dibagi kepada perusahaan reasuransi di luar negeri. Agar jika ada bencana alam seperti tsunami di Jepang atau banjir bandang yang meluluhlantakkan satu kota, klaim-klaim masih bisa dibayarkan.

Perusahaan asuransi di Indonesia yang sebelumnya memberikan jaminan atas risiko serangan terorisme dan sabotase merasa perlu tetap menjamin kedua risiko itu. Pada 2001, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) memprakarsai pembentukan konsorsium atau pool asuransi terorisme dan sabotase.

Asuransi terorisme dan sabotase ini menjadi asuransi khusus yang bisa dibundel dengan asuransi kebakaran biasa. Sebab jika hanya memiliki polis asuransi kebakaran, tetapi kemudian rumah atau gedung pemegang polis terbakar karena serangan terorisme, maka perusahaan asuransi tak bisa mencairkan klaim.

Ketua dewan pengurus konsorsium, Robby Loho menyebutkan, ada 52 perusahaan asuransi umum dan empat perusahaan reasuransi yang masuk ke dalam konsorsium tahun ini. Angka ini tak selalu sama tiap tahunnya. Tahun lalu jumlahnya hanya 50. “Jumlahnya bisa bertambah, bisa berkurang,” katanya, Kamis (22/12).

Infografik Asuransi Terorisme dan Sabotase

Industri asuransi memiliki definisi tersendiri tentang terorisme dan sabotase. Terorisme diartikan sebagai tindakan pemaksaan atau kekerasan atau ancaman, oleh seorang atau sekelompok orang, baik bertindak sendiri atau atas nama atau berkaitan dengan suatu organisasi atau pemerintah, untuk mencapai tujuan politik, agama, ideologi, atau yang sejenisnya, termasuk intensi untuk memengaruhi pemerintahan dan atau membuat publik dalam ketakutan.

“Jadi, kalau ada kerusuhan suporter bola, itu tak termasuk dalam jaminan ini,” ujar Robby.

Sementara itu, sabotase diterjemahkan sebagai perusakan harta benda atau penghalangan kelancaran pekerjaan atau yang berakibat turunnya nilai suatu pekerjaan, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mencapai tujuan politik, agama, ideologi, atau yang sejenisnya, termasuk intensi untuk memengaruhi pemerintahan dan atau publik.

Selain menjamin kerusakan yang disebabkan terorisme dan sabotase, asuransi ini juga menjamin risiko yang disebabkan makar. Tak hanya properti yang rusak akibat serangan, tetapi harta benda yang dijarah selama terorisme dan sabotase terjadi.

Sayangnya, kapasitas yang dimiliki konsorsium masih terbilang kecil, hanya $10,83 juta atau setara Rp140,8 miliar. Menurut ketua komite teknik konsorsium, Arizal E.R, kapasitas sebesar itu belum bisa menjamin hotel bintang lima

. “Paling hanya medium size hotel,” kata Arizal.

Sejak didirikan pada 2001 hingga kini, belum pernah ada klaim yang dibayarkan oleh konsorsium. Padahal, kerusakan besar akibat terorisme telah banyak terjadi, seperti Bom Bali pada 2002 atau Bom Mega Kuningan pada 2009.

“Untuk yang Mega Kuningan, kebetulan asuransinya bukan ke konsorsium, tetapi ke perusahaan asuransi lain,” kata Arizal.

Ada enam perusahaan asuransi yang menjalankan bisnis asuransi terorisme dan sabotase dan tidak tergabung dalam konsorsium. Saat ini jumlah pemegang polis tercatat 1.180 nasabah untuk 52 perusahaan asuransi yang tergabung dalam konsorsium.

Sejak 2011 sampai tahun ini, pertumbuhan premi dari konsorsium ini pun tak tumbuh signifikan, bahkan menurun. Tahun 2011, total premi terorisme dan sabotase yang dikumpulkan mencapai Rp6,98 miliar. Tahun lalu, pendapatan premi turun menjadi Rp5,58 miliar. Tahun ini pengurus konsorsium menargetkan premi Rp7 miliar. Namun, sampai kuartal III-2016, premi yang diraup baru menyentuh angka Rp3,5 miliar.

“Meski sudah berdiri lama, belum banyak yang mengetahui keberadaan konsorsium ini dan menyadari pentingnya asuransi terorisme,” ungkap Arizal.

Jadi, apakah memiliki asuransi dari risiko terorisme sudah menjadi pilihan Anda?

Baca juga artikel terkait ASURANSI atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Suhendra