Menuju konten utama
Periksa Data

Riset: UU TPKS Buat Publik Mau Lapor Kekerasan Seksual

Sebagian besar responden merasa memiliki kepercayaan yang lebih besar dan dasar untuk memproses kasus kekerasan seksual dengan disahkannya UU TPKS.

Riset: UU TPKS Buat Publik Mau Lapor Kekerasan Seksual
Header Riset Mandiri UU TPKS. tirto.id/Quita

tirto.id - PERINGATAN: Artikel ini mengandung konten eksplisit yang dapat memicu trauma bagi penyintas kekerasan seksual.

Sudah beberapa bulan setelah DPR dan pemerintah mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April 2022 lalu. Hal ini direspon dengan positif oleh publik, karena perjalanan yang tak sebentar, selama 10 tahun, hingga Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) resmi disahkan menjadi Undang-undang (UU) oleh DPR RI.

Pengesahan ini merupakan buah kerja keras dari berbagai pihak yang meliputi legislatif, eksekutif, yudikatif, masyarakat sipil, media, akademisi, Komnas Perempuan, dan lembaga independen lainnya. Juga tidak terlepas dari keberanian korban yang telah menyuarakan dengan berani pengalaman-pengalamannya dalam mengklaim keadilan, kebenaran dan mendapatkan pemulihan.

Setelah disahkan sejak April, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani berharap pemerintah segera mengeluarkan aturan-aturan turunan dari UU TPKS ini.

“Kita semua berharap bahwa pelaksanaannya akan dapat segera dan juga dapat dikuatkan dengan berbagai aturan turunan,” kata Andy pada 4 November menukil Antara.

UU TPKS (bisa diakses melalui laman ini) memuat beberapa terobosan hukum yang mengatur tindak pidana kekerasan seksual itu sendiri. Beberapa terobosan ini antaranya pemidanaan terhadap tindakan kekerasan seksual, hukum acara khusus yang mengatasi hambatan keadilan bagi korban, juga pelaporan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, termasuk pemastian restitusi dan dana bantuan bagi korban.

UU TPKS juga menjamin kepastian pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan, dengan memperhatikan kerentanan khusus termasuk orang dengan disabilitas, di samping poin-poin lain.

Sementara itu, menurut anggota Komisi VIII DPR RI Selly Andriany Gantina, sejak UU TPKS disahkan, laporan mengenai kasus kekerasan seksual semakin meningkat.

“Menurut saya ini adalah suatu kehebatan UU TPKS. Diundangkannya UU TPS menuntun masyarakat berani speak up karena merasa ada payung hukum yang melindungi. Dulu mereka tidak berani berbicara karena merasa percuma menyampaikan ke negara karena tidak ada perlindungan atau pemberian hukuman kepada predator seksual," kata Selly dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema “Darurat Kekerasan Seksual Anak, Bagaimana Implementasi UU TPKS?” di Media Center DPR RI, Jakarta, Selasa (26/7/2022).

Sudah sekitar tujuh bulan sejak UU TPKS diundangkan. Riset Tirto pun tergerak untuk mengetahui bagaimana persepsi dan pengetahuan masyarakat terhadap UU TPKS dan apakah masyarakat memiliki kepercayaan yang lebih besar dan dasar yang lebih kuat untuk melaporkan kasus kekerasan seksual.

Lewat kolaborasi dengan Jakpat, penyedia layanan survei dari dangan lebih dari 1,1 juta responden di Indonesia, Tirto merancang riset bersama untuk mengetahui bagaimana persepsi dan pengetahuan masyarakat terhadap UU TPKS, kasus kekerasan seksual, dan intensi masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan seksual setelah disahkannya UU TPKS tahun ini.

Metodologi

Survei diselenggarakan pada 18 November 2022 dengan melibatkan 1.500 orang responden dengan wilayah riset di seluruh Indonesia (tersebar di 34 provinsi). Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner online dengan Jakpat sebagai penyedia platform. Survei ini menggunakan Non-probability sampling responden Jakpat, dengan margin of error di bawah 3 persen.

Pada survei dengan 20 pertanyaan ini, periset juga mencantumkan peringatan/trigger warning kepada calon responden yang akan mengisi survei. Pasalnya, kami juga menyadari pertanyaan-pertanyaan terkait pengalaman kekerasan seksual, atau mengetahui kasus kekerasan seksual yang menimpa orang yang dikenal, maupun melaporkan kekerasan seksual yang menimpa diri atau orang lain, adalah isu yang sangat sensitif yang bisa membangkitkan trauma.

Pada trigger warning ini, kami juga memberikan opsi untuk responden untuk tidak melanjutkan survei jika merasa tidak nyaman. Opsi ini juga tersedia sebagai pilihan jawaban di beberapa pertanyaan terkait isu-isu tersebut, dengan opsi "tidak bersedia menjawab".

Profil Responden

Survei ini melibatkan responden dengan rentang usia antara 15 tahun hingga 68 tahun. Sebaran responden sendiri masih dominan di Pulau Jawa, dengan proporsi mencapai 78,13 persen. Sementara untuk jenis kelamin jumlahnya cukup berimbang antara laki-laki dan perempuan, dengan jumlah responden perempuan lebih banyak, sebesar 53 persen.

Infografik Riset Mandiri UU TPKS

Infografik Riset Mandiri UU TPKS. tirto.id/Quita

Infografik Riset Mandiri UU TPKS

Infografik Riset Mandiri UU TPKS. tirto.id/Quita

Kemudian untuk pekerjaan, hampir setengah responden merupakan pekerja, dengan persentase sebesar 46,40 persen, diikuti dengan mahasiswa dan pengusaha masing-masing sebesar 13,27 persen.

Informasi UU TPKS Cukup Tersebar di Masyarakat

Mayoritas responden diketahui pernah mendengar, melihat atau membaca berita terkait UU TPKS. Sebanyak 83,53 persen responden menyatakan pernah untuk pertanyaan ini. Hanya sekitar 16,47 persen yang menyatakan tidak mengetahui informasi mengenai UU TPKS.

Dari sekitar 16,47 persen mereka yang tidak mengetahui, 48,98 persennya adalah wanita dan sekitar 38,01 persen kelompok wanita ini merupakan ibu rumah tangga. Edukasi mengenai UU TPKS sangat penting diberikan ke seluruh pihak, termasuk ibu rumah tangga. Mengingat mereka juga merupakan kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan seksual di ranah domestik.

Infografik Riset Mandiri UU TPKS

Infografik Riset Mandiri UU TPKS. tirto.id/Quita

Selanjutnya, mayoritas responden mengetahui informasi UU TPKS dari media sosial, sebanyak 78,05 persen. Sisanya, sebanyak 57,30 persen responden menjawab mengetahui soal UU TPKS dari televisi, portal berita daring sebesar 42,54 persen, dan informasi dari gerakan/aktivis yang mengadvokasi isu ini sebesar 20,51 persen.

Kebanyakan responden juga mengetahui isi UU TPKS, sebanyak 55,71 persen dari total responden. Namun, masih banyak pula yang belum mengetahui isi undang-undang ini, yakni sebesar 44,29 persen.

Infografik Riset Mandiri UU TPKS

Infografik Riset Mandiri UU TPKS. tirto.id/Quita

Masih terkait pengetahuan soal UU TPKS, Tirto juga menanyakan soal seberapa familiar responden dengan tindakan kekerasan seksual yang disebut dalam UU TPKS. Melalui pertanyaan ini, kami merincikan 9 macam tindakan kekerasan seksual yang dimuat dalam UU TPKS, yaitu pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, dan perbudakan seksual.

Pertanyaan dalam survei merupakan contoh perilaku dari masing-masing jenis tindakan kekerasan seksual ini.

Infografik Riset Mandiri UU TPKS

Infografik Riset Mandiri UU TPKS. tirto.id/Quita

Lewat pertanyaan ini, diketahui bahwa responden paling familiar dengan begal payudara atau tindakan seksual lain dengan maksud merendahkan seseorang, yang masuk dalam pelecehan seksual fisik. Sebanyak 58,67 persen responden menjawab pilihan ini.

Kemudian, responden juga familiar dengan catcalling seperti siulan dari jauh, bersikap genit, atau mengomentari bentuk tubuh seseorang hingga membuat seseorang tidak nyaman. Catcalling sendiri masuk dalam pelecehan seksual non-fisik pada UU TPKS. Sebanyak 57,53 persen responden familiar dengan jenis kekerasan seksual ini.

Responden sendiri paling tidak familiar dengan jenis kekerasan seksual seperti merendahkan organ intim mantan pasangan di media sosial. Hanya 34,93 persen yang familiar dengan jenis pelecehan seksual non-fisik ini.

Responden juga kurang familiar dengan kekerasan seksual pemaksaan aborsi dan penguntitan/pelacakan terhadap seseorang dengan tujuan seksual. Kedua pilihan ini hanya diketahui sebesar 36 persen dan 36,80 persen responden.

UU TPKS Jadi Senjata Korban Kekerasan Seksual

Dari 1.500 responden, sebanyak 27,53 persen mengaku pernah mengalami tindakan kekerasan seksual dan sebanyak 7,73 persen tidak bersedia menjawab pertanyaan ini. Jika dilihat dari responden yang menjawab pernah mengalami tindakan kekerasan seksual, sebanyak 37,99 persen adalah perempuan dan 15,74 persen adalah laki-laki.

Infografik Riset Mandiri UU TPKS

Infografik Riset Mandiri UU TPKS. tirto.id/Quita

Hal ini juga mengonfirmasi temuan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) bahwa laki-laki juga menjadi korban kekerasan seksual, tak hanya perempuan.

Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan IJRS dan INFID pada tahun 2020, ada 33 persen laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual. Lalu, berdasarkan survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden, 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik.

Selain itu, selain yang dialami sendiri, 45,3 persen responden, hampir setengah responden, juga menyatakan mengenal orang yang mengalami kekerasan seksual. Sehingga bisa diduga prevalensi kekerasan seksual cukup tinggi di tengah masyarakat, mungkin lebih dari yang dilaporkan. Ada 6,6 persen responden yang tidak mau menjawab pertanyaan ini.

Infografik Riset Mandiri UU TPKS

Infografik Riset Mandiri UU TPKS. tirto.id/Quita

Kemudian, terkait pelaporan, mayoritas responden menjawab tidak pernah melaporkan kasus kekerasan seksual, baik yang dialami sendiri maupun orang dekat. Artinya, tetap banyak orang yang enggan melaporkan kekerasan seksual yang mereka atau orang yang mereka kenal alami.

Adapun sebanyak 27,71 persen menjawab pernah melaporkan kasus yang dialami orang lain dan sebanyak 16,62 persen menjawab pernah melaporkan kasus yang dialami sendiri.

Infografik Riset Mandiri UU TPKS

Infografik Riset Mandiri UU TPKS. tirto.id/Quita

Kebanyakan responden melaporkan kasus kekerasan seksual yang mereka alami kepada keluarga. Sebanyak 60,47 persen responden menjawab pilihan ini. Diikuti mereka yang melapor kepada teman dekat, sebanyak 44,96 persen, lalu kepada institusi kepolisian, sebanyak 35,66 persen.

Infografik Riset Mandiri UU TPKS

Infografik Riset Mandiri UU TPKS. tirto.id/Quita

Jawaban-jawaban yang serupa juga ditemukan pada pertanyaan kemana melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami orang terdekat. Mayoritas juga melaporkan pada keluarga, yakni 51,16 persen. Kemudian diikuti dengan institusi kepolisian, sebanyak 45,12 persen, dan teman dekat, sebanyak 37,21 persen.

Jawaban-jawaban ini menarik, artinya keluarga masih menjadi tempat bercerita pertama orang-orang yang mengalami atau mengenal orang yang mengalami kekerasan seksual. Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan seperti disalahkan, dianggap membuat malu, atau merusak nama baik keluarga.

Korban kekerasan seksual juga masih percaya pada institusi kepolisian dalam pelaporan kasus kekerasan seksual, meski sempat muncul laporan-laporan yang ditulis di media terkait hambatan dalam pelaporan kekerasan seksual kepada polisi.

Barangkali, kita sudah tidak asing dengan tagar #PercumaLaporPolisi yang sempat ramai di media sosial sejak Oktober hingga Desember 2021. Banyak media yang memberitakan ketidakprofesionalan polisi yang sering mengabaikan laporan warga. Tagar tersebut sendiri bermula dari laporan Project Multatuli pada Oktober 2021 tentang kasus dugaan pemerkosaan tiga anak berusia di bawah 10 tahun oleh ayah kandung pada 2019 di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Mengawal tagar #PercumaLaporPolisi, Tirto sempat melaporkan pengalaman DR, seorang ibu di Kota Bekasi yang mengadukan dugaan pencabulan terhadap anak perempuannya yang berumur 11 tahun. Lalu, bukannya menerima pelaporan itu, polisi diduga menyuruh DR untuk meringkus A, terduga pelaku sekaligus tetangganya. Hal ini terjadi pada 21 Desember 2021.

“Masa yang menangkap (A) saya? Bukan polisi. Seharusnya polisi, dong,” kata DR diwawancarai Tirto.

Yang menarik, ada 22 persen hingga 23 persen responden yang mengaku melapor ke media sosial terkait kekerasan seksual yang dialaminya ataupun yang dialami orang yang dikenal. Melansir dari artikel Remotivi, memang ada fenomena penyintas kekerasan seksual mengungkapkan kejadian yang dialaminya melalui media sosial, terutama Twitter. Fenomena ini ditengarai dipicu oleh gerakan #MeToo di mana banyak penyintas mulai menceritakan pengalaman mereka melalui media sosial.

Menurut artikel Remotivi pula, yang membuat media sosial menjadi ruang pilihan para penyintas kekerasan seksual barangkali adalah kegagalan institusi formal dan informal luring dalam mewadahi laporan kekerasan seksual para penyintas. Kekerasan seksual masih dianggap tabu, pun, perempuan dilekatkan sebagai simbol kesucian dan kehormatan.

Namun, meski institusi hukum tak menjadi nomor satu dalam tujuan pelaporan, sebagian besar responden percaya bahwa dengan disahkannya UU TPKS, mereka merasa memiliki kepercayaan yang lebih besar dan dasar untuk memproses kasus kekerasan seksual, baik melalui jalur hukum maupun non-hukum, dan baik secara pribadi, maupun melalui atau dengan pendampingan lembaga.

Infografik Riset Mandiri UU TPKS

Infografik Riset Mandiri UU TPKS. tirto.id/Quita

Sebanyak 90,46 persen responden menjawab dalam kerangka percaya. Jika dipecah, sebanyak 34,79 persen menjawab cukup percaya, 33,89 persen menjawab percaya dan 21,78 persen menjawab sangat percaya.

Hal ini berarti bahwa UU TPKS membawa angin segar dalam memberikan kepercayaan lebih tinggi kepada penyintas dan orang yang mengenal penyintas untuk melaporkan kekerasan seksual.

Korban Mayoritas Memilih Jalur Hukum, tapi Disudutkan

Pada survei ini Tirto menanyakan apabila responden melaporkan kasus kekerasan seksual, apakah akhirnya menempuh jalur hukum atau non hukum, baik secara pribadi maupun melalui atau dengan pendampingan lembaga. Mayoritas responden menjawab menempuh jalur hukum, dengan proporsi sebanyak 85 persen menjawab pilihan ini.

Infografik Riset Mandiri UU TPKS

Infografik Riset Mandiri UU TPKS. tirto.id/Quita

Sebanyak 56,08 persen juga mengaku pernah menggunakan pasal UU TPKS saat melapor melalui jalur hukum. Jumlah yang tinggi, mengingat aturan turunan dari UU ini banyak yang belum disahkan.

Sebelumnya, Komnas Perempuan berharap pemerintah segera mengeluarkan aturan-aturan turunan dari UU TPKS. Tujuannya agar produk turunan tersebut bisa digunakan untuk menangani kasus kekerasan seksual.

Senada, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Luluk Nur Hamidah juga mengamini hal ini. Menurutnya, peraturan pemerintah (PP) dan Perpres bisa menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum dan hakim.

“Mestinya saat pembahasan UU itu pemerintah sebenarnya sudah paham. Mestinya pemerintah bisa menyiapkan PP atau perpres yang menjadi satu paket dengan UU. Masyarakat berhak untuk mengawal PP dan perpres supaya segera mungkin terbit supaya menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum dan hakim,” jelas Luluk (2/8/2022) menukil situs DPR.

Selain itu Politisi dari Fraksi PKB ini berharap aparat penegak hukum selain bisa menangkap dan menetapkan tersangka kepada pelaku TPKS, juga bisa memenuhi hak-hak lain korban. Hak-hak korban tersebut diantaranya seperti pemulihan psikologis, restitusi serta denda bagi pelaku, dan kebutuhan lainnya yang bisa diasesmen oleh pendamping korban.

Berdasarkan hasil survei, Tirto juga mengamati adanya 20,78 persen responden yang tidak tahu cara melapor dengan menggunakan UU TPKS. Dengan statistik ini, diharapkan edukasi bagi masyarakat terkait UU TPKS dapat mencapai semua kalangan. Hal ini penting dilakukan, karena setiap orang bisa saja menjadi korban kekerasan seksual.

Selanjutnya, responden yang pernah melaporkan kasus kekerasan seksual dengan mekanisme hukum memiliki penilaian yang baik terhadap pelayanan penegak hukum. Mayoritas, sebanyak 36,86 persen responden merespon "Baik", dan sisanya sangat baik dan cukup baik. Artinya, kebanyakan responden yang menempuh jalur hukum bisa dibilang cukup puas dengan pelayanan dari penegak hukum.

Namun, Tirto juga menemukan hambatan dalam pemrosesan kasus kekerasan seksual melalui jalur hukum ini. Kebanyakn responden, 43,14 persen, menyatakan bahwa dalam proses hukum, korban disudutkan dan riwayat hubungan seksual korban juga dipertanyakan.

Infografik Riset Mandiri UU TPKS

Infografik Riset Mandiri UU TPKS. tirto.id/Quita

Seturut dengan jawaban ini, laporan Tirto pada Juli 2022 lalu mengungkapkan bahwa kasus kekerasan seksual belum sepenuhnya dapat bergantung pada UU TPKS. Sebab, aparat penegak hukum masih kerap merespons kasus kekerasan seksual tanpa menggunakan paradigma perlindungan korban.

Waktu itu, laporan Tirto memberikan contoh respon dari Kapolsek Sidayu Gresik atas kejadian pria mencium seorang anak perempuan di daerah itu disebut. Iptu Khairul Alam yang merespon kasus tersebut menyebut kasus itu bukan pelecehan seksual karena sejumlah alasan, mulai dari tidak sampai buka baju, hingga tidak ada laporan.

Berdasarkan survei, perlu digarisbawahi pula bahwa masih ada 34,18 persen responden, sebanyak 87 orang, yang laporannya tidak diterima ketika mereka menempuh jalur hukum, dengan alasan kurang bukti serta alasan lainnya. Ada pula 30,59 persen orang yang laporannya tidak ditindaklanjuti dan tidak ada kejelasan.

Namun, banyak juga responden yang menjawab tindak lanjut kasus yang dilaporkan berakhir pada pelaku ditindak pidana dan juga pelaku mengakui kesalahan dan minta maaf. Masing-masing 42,75 persen dan 40,78 persen responden memilih pilihan tersebut. Hal ini mungkin menjadi alasan kepuasan sebagian responden dalam memproses kasus kekerasan seksual lewat jalur hukum.

Infografik Riset Mandiri UU TPKS

Infografik Riset Mandiri UU TPKS. tirto.id/Quita

Terakhir, berdasarkan pengalaman melaporkan kasus kekerasan seksual, sebanyak 75,29 persen responden menyatakan akan merekomendasikan orang lain untuk juga melaporkan kasus kekerasan seksual melalui jalur hukum, di luar segala hambatannya.

------------------------

Tulisan ini merupakan bagian pertama dari Riset Mandiri Tirto terkait persepsi dan pengetahuan masyarakat mengenai UU TPKS, kasus kekerasan seksual, dan intensi masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan seksual.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Farida Susanty