Menuju konten utama
Periksa Data

Riset: Emas Masih Jadi Primadona Jenis Investasi

Peningkatan jumlah investor antara tahun 2019 sampai tahun 2021 pun tercatat sebagai yang tertinggi sepanjang sejarah pasar modal Indonesia.

Riset: Emas Masih Jadi Primadona Jenis Investasi
Ilustrasi Investasi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Selepas pandemi, jumlah masyarakat Indonesia yang gemar berinvestasi semakin meningkat. Hal ini terlihat dari pertumbuhan jumlah investor pasar modal dalam negeri.

Berdasar data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) jumlah investor pasar modal Indonesia, yang terlihat dari single investor identification (SID), menembus 10,48 juta orang per Januari 2023, naik tajam sebesar 33,3 persen dari 7,86 juta orang di bulan yang sama tahun 2022.

Jika dibanding Januari 2021, peningkatan ini terlihat semakin menonjol, karena jumlah investor pasar modal saat itu hanya berjumlah 4,22 juta orang. Artinya, di awal tahun 2023 ini, jumlah investor pasar modal Indonesia sudah naik lebih dari 2 kali lipat.

Jumlah investor pasar modal adalah jumlah total dari investor saham, surat utang, reksa dana, surat berharga negara (SBN) dan jenis efek lain yang tercatat di KSEI.

Untuk Januari 2023, ada 4,49 juta orang yang punya aset saham, 9,77 juta memiliki aset reksa dana dan 848 ribu punya aset SBN.

Perlu diketahui bahwa jumlah investor reksadana juga sudah melonjak lebih dari tiga kali lipat sejak 2020 hingga Januari 2023.

Catatan menarik lainnya dari demografi investor yang dikumpulkan KSEI adalah dominannya investor berusia muda.

Dari keseluruhan investor pasar modal pada Januari 2023, 58,55 persen di antaranya berusia kurang dari 31 tahun. Sementara itu, 22,56 persennya adalah mereka yang berusia 31-40 tahun. Ini menunjukkan besarnya minat Gen Z dan Milenial untuk masuk dan belajar investasi di pasar modal.

Dari dua kelompok umur ini total nilai aset yang tercatat mencapai Rp157,58 triliun. Di sisi lain, investor masih terpusat di Pulau Jawa, dengan proporsi mencapai 69,01 persen.

Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa beranggapan pandemi COVID-19 memang ambil peran terhadap pertumbuhan investor pasar modal ini.

"Pandemi menjadi momentum bagi masyarakat untuk semakin sadar akan pentingnya memiliki dana darurat dan melakukan investasi," ujarnya dalam satu sesi acara literasi keuangan bertajuk "Sustain Habit in Investing, Invest in Sustainable Instruments" yang diselenggarakan Bank Indonesia, tengah tahun 2022 lalu.

Senada, Direktur Utama KSEI Uriep Budhi Prasetyo menyatakan pertumbuhan yang signifikan ini menjadi tanda pencapaian pasar modal Indonesia.

"Jumlah investor lokal yang terus meningkat secara signifikan, terutama di masa pandemi COVID-19, merupakan tanda bahwa masyarakat Indonesia semakin sadar pentingnya berinvestasi dan menjadikan pasar modal sebagai alternatif," ujarnya dalam keterangan resmi menanggapi pertumbuhan investor pasar modal.

KSEI percaya kondisi ini juga tidak lepas dari implementasi simplifikasi pembukaan rekening efek. Peningkatan jumlah investor antara tahun 2019 sampai tahun 2021 pun tercatat sebagai yang tertinggi sepanjang sejarah pasar modal Indonesia.

Mayoritas Masyarakat Punya Instrumen Investasi

Tingginya antusiasme masyarakat dalam berinvestasi tidak melulu di pasar modal. Dalam survei yang dilakukan Tirto bersama Jakpat, hal ini tergambar dari beragamnya instrumen investasi yang dimiliki.

Jakpat sendiri adalah penyedia layanan survei daring dengan lebih dari 1,2 juta responden yang tersebar di seluruh Indonesia. Survei yang dilangsungkan pada 1 Maret 2023 ini melibatkan 1.500 orang responden.

Persebaran respondennya cukup seimbang antara perempuan (55,87 persen) dengan laki-laki (44,13 persen). Sementara tempat domisili responden mayoritas masih di Pulau Jawa, paling banyak bertempat tinggal di Jawa Barat (25,2 persen) dan DKI Jakarta (15,67 persen).

Survei ini diikuti oleh responden dengan rentang usia 18-51 tahun. Proporsi responden paling banyak dari kelompok umur 20-25 tahun (35,47 persen), diikuti kelompok usia 30-35 tahun (20,8 persen), 26-29 tahun (20,07 persen), 36-39 tahun (9,13 persen), 40-45 tahun (8,07 persen), dan 16-19 tahun (6,4 persen).

Hasil survei pertama-tama menunjukkan hanya sekitar 19,07 persen orang responden yang tidak memiliki instrumen investasi jenis apapun. Ini berarti sekitar 80 persen responden telah memiliki setidaknya satu jenis instrumen investasi, proporsi yang tinggi dan senada dengan fenomena kenaikan jumlah investor berdasarkan data KSEI.

Instrumen investasi yang paling banyak dimiliki adalah emas. Persentase responden yang mengaku memilikinya mencapai 53 persen. Jauh lebih banyak dibanding reksa dana (30,67 persen), saham (26,13 persen), tanah atau properti (24,07 persen), bisnis/usaha (23,87 persen), dan deposito bank (20,8 persen).

Instrumen investasi lain yang juga banyak dimiliki adalah mata uang kripto (15,8 persen), obligasi (8,6 persen), peer to peer lending (5,67 persen), dan forex alias pertukaran mata uang asing (5,4 persen).

Temuan ini menunjukkan tren yang serupa dengan survei Jakpat pada tahun 2021 lalu. Dalam riset tersebut emas juga menjadi instrumen investasi yang paling banyak dimiliki (46 persen). Di bawahnya ada reksa dana (32 persen) dan deposito bank (30 persen). Sementara terdapat 29 persen responden yang mengaku tidak memiliki instrumen investasi apapun kala itu.

Sementara survei yang dilakukan Katadata Insight Center (KIC) pada akhir 2021 lalu punya pendekatan yang sedikit berbeda. Dengan responden yang lebih besar (total mencapai 5.204 responden), mereka coba menelusuri instrumen apa yang paling diminati oleh responden yang belum punya investasi apapun. Namun, hasilnya, emas (58,5 persen) masih menjadi primadona.

Tanah (56,7 persen) dan properti (41,7 persen) menyusul sebagai jenis investasi yang paling diminati. Instrumen investasi pasar modal seperti saham dan reksa dana cenderung kecil peminat dengan proporsi 14,5 persen dan 7,2 persen.

Dari semua survei yang ada terlihat dominannya emas sebagai instrumen investasi yang tidak hanya menarik minat tetapi juga dimiliki oleh masyarakat. Adanya pasar perdagangan emas digital bisa jadi memberi pengaruh.

Berdasar rangkuman Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), pada tahun 2022 total nilai transaksi fisik emas digital mencapai Rp1,97 triliun. Data yang tersedia untuk jenis transaksi ini hanya mencakup tahun 2022.

Kembali ke survei Tirto. Terdapat temuan menarik juga ketika melihat dari kelompok umur dan jenis instrumen investasi yang dimiliki. Setelah emas, reksa dana dan saham menjadi dua instrumen investasi yang paling banyak dimiliki pada kelompok 20-25 tahun dan 26-29 tahun. Sementara di kelompok usia yang lebih tua, 36-39 tahun dan 40-45 tahun tanah atau properti menjadi yang paling banyak kedua, diikuti deposito bank serta bisnis/usaha dengan persentase yang tidak jauh berbeda.

Sementara anggapan kalau mata uang kripto, sebagai instrumen investasi yang dekat hubungannya dengan anak muda rasanya kurang tepat. Kepemilikan instrumen investasi ini paling besar proporsinya di kelompok 30-35 tahun dan 36-39 tahun.

Mata uang kripto di Indonesia juga sebenarnya punya potensi yang besar. Berdasar laporan Digital 2023 dari We Are Social, Indonesia adalah salah satu negara dengan pemilik mata uang kripto paling banyak di dunia. Sekitar 20,1 persen pengguna internet berusia antara 16-64 tahun di Indonesia punya mata uang kripto. Persentase ini jauh di atas rata-rata dunia yang hanya 11,9 persen.

Bappebti mencatat sampai November 2022 terdapat 16,55 juta pelanggan terdaftar aset kripto. Jumlah ini meningkat cukup banyak dibanding setahun sebelumnya, ketika jumlah pelanggan terdaftar 10,55 juta. Pada tahun 2021, saat sedang mencapai titik tertingginya, pasar kripto bisa mencatatkan rata-rata nilai transaksi harian Rp2,35 triliun.

Kembali ke survei Tirto dengan Jakpat. Tirto juga kemudian menanyakan responden alasan berinvestasi. Secara umu, mayoritas responden berinvestasi untuk persiapan dana masa depan, misalnya untuk dana pensiun (72,41 persen), mencari sumber penghasilan tambahan (66,39 persen), dan menjaga nilai aset dari inflasi (47,36 persen).

Dari survei juga didapatkan besaran alokasi dana dari penghasilan untuk investasi. Mayoritas responden menginvestasikan tidak lebih dari 10 persen penghasilannya per bulan.

Sekitar 40 persen responden mengatakan mengalokasikan 1 persen sampai 5 persen pendapatannya ke instrumen investasi.

Diikuti 31,3 persen responden yang mengalokasikan 6 persen sampai 10 persen penghasilannya per bulan untuk investasi.

Di sisi lain terdapat 5,35 persen responden yang mengalokasikan lebih dari 30 persen penghasilan bulanannya untuk investasi.

Selanjutnya, soal preferensi antara menabung atau berinvestasi. Meski berjarak tidak terlalu banyak, 43,08 persen responden mengaku lebih banyak menabung di bank. Sementara terdapat 36,33 persen responden yang lebih banyak menaruh uangnya di instrumen investasi ketimbang menabung di bank. Sisanya mengatakan mengalokasikan jumlah uang yang hampir sama di tabungan dan instrumen investasi.

Melihat trennya, jumlah rekening simpanan di bank juga mengalami peningkatan antara tahun 2019 ke tahun 2022. Namun, pertumbuhannya tidak semasif investor di pasar modal. Data LPS mencatat tahun 2019 terdapat 301.697.958 rekening bank. Angka ini tumbuh sekitar 68,5 persen, menjadi 508.546.341 rekening bank pada 2022.

Melihat lebih rinci, data LPS juga menjabarkan kelompok besaran simpanan. Mayoritas rekening yang ada di Indonesia punya nilai kurang dari Rp100 juta. Jumlahnya mencapai 98,7 persen atau sekitar 501 juta rekening dengan total simpanan Rp1.020 triliun.

Menariknya, di spektrum yang berlawanan, nasabah dengan simpanan Rp5 miliar atau lebih hanya ada 130 ribu rekening, tetapi total simpanannya mencapai Rp4.380 triliun, setara dengan 53,4 persen jumlah simpanan.

Terakhir, kepada responden yang belum punya instrumen investasi, ditanyakan mengenai alasannya. Kebanyakan mengatakan keterbatasan dana yang ada sebagai alasan belum bisa berinvestasi. Proporsinya mencapai 73,78 persen.

Namun, terdapat 18,18 persen yang mengaku masih merasa belum punya cukup informasi mengenai jenis-jenis investasi. Diikuti 17,83 persen mengaku takut terjebak investasi bodong, 15,03 persen takut dengan risiko investasi, dan 13,99 persen belum terpikir untuk berinvestasi.

Kelompok ini menunjukkan, bahwa meski jumlah investor di Indonesia sudah meningkat jauh 3 tahun ke belakang, tapi masih ada ruang untuk lebih meningkatkan lagi jumlah investor. Salah satunya, misalnya dengan peningkatan penyebaran informasi terkait produk-produk investasi, mengingat bahwa alasan sebagian responden survei tidak berinvestasi adalah kurangnya pengetahuan terkait hal tersebut.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - Periksa data
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty