Menuju konten utama

Riset: Bisnis Minyak Sawit Peringkat Pertama Aliran Dana Gelap

Aliran keuangan gelap dari komoditas minyak sawit merupakan yang tertinggi, yakni mencapai 35,62 persen terhadap keseluruhan nilai ekspor.

Riset: Bisnis Minyak Sawit Peringkat Pertama Aliran Dana Gelap
Buruh memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di lahan perkebunan Merlung, Tanjungjabung Barat, Jambi, Minggu (29/10/2017). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

tirto.id - Lembaga riset Perkumpulan Prakarsa merilis laporan mengenai aliran keuangan gelap di enam komoditas ekspor unggulan Indonesia. Dalam laporan tersebut, komoditas minyak sawit mengalami kebocoran perdagangan ekspor paling besar dibandingkan komoditas lain.

Kurun 1989-2017, minyak sawit menjadi komoditas penyumbang ekspor terbesar di Indonesia bersama lima komoditas lain seperti batu bara, tembaga, karet, kopi, dan udang-udangan. Rata-rata pertumbuhan nilai ekspor minyak sawit per tahun mencapai 2.782 persen.

Dalam periode itu juga, ditemukan aliran keuangan gelap masuk ke Indonesia dengan cara over-invoicing dari minyak sawit mencapai 40,47 miliar dolar AS. Angka itu termasuk aliran keuangan gelap masuk ke Indonesia senilai 101,49 miliar dolar AS secara keseluruhan yang berasal dari enam komoditas ekspor unggulan.

Dibandingkan dengan lima komoditas lain, aliran keuangan gelap masuk dari komoditas minyak sawit merupakan yang tertinggi mencapai 35,62 persen terhadap keseluruhan nilai ekspor. Proporsi aliran keuangan gelap masuk paling tinggi dari komoditas minyak sawit terjadi pada 2001 dengan nilai mencapai 167,5 persen.

“Dalam beberapa tahun terakhir, komoditas minyak sawit mengalami tren peningkatan aliran keuangan gelap masuk secara neto yang semakin besar,” kata Rahmanda Muhammad Thaariq, salah satu peneliti Prakarsa, di Jakarta (28/3/2019).

Selain itu, minyak sawit juga menjadi komoditas yang mengalami kebocoran perdagangan keluar dengan cara under-invoicing. Selama 1989-2017, aliran keuangan gelap keluar minyak sawit yang paling besar adalah negara Rusia dengan nilai mencapai 1,28 miliar dolar AS.

Angka itu merupakan bagian dari aliran keuangan gelap keluar Indonesia yang senilai 40,58 miliar dolar AS dari enam komoditas ekspor unggulan Indonesia. Aliran keuangan gelap keluar bisa terjadi bahkan ke negara yang sama sekali tidak tercatat sebagai tujuan ekspor komoditas tersebut.

Rahmanda mencontohkan, Finlandia bukan merupakan negara tujuan ekspor sawit Indonesia. Namun pada praktiknya, terdapat dugaan aliran keuangan gelap mengalir ke negara tersebut yang berasal dari minyak sawit senilai 19,98 juta dolar AS.

Riset Prakarsa ini didasari penghitungan data nilai ekspor yang diperoleh dari United Nations Comtrade Database dengan klasifikasi Harmonized System. Untuk mengestimasi aliran keuangan gelap, Prakarsa menggunakan pendekatan Global Financial Integrity, dengan menghitung kesalahan tagihan perdagangan atau trade misinvoicing, baik berupa over-invoicing maupun juga under-invoicing.

Kesalahan tagihan perdagangan dapat dikalkulasi dengan metodologi Gross Excluding Reversal (GER), yang mengkalkulasi ketidakcocokan pada laporan nilai ekspor suatu negara dengan laporan nilai impor oleh negara lain.

Setiap tahun, kata Rahmanda, Indonesia mengalami rata-rata aliran keuangan gelap keluar pada enam komoditas ekspor unggulan sebesar 233 juta dolar AS. Sedangkan aliran keuangan gelap yang masuk, rata-rata mencapai 583 juta dolar AS.

“Berdasarkan aliran keuangan gelap yang keluar dan yang masuk dari enam komoditas ekspor unggulan tersebut, Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak mencapai 11,1 miliar dolar AS,” sebut Rahmanda.

Potensi kehilangan penerimaan pajak akibat under-invoicing ekspor komoditas terbesar terjadi pada 2001 dan 2017, dengan nilai total mencapai 900 miliar dolar AS.

Seluruh aktivitas under-invoicing maupun over-invoicing dalam perdagangan akan menimbulkan kerugian. Global Financial Integrity menjelaskan, under-invoicing ekspor digunakan untuk mengurangi pembayaran pajak dan royalti di dalam negeri.

Dengan mencatat ekspor yang lebih rendah dari nilai yang sebenarnya tercatat di negara tujuan, perusahaan akan membayar pajak pendapatan dan royalti yang dibebankan bagi komoditas tertentu, dengan nilai yang lebih rendah dibandingkan yang seharusnya dibayar.

Demikian pula dengan ekspor over-invoicing. Ini dilakukan untuk mengurangi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak ekspor yang berlaku. dengan melakukan ekspor over-invoicing, perusahaan akan mendapatkan keuntungan dari pengurangan bea impor atas impor bahan baku dan pengurangan PPN untuk barang yang diekspor.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam mengungkapkan, banyaknya nilai aliran keuangan gelap tersebut dikarenakan berlangsung dalam kurun waktu yang panjang. Perusahaan melakukan rekayasa pencatatan aktivitas ekspor untuk menghindari kewajiban pajak.

Baca juga artikel terkait MINYAK SAWIT atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dea Chadiza Syafina
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Alexander Haryanto