Menuju konten utama

Revolusi Pembalut dari Si Pria Menstruasi

India adalah negara dengan tingkat pemakai pembalut dan tampon yang sangat rendah. Di tangan Muruga, pembalut menjadi barang yang murah di India. Time mengganjarnya dengan penghargaan 100 orang paling berpengaruh. Kegagalan pertama menuntunnya untuk melakukan sejumlah penelitian dan percobaan lebih jauh. wanita India menghabiskan proporsi biaya yang lebih besar untuk pembelian pembalut per bulan.

Revolusi Pembalut dari Si Pria Menstruasi
Ilustrasi FOTO/SHUTTERSTOCK

tirto.id - Pernikahan mereka masih seumur jagung ketika ia mendapati istrinya melangkah terburu-buru seperti menyembunyikan sesuatu. Shanti, sang istri, terlihat seolah membawa sesuatu di belakangnya.

"Apa itu?" Tanya Muruga.

Di luar dugaannya, jawaban atas pertanyaan itu adalah sebuah tamparan di pipinya.

"Bukan urusanmu," kata Shanti lalu buru-buru pergi.

Muruga tak mau menyerah begitu saja. Ini pasti bukan persoalan sepele, pikirnya. Dikejarnya Shanti. Didapatinya secarik kain tua yang kotor oleh bercak darah.

Hari itu ia mengerti, istrinya menangani menstruasi dengan cara yang tidak higienis.

"Aku bahkan tidak mau memakai kain bekas itu untuk membersihkan skuter!" kata Muruga, tak habis pikir.

"Tapi kalau aku beli pembalut, kita harus menyunat belanja keluarga," kata Shanti.

Demi Istri

Penampakan Muruganandam Arunachalam seperti pada umumnya pria India. Kulitnya gelap, tulang rahangnya agak tinggi, matanya seperti selalu membelalak jika dilihat dari samping, kumisnya tumbuh tipis, dan hidungnya tidak cukup mancung. Jauh dari kesan aktor-aktor Bollywood yang tampang dan perawakannya terawat dengan baik.

Tapi yang dilakukan Muruga adalah sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang walaupun sekilas terkesan biasa saja, karena sebenarnya berangkat dari persoalan sehari-hari orang India, tapi tidak banyak yang benar-benar peduli. Muruga telah mengorbankan banyak hal untuk perjuangannya ini. Bukan tidak mungkin, dalam waktu dekat, kisah hidup Muruga akan difilmkan Bollywood.

Muruga lahir di kota kecil Coimbatore, di negara bagian Tamil Nadu, India bagian selatan, pada 1962. Sebelum Muruga menamatkan sekolah dasar, ayahnya, seorang buruh pemintal benang, meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan di jalan raya. Keluarga yang sudah miskin menjadi semakin miskin.

Untuk membiayai Muruga sekolah, ibunya bekerja sebagai buruh tani. Tapi itu tak berlangsung lama. Muruga tak tahan melihat ibunya banting tulang. Di usia 14 tahun, ia memutuskan keluar dari sekolah dan mulai kerja serabutan untuk menghidupi keluarganya. Mulai dari jualan makanan untuk pekerja pabrik, jadi tukang las, buruh tani, jualan singkong di pasar, hingga menjadi operator mesin di pabrik.

Ketika mendapati istrinya memakai kain bekas dan kadang-kadang koran sebagai pembalut, Muruga agak terkejut. Namun, ia kemudian melihat peluang untuk memanjakan dan membahagiakan sang istri. Muruga memutuskan untuk membuat pembalut murah dengan tangannya sendiri.

Semuanya tampak sederhana pada awalnya. Ia membeli gulungan kain katun tipis, memotongnya menjadi beberapa bagian persegi panjang seukuran pembalut yang dijual di toko-toko, lalu melapisi bagian atasnya dengan kapas tipis. Setelah membereskannya dalam 2 hari, dengan penuh suka cita ia memberikan pembalut buatannya itu kepada sang istri.

Sial, Shanti sama sekali tak terkesan atas usahanya. Bukannya senang, si istri justru berkata bahwa pembalut buatannya sia-sia belaka dan lebih suka memakai kain lama.

Muruga tak mau menyerah. Kegagalan pertama menuntunnya untuk melakukan sejumlah penelitian dan percobaan lebih jauh. Ia menjajal sejumlah formula: memadukan berbagai jenis kapas dan kain berbeda.

Masalah selanjutnya muncul: setiap satu formula pembalutnya jadi, ia harus menunggu sampai istrinya datang bulan lagi. Ini tentu tidak efektif. Muruga harus mencari cara agar setiap formula barunya langsung diujicobakan. Ia perlu lebih banyak sukarelawan.

Muruga lalu meminta bantuan para mahasiswi kesehatan untuk mengetes pembalut buatannya. Selama proses ini, ia segera menyadari betapa mahalnya pembalut untuk kebanyakan wanita India. Pembalut yang berbahan kapas kurang dari 10 gram, yang pada saat itu harganya 10 paise (USD 0,002), dijual dengan harga 4 rupee atau 40 kali lipat dari harga dasarnya.

Ia pun semakin memantapkan niatnya untuk menciptakan pembalut murah. Kalau sudah berhasil, dan kalau perlu, ia ingin produksi massal.

Tapi Muruga mendapati kesulitan lain. Meski para mahasiswi itu tidak keberatan menjajal pembalut bikinannya, mereka ternyata sungkan untuk berbagi pengalaman mengenai pemakaiannya. Haid merupakan topik pembicaraan yang tabu di sana.

Tak ada jalan lain, Muruga nekat menjadikan dirinya sendiri kelinci percobaan. Ia merangkai peralatan khusus: uterus buatan berisi darah kambing yang dipasang di pinggulnya dan terhubung melalui selang kecil ke pembalut yang dipakainya. Ketika berjalan atau bersepeda, Muruga sesekali menekan uterus palsunya sehingga darah kambing itu mengalir seperti menstruasi.

Perlahan-lahan, orang-orang di lingkungannya mulai terusik. Di setiap kehadiran Muruga, para tetangganya selalu menghirup bau busuk, dan pakaiannya sering belumuran darah. Mereka mulai mengira ia sudah gila. Ditambah lagi, ia sering membersihkan pakaiannya dari noda darah di sumur umum. Seluruh desa semakin kencang menggunjingkannya.

Beberapa orang berbisik-bisik di belakangnya bahwa ia mengidap penyakit seksual menular. Jika berpapasan dengannya di jalan, beberapa teman sengaja menghindar. "Saya seperti tukang cabul," kenangnya.

Tak tahan mendengar gosip miring yang terus-terusan berhembus tentang suaminya, Shanti meminta Muruga menghentikan semua percobaan. Bukannya menuruti tuntutan istri, Muruga justru semakin merasa tertantang dan serius untuk segera menemukan formula pembalut terbaik. Kepalang basah.

Shanti pun minggat ke rumah ibunya. Pada hari ke-20, ia mengirimi Muruga gugatan cerai.

"Anda lihat, begitulah selera humor Tuhan. Saya memulai riset demi istri, dan, setelah 18 bulan, istri saya pergi," kata Muruga dalam film dokumenter Menstrual Man.

"Itu penghargaan pertama yang saya terima atas riset saya."

Revolusi Pembalut

India adalah negara dengan tingkat pemakai pembalut dan tampon yang sangat rendah. Di tahun 2015, 17 tahun setelah Muruga memulai proyek pembalut rumahannya, menurut laporan Euromonitor, 300 juta wanita India masih belum punya cukup uang untuk membeli pembalut yang bersih dan higienis. Satu dari lima gadis India harus keluar dari sekolah karena persoalan menstruasi.

Dibandingkan negara-negara lain, wanita India menghabiskan proporsi biaya yang lebih besar untuk pembelian pembalut per bulan. Pengeluaran untuk pembalut di India, proporsinya 0,532 persen dari rata-rata gaji bulanan di sana. Pengeluaran terendah di Singapura, hanya 0,112 dari pendapatan.

Ketika Muruga memulai berbagai percobaannya, pada tahun 1998, pembalut adalah barang mewah di India. Hanya 10 hingga 20 persen wanita India yang mampu membeli pembalut higienis. Kini, jutaan perempuan di sana bisa mendapatkan pembalut murah berkat penemuan Muruga.

Butuh waktu dua tahun bagi Muruga untuk menemukan komposisi yang pas dari bahan-bahan pembalutnya—empat bulan setelah ditinggal istri. Empat setengah tahun setelahnya, akhirnya ia berhasil menciptakan mesin sederhana pencetak pembalut murah. Mesin ini kemudian ia produksi secara massal dan dijual dengan harga USD 950, sementara mesin impor harganya lebih dari USD 500.000.

Mesin Muruga bukan hanya memungkinkan para perempuan mendapat pembalut murah, melainkan juga menciptakan lapangan pekerjaan di daerah-daerah pedesaan di India. Dengan mesin Muruga, kelompok ibu-ibu di sana bisa memproduksi pembalut mereka sendiri dan menjual sisanya.

Hingga saat ini, Muruga telah menjual 1.300 mesin yang tersebar di 27 negara bagian India. Belakangan, semakin banyak pula permintaan impor dari negara-negara berkembang di seluruh dunia. Beberapa perusahaan besar sampai kepincut ingin membeli mesinnya, tapi semua ditampiknya. Ia lebih suka mesinnya dimanfaatkan seluas-luasnya untuk kepentingan swadaya para perempuan di negaranya.

Dengan caranya sendiri, Muruganandam Arunachalam telah mencetuskan revolusi dari tanah kelahirannya. Revolusi yang barangkali tidak mudah dibayangkan kepala orang kebanyakan. Terbukti, untuk sampai di titik ini, ia harus menemui banyak kendala justru dari orang-orang dekatnya.

Pada tahun 2014, Majalah TIME memasukkannya dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia. Tapi yang jauh lebih penting bagi Muruga, Shanti akhirnya kembali ke pelukannya.

Baca juga artikel terkait INDIA atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Bisnis
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti