Menuju konten utama

Riset Dosen UGM: Biaya Beli Suara Lebih Besar dari Dana Kampanye

Dosen UGM Mada Sukmajati mengungkapkan, berdasarkan hasil risetnya, sepertiga pengeluaran kandidat di Pilkada digunakan untuk politik uang.

Riset Dosen UGM: Biaya Beli Suara Lebih Besar dari Dana Kampanye
Peneliti Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fakuktas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati (kiri) memaparkan hasil penelitian soal peta potensi politik uang Pemilu 2019 di UGM Yogyakarta, Senin (15/4/2019). tirto.id/Irwan A. Syambudi

tirto.id - Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP), Fisipol, Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati mengungkapkan temuan di penelitiannya mengenai politik uang di Pilkada 2018.

Berdasarkan penelitiannya di Pilkada 2018 Kota dan Kabupaten Madiun (Jawa Timur), menurut Mada, 30,45 persen dari total pengeluaran kandidat adalah untuk membeli suara.

"Hampir sepertiga biaya, yang mereka [kandidat] keluarkan, untuk vote buying [membeli suara], dengan barbagai bentuk [cara]," kata Mada saat menyampaikan hasil risetnya di UGM, Yogyakarta, Senin (15/4/2019).

Mada mengatakan porsi biaya untuk politik uang itu merupakan yang terbesar dalam pengeluaran kandidat. Sementara 28,49 persen pengeluaran kandidat, kata Mada, dipakai guna membiayai alat peraga kampanye (APK), publisitas dan jasa konsultan.

Sedangkan pengeluaran terbesar ketiga atau sekitar 21,36 persen digunakan oleh kandidat untuk biaya pencalonan. Porsi pengeluaran terkecil justru untuk membiayai tim sukses dan kampanye, yakni 10,82 persen dan 7,99 persen.

Mada menambahkan risetnya menemukan pembelian suara dilakukan dengan beragam cara, mulai dari memberi uang tunai ke pemilih, hingga membagikan sembako atau bantuan sosial ke warga.

Menurut Mada, praktik yang ditemukan dari hasil wawancara dengan 3 kandidat bupati dan 3 calon wali kota, itu kemungkinan besar akan terulang di Pemilu 2019.

"Mantan calon Wali Kota Madiun yang sempat kita wawancara sekarang maju sebagai calon Anggota DPR dari Partai Gerindra di dapil yang sama. Sehingga dapat dipastikan strateginya tidak jauh berbeda," kata Mada.

Dia menduga kuat jaringan, yang dipakai memobilisasi suara saat pilkada, juga digunakan dan bahkan dikembangkan, di Pemilu 2019. Demikian pula dengan strategi politik uang.

Sementara itu, Laboratorium Big Data Analytics bersama PolGov Research Center, Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP), Fisipol, UGM juga merilis hasil riset mengenai pemetaan potensi politik uang di Pemilu 2019.

Berdasarkan hasil analisis percakapan di Twitter jelang Pemilu 2019 (2-12 April 2019 ), terdapat 7.647 percakapan soal politik uang. Namun, peneliti DPP UGM, Wawan Mas'udi mengatakan, tidak semua percakapan itu terdeteksi lokasinya.

"Hanya 1.817 [percakapan] yang lokasinya terdeteksi dengan 'amplop' menjadi kata kunci sentral di antara kata-kata indikatif lainnya," kata dia di kampus UGM, hari ini.

Untuk memvalidasi analisis tersebut dilakukan survei terhadap 800 responden di Yogyakarta. Hasil survei itu menunjukkan 17,38 persen responden menyatakan pemberian uang atau barang dalam Pemilu boleh dilakukan.

Sementara 79,38 persen responden lainnya menyatakan tidak boleh menerima pemberian barang atau uang, dan 3,25 persen sisanya menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.

Namun, saat dilakukan survei ulang, hanya 34,5 persen responden yang mengaku akan menerima sogokan untuk memilih, 60,12 persen tidak menerima, dan 5,38 persen tidak menjawab.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Politik
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Addi M Idhom