Menuju konten utama

Ricuh PSIM vs Persis: Menjalar ke Prambanan, Wartawan Jadi Korban

Wartawan menjadi korban kebrutalan suporter yang ricuh dalam laga PSIM vs Persis.

Ricuh PSIM vs Persis: Menjalar ke Prambanan, Wartawan Jadi Korban
Sejumlah oknum suporter PSIM terlibat kericuhan dengan Polisi saat pertandingan Divisi Dua liga Indonesia antara PSIM Yogyakarta melawan PSS Sleman di Stadion Sultan Agung, Bantul, DI Yogyakarta, Kamis (26/7/2018). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

tirto.id - Pertandingan PSIM Yogyakarta melawan Persis Solo di Stadion Mandala Krida, Senin (21/10/2019) berujung kerusuhan suporter. Pekan pamungkas Liga 2 2019 ini, sebenarnya tak menentukan nasib kedua tim. Kedua tim dipastikan gagal lolos ke babak delapan besar. Namun situasi di atas kertas itu sama sekali tak menyurutkan kebrutalan para suporter.

Kegaduhan di stadion sudah tampak, sejak kedudukan imbang 1-1. Saat Persis unggul 2-3, situasi kian memanas. Menjelang penghujung laga, pemain Persis, Muchamad Sulthon mengulur waktu untuk mengamankan keunggulan timnya. Tindakan ini menyulut amarah sebagian pemain PSIM.

Achmad Hisyam Tolle misal, winger andalan tuan rumah yang sudah diusir ke luar lapangan karena kartu merah, bahkan sempat berlari ke tepi lapangan dan menendaratkan ‘tendangan kungfu’ ke arah Sulton.

Tensi yang kian tinggi kemudian bikin suasana tribun makin tak terkontrol. Puncaknya di masa injury time, sekitar dua menit sebelum peluit panjang ditiup wasit, massa suporter dari tribun bertumpah ruah ke lapangan, mengincar para pemain tim tamu.

"Mereka yang rusuh memanfaatkan apa saja yang ada. Bambu, batu, botol, buat nyerang. Pemain-pemain lalu lari ngamanin diri. Polisi juga bergegas menanggapi, tapi emang dasare sudah kalah jumlah dari suporter," terang Dani (27), salah seorang suporter saat dikonfirmasi reporter Tirto, Selasa (22/10/2019) pagi.

Saat kerusuhan itu pecah, menurut kesaksian Dani, sejumlah pemain memang dapat terselamatkan. Tetapi ada pula sebagian dari mereka yang sempat terkena lemparan dari perusuh. Sejumlah staf kepelatihan Persis juga sempat jadi sasaran.

"Enggak hapal siapa yang kena, pemain Persis soalnya. Tapi emang chaos banget situasinya," lanjut dia.

Suasana tak kondusif yang diceritakan Dani lantas terus berlanjut sampai luar stadion. Polisi sampai harus menembakkan gas air mata guna meredakan situasi, meski pendekatan ini tak begitu efektif.

Alih-alih mereda, bentrok antara petugas kepolisian dan suporter malah kian menjadi.

Mobil dan truk dinas petugas kepolisian turut jadi sasaran. Sebagian dilempari batu dan benda tajam, ada pula yang sampai dijungkir balikkan dan dibakar.

“Satu [mobil] dibakar, satu dirusak. Awalnya PSIM kan kalah, nah atas dasar itu penonton kecewa [dan rusuh],” tutur Kapolresta Yogyakarta, Kombes Pol Araini seperti dilansir Antara.

Menjalar Sampai Prambanan

Personel kepolisian bukannya tidak melakukan antisipasi. Sejak jauh hari, Polda DIY telah menerbitkan edaran resmi yang melarang suporter Persis untuk datang ke stadion.

Larangan ini ditaati oleh sebagian Pasoepati, komunitas para suporter Persis yang tidak mengagendakan keberangkatan resmi dengan bus ke Yogyakarta.

Tak cuma dari kepolisian DIY dan pihak suporter, Polres Klaten bahkan ikut diterjunkan membantu melakukan pengamanan. Mereka melakukan razia suporter di jalanan Kabupaten Klaten, wilayah yang jadi jembatan penghubung lalu lintas Solo ke Yogyakarta.

Hanya saja, razia ini tak bisa sepenuhnya menggagalkan niat sebagian suporter Persis yang nekad datang ke Yogyakarta. Beberapa dari mereka tetap berangkat lewat jalan pintas di kampung-kampung yang luput dari penjagaan petugas.

Sementara, suporter yang berbondong-bondong datang lewat jalur kota, pada akhirnya diberhentikan petugas kepolisian di kawasan Prambanan.

Masalah menjadi runyam tatkala kabar suporter Persis yang tertahan di Prambanan ini sampai ke telinga suporter PSIM. Ditambah dengan berbagai bumbu provokasi di media sosial, sejumlah suporter dari arah Yogyakarta yang emosinya terpancing lantas berdatangan ke Prambanan melakukan ‘sweeping’ plat motor AD petang harinya.

Di beberapa titik, kerusuhan tak terhindarkan, termasuk di kawasan depan Candi Prambanan. Fandy Gunawan (24), seorang warga yang tinggal di sekitar Candi Prambanan menceritakan di bentrok ini berpusat di sekitar Indomaret Prambanan yang letaknya tak jauh dari candi.

“Kedua kubu sempat bentrok di depan Indomaret Prambanan, selebihnya efek yang paling terasa kemacetan. Lalu lintas terhambat karena kejadian ini,” keluhnya.

Kemacetan parah dan keributan ini, menurut Fandy benar-benar merugikan warga setempat, juga para pengguna jalan. Terlebih kerusuhan terjadi sekitar ‘jam pulang kerja’.

“Kejadian kayak gini setiap tahun berulang. Masyarakat non-suporter yang enggak tahu apa-apa juga jadi ikut ketakutan,” tambahnya.

Wartawan Ikut Jadi Sasaran

Tak cuma suporter, pemain dan staf, kericuhan yang terjadi di sekitar Stadion Mandala Krida juga bikin wartawan ikut jadi sasaran.

Budi Cahyono, jurnalis Goal Indonesia misal, mendapat intimidasi dari pemain PSIM Ahmad Hisyam Tolle. Usai pertandingan, Tolle memaksa Budi menghapus foto adegan tendangan kungfunya ke arah pemain Persis Solo.

“Kamera memang sempat diambil sama Tolle, namun saya bilang ke dia, jangan di sini [pinggir lapangan] hapus fotonya karena biar lebih aman lantaran kondisi sudah rusuh di dalam lapangan,” tutur Budi seperti dilansir Goal Indonesia.

Nasib lebih malang menimpa Guntur Aga, jurnalis foto Jawa Pos Radar Jogja. Guntur yang juga hadir meliput pertandingan tidak saja mendapat intimidasi, tapi juga kekerasan fisik oleh suporter. Padahal dia bekerja dengan atribut lengkap, termasuk memakai kartu pers dan rompi fotografer.

“Sewaktu suasana chaos, saya lihat di pojokan antara tribun barat dan utara ada petugas damkar [pemadam kebakaran] mau evakuasi anak-anak, niat mau memotret evakuasinya. Tapi setelah motret, saya didatangi beberapa suporter, lalu dicekik dari belakang dan dipukul ramai-ramai,” terang Guntur saat dikonfirmasi Selasa (22/10/2019) pagi.

Guntur lantas dilepas setelah dipaksa menghapus foto-foto yang dia tangkap selama kejadian.

Sebagai korban, dia berharap kejadian seperti ini tak berulang. Apalagi kekerasan terhadap pekerja media sudah bukan sekadar menerabas aturan Kode Disiplin PSSI, tapi juga melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

“Kalau pesan ke suporter-suporter yang rusuh, dari saya, mungkin enggak terlalu besar. Toh enggak bakal ngefek juga, leluconnya kan gitu. Paling yang ada harapan saja, jangan sampai ada korban yang mengalami seperti saya,” tandasnya.

Baca juga artikel terkait LIGA 2 2019 atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Herdanang Ahmad Fauzan
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Dieqy Hasbi Widhana