Menuju konten utama

Ricuh di Munajat 212, AJI: Ormas Tak Boleh Minta Hapus Data Liputan

AJI Jakarta mengecam tindakan anggota ormas yang mengintimidasi jurnalis dan meminta data liputan dihapus saat acara Munajat 212.

Ricuh di Munajat 212, AJI: Ormas Tak Boleh Minta Hapus Data Liputan
(Ilustrasi) Sejumlah jurnalis menggelar aksi menentang kekerasan terhadap wartawan, di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Senin (3/10/2016). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat.

tirto.id - Peristiwa intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis di acara Munajat 212 pada beberapa waktu lalu dinilai membuat kebebasan pers di Indonesia kembali tercoreng.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Asnil Bambani Amri mengatakan anggota ormas tidak berhak meminta jurnalis menghapus data liputan, apalagi disertai dengan intimidasi dan kekerasan.

“Jaksa, hakim serta polisi saja tidak bisa memvonis langsung berita itu salah dan meminta jurnalis menghapus data liputan, apalagi ormas. Mereka melebihi aparat penegak hukum, itu salah,” kata dia di Sekretariat AJI Jakarta, Jakarta Selatan pada Minggu (3/3/2019).

Asnil menyatakan hal itu dalam diskusi bertajuk "Intimidasi Jurnalis, Cederai Demokrasi" yang digelar oleh AJI Jakarta dan LBH Pers Jakarta.

Menurut Asnil, perilaku massa di acara Munajat 212 tidak bisa dibenarkan dan mengkhawatirkan bagi keselamatan jurnalis. Dia menegaskan kekerasan terhadap jurnalis juga mencederai demokrasi.

Selain itu, Asnil menjelaskan semua pihak harus menyadari bahwa jurnalis bebas bekerja untuk meliput apa pun yang tergolong sebagai ranah publik atau bukan privasi seseorang.

“Jadi, jika jurnalis meliput di ruang publik seperti di Ancol misalnya, maka wartawan berhak meliput karena bukan ruang privat,” ucap Asnil.

Dia mengingatkan siapa pun yang menghalang-halangi jurnalis melaksanakan kerja-kerja profesinya bisa dikenai hukuman pidana seperti tercantum dalam dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Intimidasi dan tindakan kekerasan terhadap wartawan saat acara Munajat 212 berlangsung di Monas pada 21 Februari lalu, bermula ketika ada orang ditangkap karena dituduh mencopet.

Pada saat panitia menarik pencopet itu, wartawan dihalangi untuk meliput dan mengambil gambar oleh anggota Laskar Pemuda Islam (LPI). Salah satunya, wartawan DetikTV berinisial S yang merekam peristiwa itu dengan gawai.

Wartawan suara.com berinisial W, yang menjadi saksi peristiwa, menyatakan S dilarang merekam

peristiwa dan bahkan disuruh menghapus video yang sudah didapat.

W mengaku, sejumlah anggota LPI memberikan perlakuan kasar kepada S. Bukan hanya ancaman dengan hardikan, tetapi juga kekerasan fisik. "Sempat ada perlakuan kasar kepada S. Dicekik, dicakar, kemudian bajunya ditarik-tarik," kata W.

Intimidasi dan permintaan menghapus data rekaman video juga menimpa seorang jurnalis CNN Indonesia yang meliput insiden serupa di acara Munajat 212. Kasus intimidasi terhadap sejumlah jurnalis tersebut sudah dilaporkan kepada kepolisian.

Baca juga artikel terkait MUNAJAT 212 atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Addi M Idhom