Menuju konten utama
Amiruddin Al Rahab:

"Rezim Jokowi Belum Ada Gregetnya"

"Cara pandang lama itu selalu melihat Papua rawan atau dicap separatis. Kalau perspektifnya seperti itu, mandek semua," kata Amiruddin.

Ilustrasi Amiruddin Al Rahab. tirto.id/Sabit

tirto.id - Hak asasi manusia tak dianggap sebagai hal penting di Indonesia. Begitu pandangan Amiruddin Al Rahab, komisioner Komnas HAM periode 2017-2023. Tak hanya soal Indonesia secara umum, ia juga berkomentar soal kinerja Komnas HAM periode lalu.

"Tempo hari Komnas HAM menempatkan dirinya, saya lihat, mengerjakan hal yang daily [rutin]," kata Amiruddin. "[Sesungguhnya] dia mampu untuk mengakselerasi ke hal yang lebih tinggi."

Lahir pada 1970, komisioner Komnas HAM ini sebelumnya berkarier sebagai peneliti dengan fokus kajian tentang hak asasi manusia. Selain menulis tesis tentang gerakan kemerdekaan Papua, ia juga menulis buku-buku tentang masalah-masalah di pulau berbentuk burung tersebut, dari soal otonomi khusus, separatisme, hingga Freeport.

"Karena saya punya pengalaman lebih di Papua, saya bersama teman-teman komisioner di sini akan coba diskusikan hal yang mau kita tawarkan untuk Papua," ujarnya.

Selain memberi tawaran agar Komnas HAM bisa menjadi lembaga perantara antara pemerintah pusat dengan Papua, Amiruddin juga memberi usul agar pemerintah lebih relaks menanggapi Papua. Jangan sedikit-sedikit menyatakan rawan atau memberi cap separatis, katanya. Berikut ini wawancara lengkap Amiruddin dengan Ivan Aulia Ahsan dari Tirto.

Bagaimana peran Komnas HAM dalam Pilkada?

Tugas Komnas HAM dalam Pilkada ini, yang penting, adalah memastikan hak memilih dan dipilih terselenggara dengan baik. Dalam konteks itu, Komnas HAM membuat koridor HAM Supaya hak pilih betul-betul dapat dijalankan.

Yang kedua, tentang kerawanan. Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) mengeluarkan indeks kerawanan, begitu pula dengan kepolisian. Daerah terawan menurut Bawaslu itu Papua, sedangkan menurut kepolisian Sumatera Utara. Ini kan soal. Komnas HAM ingin melihat bagaimana kerawanan ini ditangani supaya tidak menjadi problem HAM ke depan.

Yang ketiga, pilkada ini mestinya menjadi langkah untuk memperbaiki Hak Asasi Manusia yang ada di daerah sehingga si pemenang dalam pilkada memiliki semacam koridor HAM. Contohnya di Sumatera Utara. Gubernur barunya kalau terpilih mau menyelesaikan soal-soal konflik agraria, pertanahan, ketenagakerjaan. Nah, rencana dia apa? Komnas HAM berpikir bahwa hasil pilkada [adalah] instrumen untuk meningkatkan kemajuan dan pemenuhan HAM.

Dengan demikian, publik umum ini tidak melihat politik menjadi sesuatu yang menakutkan. Politik mestinya meningkatkan kualitas perlindungan HAM.

Isu lain yang tidak kalah penting adalah soal e-KTP. Ini kan KPU atau Undang-undang menyatakan pemilih itu harus memiliki e-KTP. Kalau tidak punya KTP, tidak bisa memilih.

Belakangan ada surat keterangan agar bisa memilih. Surat keterangan itu kan setelah DPT-nya keluar. Dalam enam bulan ke depan, catatan untuk Kemendagri: apakah e-KTP itu sudah menjangkau seluruh orang yang punya hak pilih di wilayah masing-masing?

Kemendagri harus memastikan ini terlebih dahulu, supaya KPU punya kepastian dalam menghitung DPT. Kalau tidak, Mendagri mencederai hak pilih warga negara.

Ada karakter masyarakat yang sampai hari ini belum memiliki e-KTP, seperti masyarakat yang tinggal di hutan lindung, daerah terpencil. Kalau tidak, apa rencana Mendagri? Harus dikeluarkan dari sekarang. Misalnya saja di Papua yang 2018 ini bakal menyelenggarakan Pemilihan Gubernur. Apakah sudah seluruh pemilih yang jumlahnya hampir 3 juta ini sudah punya e-KTP? Menurut informasi yang saya punya, sebagian belum punya e-KTP di beberapa kabupaten di pegunungan.

Memilih adalah hak. Tugas pemerintah memfasilitasi pemilihan. Kalau itu tidak terfasilitasi, hak tidak terpenuhi, itu [menjadi] tanggung jawab Mendagri. Kami akan memastikan ini kepada Mendagri.

Kemudian soal TKI. Tidak ada TPS di luar negeri dalam pilkada. Kalau kita lihat, wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara itu jumlah TKI-nya sangat besar. Semestinya hak pilihnya difasilitasi. Bagaimana KPU dan Kemendagri memfasilitasi hal ini? Mengapa dalam pilpres dan pileg ada hak pilih luar negeri. Kalau ini tidak, bayangkan Jawa Timur yang menyumbang TKI banyak tapi tidak bisa memilih. Ini krusial.

Soal persekusi terhadap minoritas, apakah itu menjadi perhatian Komnas HAM di Pilkada nanti?

Iya. Konsepnya begini. HAM memastikan setiap warga negara memiliki hak pilihannya terselenggara secara free dan fair. Dalam konteks minoritas, saya ingin mengatakan kita punya UU No.40 tahun 2008 yang menugaskan Komnas HAM melakukan pengawasan terhadap kebijakan yang menimbulkan diskriminasi terhadap etnis dan ras. Dalam konteks Pilkada, UU ini harus dipedomani oleh KPU dan para kontestan supaya tidak terjadi pengabaian hak atas nama diskriminasi.

Prinsipnya, memilih itu hak warga negara. Tidak ada urusannya dengan dia punya etnis dan keyakinan apa. Selama dia warga negara Indonesia dan memiliki usia di atas 17 tahun atau pernah menikah, dia harus difasilitasi hak memilihnya. Kalau itu tidak terjadi maka KPU dan Kemendagri mencederai hak memilih. Akibatnya, hak yang terpilih pun menjadi persoalan. Artinya, orang yang terpilih di daerah itu tidak mewakili seluruh orang di sana.

Perspektif ini yang mesti dipakai dalam penyelenggaraan Pilkada ke depan. Hak memilih dan dipilih dijamin oleh negara. Sedangkan negara menunjuk KPU. Nah, KPU mesti bisa memenuhi itu. KPU bekerja sama dengan Kemendagri untuk menentukan prosedurnya. Lalu, Komnas HAM memberikan saran. Artinya kami mengawasi itu.

Apakah ada isu lain yang menjadi perhatian Komnas HAM?

Kita melihat kecenderungan ke depan. Ada tiga hal pokok berdasarkan dokumen yang ada di Komnas HAM.

Pertama, problem agraria: soal konflik tanah, penguasaan wilayah, dan semacamnya. Dalam hal itu kita melihat ada kelompok yang tidak dapat KTP serta termarjinalisasi karena diintimidasi.Ke depan, konflik agraria bisa diatasi oleh pemerintah daerah hasil pilkada. Banyak aduan yang masuk ke Komnas HAM menyatakan bahwa problemnya pemerintah daerah.

Kedua, soal minoritas. Kita sebut di sini munculnya sifat sektarian dari masyarakat. Kalau ini berkembang di politik kita akan menuju ke politik sektarian. Hulunya ini partai politik. Hampir semua jabatan publik di Indonesia ditentukan oleh partai politik.

Kalau partai politik tidak memerhatikan hal ini, pilkada kita akan membawa ke politik sektarian. Partai politik punya kewajiban untuk mendidik para konstituennya atau kadernya untuk tidak bertindak sektarian. Begitu pula kontestan, jangan berkampanye dengan hal itu.

Ketiga, soal [bagaimana] menyembuhkan luka bangsa di masa lalu. Kita mau bangun kesadaran bahwa luka bangsa ini harus disembuhkan bersama juga. Kita adalah korban dari problem itu. Peristiwanya macam-macam, kita tidak usah sebut itu satu-satulah.

HAM di sini bukan isu harian, tetapi isu strategis ke depan. Orang banyak lupa dan menganggap isu HAM hanya milik Komnas HAM. HAM itu perintah konstitusi. Pasal 28 ayat a sampai j itu kan jelas mengatur HAM dan ada 5 undang-undang yang mewajibkan semua unsur pelaksana negara mesti mengacu pada HAM. Fungsi Komnas HAM spesifik sebagai alarm yang mengingatkan. Atau menjadi mercusuar supaya perahu penyelenggara ini tidak menabrak.

Soal separatisme di Papua itu seperti apa?

Pertama, kita perlu lihat masalah di Papua dalam rangka membenahi persoalan masa lalu yang tidak beres. Dengan begitu, kita menempatkan Papua sebagai persoalan kebangsaan. Langkah-langkah politik juga harus dipilih. Artinya, kita 50 tahun mengurus Papua dan persoalan tidak selesai sampai hari ini.

Saya menawarkan dua hal. Pertama, kewajiban negara berdasarkan konstitusi yaitu menyediakan segala hal fasilitas publik, dari kesehatan, pendidikan, pelayanan pubik, pemerintahan yang bersih, dsb. Kita tidak usah berdiskusi panjang lagi karena itu kewajiban pemerintah.

Kedua, soal politik. Kita mesti membicarakan Papua dengan lebih relaks. Orang yang berbeda pendapat [tidak otomatis] dicap separatis. Kita dengar dulu. Kita bicara. Kita akan pilih kebijakan yang mungkin. Salah satu acuannya adalah pemenuhan HAM. Ini harus dirancang ke depannya.

Kita ada UU Otonomi Khusus (Otsus). Saya pikir UU ini mesti dimaksimalkan sebagai pijakan awal.

Soal Papua ini juga bukan lagi urusan level deputi, seharusnya presiden. Kebijakannya bagaimana memberikan satu langkah politik yang aman, ramah HAM, tetapi bisa kita bicarakan dalam konteks kebangsaan.

Ini bukan hal baru. Kita punya pengalaman soal itu, contohnya di Aceh. Memang masih ada masalah di Aceh, tetapi problem politik Aceh selesai. Saya bayangkan Papua bisa seperti itu.

Kalau pemerintah mau seperti itu, Komnas HAM bisa berperan sebagai [lembaga] intermediate-nya, menjadi penghubung. Dan memberikan semacam kebijakan yang ramah HAM seperti apa ke depannya.

Kadang-kadang juga begini. Orang di dalam negeri sendiri yang mengatakan bahwa wilayah Papua itu rawan. Kalau dikatakan rawan, pemerintah jadi tidak relaks. Psikologi itu juga membebani. Status kewilayahannya tertib sipil, kok tiba tiba jadi rawan?

Bikin juga penegakan hukum secara adil. Kenapa saya tegaskan seperti ini? Karena banyak peristiwa terjadi di Papua tetapi tidak ada [ketemu] pelakunya sampai hari ini.

Bicara Papua di masa depan yang lebih baik, Komnas HAM bisa mengambil peran sebagai [lembaga] intermediate ini.

Selama ini apakah fungsi Komnas HAM sudah berjalan di periode sebelumnya?

Saya melihat sebelumnya tidak sampai ke level itu.

Tempo hari Komnas HAM menempatkan dirinya, saya lihat, mengerjakan hal yang daily [rutin]. Bukan [berarti] itu jelek, tetapi dia mampu untuk mengakselerasi ke hal yang lebih tinggi.

Ke depan, yang daily [rutin] itu akan kami tetap tangani tetapi gagasan apa yang mau dibangun? Yang saya sampaikan tadi adalah gagasan-gagasan yang sedang digodok di Komnas HAM. Karena saya punya pengalaman lebih di Papua, saya bersama teman-teman komisioner di sini akan coba diskusikan hal yang mau kita tawarkan untuk Papua.

Gagasannya seperti ini. Soal HAM misalnya, pasal 45 atau 44 UU Otsus memerintahkan dibentuk pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Dua pasal ini belum dijalankan.

Tentu itu tidak bisa Komnas HAM sendiri Ada DPR dalam UU, dan beberapa kementerian.

Komnas mencoba mengambil langkah akselerasi sehingga kita punya perspektif baru dalam menangani persoalan di Papua ini.

Perspektif atau terobosan baru?

Terobosan baru itu muncul ketika kita punya perspektif baru. Kalau cara pandang masih pakai yang lama, tidak akan ada terobosan.

Cara pandang lama itu selalu melihat Papua rawan atau dicap separatis. Kalau perspektifnya seperti itu, mandek semua. Agak relaks sedikitlah cara pandangnya.

Papua juga berubah. Sekarang muncul generasi baru yang juga well-informed dengan mengakses teknologi informasi terbaru dan menjalin komunikasi ke mana saja. Cerdas-cerdas. Masak pemerintah masih gunakan cara-cara 1980-an? Ya enggak masuk.

Sudah empat hari saya perhatikan koran Kompas menerbitkan headline (soal gizi buruk di Asmat), tidak hanya di judul berita, tetapi juga foto, sungguh memprihatinkan. Tapi saya enggak lihat langkah dengan perspektif baru apa yang diambil pemerintah? Mereka bergerak seperti biasanya.

Mestinya peristiwa di Asmat kan soal pelayanan kesehatan. Kita tidak perlu debat panjang lagi. Itu kewajiban pemerintah. Tinggal pelaksanaannya seperti apa di lapangan. Saran saya, mestinya ada menteri senior yang hadir di Asmat yang mensinkronkan semua kebijakan dan mengatur semua personel yang akan menangani situasi KLB itu hari ini sampai satu bulan ke depan dan dalam masa pemulihannya enam bulan setelahnya.

Itu harus mengerahkan segala sumber daya dari personel, anggaran, dan peralatan. Kalau hal itu dikerjakan oleh orang selevel deputi ya enggak jalan. Berat dia. Deputi itu tidak menggerakkan anggaran.

Kita enggak cukup kampanye pakai foto di jalan Papua. Mesti jelas kebijakannya.

Sebenarnya, apa inti persoalan HAM di Papua?

Kalau kita bicara panjang-panjang. Problem utamanya orang kecewa. Apa yang dia dengar tidak mereka lihat bentuknya di lapangan. Contohnya, yang terjadi di Asmat mestinya tidak terjadi lagi dong, Mau ikut republik biar sejahtera kok yang terjadi seperti ini. Kekecewaan itu bisa mencari jalurnya macam-macam.

Sekarang bagaimana kita mengatasi kekecewaan itu. Sarananya ya politik dan kebijakan peningkatan layanan kesehatan, juga diplomasi. Macam-macam. Kalau tidak, selama ada gejala yang menunjukkan orang kecewa, situasi bakal begitu-begitu saja.

Banyak juga orang lupa. Bisa kita katakan, Papua itu terlambat 16 tahun. Ada proses 16 tahun yang berbeda antara Papua dan wilayah Indonesia lainnya. Masa itu membentuk proses yang macam-macam. Semestinya keterlambatan itu bisa diisi diserap dalam proses yang baru.

Proses penyerapan inilah yang menimbulkan persoalan. Kalau dulu disebut peningkatan keamanan. Kalau hari ini, kita sebut pelanggaran HAM. Terjadi peristiwa ada orang jadi korban kekerasan aparat negara, tetapi proses hukumnya terlambat atau bahkan tidak ada proses hukumnya. Itu kan bertumpuk-tumpuk. Tumpukan itu yang membuat orang kecewa.

Menurut saya mestinya itu dipercepat. [Begitu] terjadi peristiwa, langsung laksanakan penegakan hukum. Kalau hukum ditegakkan orang akan lihat, yang bersalah siapapun dia bisa ditegakkan oleh hukum.

Soal pelanggaran HAM aparat keamanan. Bagaimana sikap Komnas HAM periode ini?

Komnas HAM bisa jadi alarm dan mercusuar. Sebagai alarm, Komnas HAM sudah meniup peluit lama kepada aparatur penegak hukum.

Dalam kasus Kulon Progo. Perhatian Komnas HAM, aparat penegak hukum mesti dalam koridor fungsi dan kewenangannya. Mereka tidak boleh melakukan kekerasan.

Saya minta untuk dibuatkan dokumen yang berisi: dari sekian ribu pengaduan yang masuk ke Komnas HAM, yang menyangkut aparat penegak hukum itu berapa banyak dan hal apa yang paling banyak diadukan: pelayanannya, tindak kekerasan, atau penyiksaan dan segala macam.

Tujuannya bukan Komnas HAM mau menyalahkan lembaga negara lain. Itu untuk menyalakan alarm agar aparat penegak hukum selalu aware bahwa kerja mereka berimplikasi pada tercederainya HAM. Misalnya, [apabila] di setiap kantor Polres, dalam menangani pengaduan masyarakat terlambat atau lama, [berarti] masyarakat tercederai hak dia mendapat keadilan. Itu contoh yang sederhana.

Ada dua fungsi yang melekat pada Komnas HAM. Yang satu muncul dari UU No 39 tentang HAM. Yang kedua oleh UU No.26 Tahun 2000. Pengadilan HAM. Ini dua hal yang berbeda.

Yang awal saya bilang dalam rangka pemantauan. Yang kedua, Komnas HAM bagian dari sistem penegakan hukum, khusus pada tindak pidana luar biasa. Ada dua jenisnya, menurut UU No 26 Tahun 2000. Pertama kejahatan kemanusiaan. Yang kedua, genosida. Ini tindak pidana luar biasa yang menjadi norma di seluruh dunia.

Jika terjadi pelanggaran HAM kategori tindak pidana luar biasa, kita akan selidiki. Hasil penyelidikan kami ini tergantung tindak lanjut yang dilakukan Jaksa Agung. Tetapi pengalaman kami, Jaksa Agungnya memble. Kami berharap, ke depan, presiden harus lebih jelas memberikan instruksinya kepada Jaksa Agung. Itu yang penting.

Soal pelanggaran HAM di masa lalu yang belum selesai dan tiap tahun berulang.

Ada dua langkah. Pertama UU 26 Tahun 2000. Komnas HAM ada 6 berkas yang sudah diserahkan kepada Jaksa Agung. Tinggal Jaksa Agung saja mau diapakan berkas itu. Karena kewajiban Komnas HAM secara hukum sudah selesai. Kami tidak mengubahnya lagi.

Yang kedua, dengan segala kebijaksanaan Kepala Negara, Komnas HAM bisa mengusulkan beberapa pikiran untuk itu. Apakah kita mau bikin yang namanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau dengan nama lain. Ini levelnya Kepala Negara karena menyangkut semua hal. Sekali dibuat, tidak bisa berulang.

Contoh di tempat lain banyak, misalnya Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Guatemala. Total ada 21 negara pernah mengambil langkah seperti itu. dengan karakternya masing-masing. Dalam konteks ini, butuh pemikiran dari ahli sejarah atau ahli hukum. Kan, ada Masyarakat Sejarawan Indonesia. Kita bisa diundang untuk membicarakan hal ini. Ini menyangkut soal sejarah kita. Saya berharap presiden bisa duduk bersama Masyarakat Sejarawan Indonesia.

Di Indonesia, paradigmanya, HAM bukan barang penting. Kalau ada aparat melakukan kekerasan atas nama mempertahankan NKRI, orang punya sikap yang yang sangat permisif. Seolah HAM prioritas nomor sekian.

Cara berpikir masa lalu masih terbawa sampai hari ini. NKRI ini kita bisa pertahankan sebaik-baiknya dengan memenuhi HAM. Ketika setiap orang, setiap kelompok haknya merasa terpenuhi dan terlindungi oleh seluruh proses kenegaraan, ketika itu mereka merasa bangsanya ini menjadi dengan baik.

Asumsinya kan begini. Ketahanan nasional ini hanya akan kuat jika seluruh masyarakatnya merasa HAM-nya terlindungi. Jika tidak terlindungi, kekecewaan bakal muncul.

Tidak bisa seperti masa lalu. Jika beda, dihantam. Kita sudah masuk dalam alam demokrasi. Setiap orang punya hak yang sama yang dijamin konstitusi. HAM adalah perintah konstitusi Indonesia. Titik. Pasal 28 ayat a sampai j UUD 1945. Tugas pemerintah memfasilitasi penggunaan hak itu. Apakah seorang itu menggunakan atau tidak, itu terserah dia.

Masyarakat juga bisa bertanya tentang pemenuhan haknya kepada penyelenggara negara. Tidak bisa seperti dulu yang orang nanya dianggap melawan pemerintah. Sekarang tidak bisa begitu. Memang kita masih menghadapi budaya lama.

Kalau orang bersalah, tidak bisa main hantam. Bawa dia ke pengadilan. Buktikan secara hukum. Berikan dia hak untuk membela diri.

Kebijakan HAM rezim Jokowi seperti apa?

Saya mau bilang belum ada gregetnya. Ekspektasi para aktivis HAM belum terjawab. Tidak heran, setiap Kamis masih ada orang yang berbaris di depan seberang Istana itu. Saya berharap dua tahun ke depan ini pemerintah bisa menunjukkan greget. Salah satunya, seperti tadi. 6 berkas yang diserahkan Komnas HAM itu tentang kejahatan terhadap kemanusiaan untuk ditindaklanjuti Jaksa Agung. Itu bisa jadi salah satu ukuran.

Baca juga artikel terkait PAPUA atau tulisan lainnya dari Ivan Aulia Ahsan

tirto.id - Mild report
Reporter: Ivan Aulia Ahsan
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Maulida Sri Handayani