Menuju konten utama
Perempuan Iran

Revolusi Konstitusional: Ketika Perempuan Iran Melawan Monarki

Memasuki abad ke-20, perlawanan perempuan Iran meluas, tak lagi soal ekonomi tapi juga politik.

Revolusi Konstitusional: Ketika Perempuan Iran Melawan Monarki
Ilustrasi pergerakan perempuan. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Baca Juga:

Bagian 1: Perempuan Iran: Warga Kelas Dua, Direpresi, Tapi Terus Melawan

Bagian 2: Kisah Protes Perempuan Iran di Masa Lalu: Karena Roti & Tembakau

Perempuan Iran punya sejarah panjang melakukan perlawanan dan demonstrasi. Dalam buku The Qajar Pact: Bargaining, Protest and the State in Nineteenth-Century Persia (2005) karya Vanessa Martin, tertulis bahwa salah satu kejadian sentral yang membuat mereka bergerak adalah krisis pangan.

Selain aspek ekonomi atau yang berhubungan langsung dengan perut, mereka juga merespons hal-hal yang sifatnya politik. Hal ini tampak jelas dalam Revolusi Konstitusional yang berlangsung sepanjang 1905-1911.

Mirip dengan situasi yang melatarbelakangi gerakan boikot tembakau, Revolusi Konstitusional juga dipicu oleh kesewenang-wenangan monarki dalam mengelola keuangan negara. Akibatnya, para shah (raja) jadi mudah berutang pada asing, termasuk menjual banyak konsesi, terutama pada kekuatan imperial Rusia dan Inggris.

Gerah karena monarki yang korup dan terbelenggu pengaruh asing, rakyat Iran mulai menyerukan pentingnya menyusun konstitusi atau undang-undang, serta mendirikan parlemen.

Dilansir dari artikel Muhammad Sahimi di Frontline, demonstrasi perempuan kerap berbentuk pendudukan masjid. Di rumah ibadah inilah ulama-ulama revolusioner menyampaikan ceramah yang kritis tentang monarki. Partisipasi para perempuan penting untuk mencegah pertumpahan darah karena tentara kerajaan dianggap sungkan melepas tembakan ke arah mereka.

Sekelompok perempuan juga dilaporkan pernah menghadang langsung sang raja. Sahimi mengutip temuan sejarawan Ahmad Kasravi: bahwa serombongan perempuan menyerang arak-arakan kereta Shah Mozaffar al-din (berkuasa 1896-1907) di Tehran pada awal 1906. Salah satu dari mereka kemudian membacakan pernyataan berisi ancaman: “Waspadalah pada hari ketika rakyat merebut mahkota dan jubahmu untuk memerintah.”

Shah Mozaffar akhirnya menyerah. Pada pertengahan 1906, ia memerintahkan penyusunan konstitusi dan penyelenggaraan pemilu untuk anggota parlemen atau Majelis. Pada pengujung tahun itu, hanya beberapa hari setelah menandatangani konstitusi pertama Iran, Shah Mozaffar meninggal dunia.

Putranya, Shah Mohammad Ali, berusaha membatalkan putusan-putusan yang diambil mendiang bapaknya. Shah baru ini bersekutu dengan kekaisaran Rusia, yang menyokongnya dengan senjata, pinjaman uang, sampai propaganda untuk melawan gerakan konstitusional.

Pertempuran antara tentara kerajaan dan pejuang revolusioner pun tidak terhindarkan, termasuk melibatkan pasukan perempuan pimpinan Zainab Pasha (dari gerakan protes tembakau 1891).

Sementara itu, di Tabriz—kota terpenting kedua setelah Tehran bagi dinasti Qajar—berlangsung konflik sipil selama 11 bulan. Sepanjang waktu itu, sejumlah warga perempuan dikabarkan menyamar pakai baju laki-laki untuk ikut berperang membela gerakan revolusi.

Konstitusi dan parlemen Iran akhirnya berhasil direstorasi oleh pejuang revolusioner pada 1909, sementara Shah Mohammad Ali disingkirkan dan jadi eksil di Rusia.

Tak berapa lama kemudian, perempuan kembali berpartisipasi dalam demonstrasi besar pada 1911. Aksi massa yang menjadi tahap akhir dari gerakan Revolusi Konstitusional ini bertujuan untuk menentang campur tangan kekaisaran Rusia di pemerintahan Iran.

Kegaduhan diawali dari keinginan parlemen Iran untuk melakukan reformasi keuangan yang diarahkan oleh William Shuster, penasihat keuangan pemerintah yang disewa oleh parlemen Iran. Salah satu paket reformasi adalah perintah pada Pangeran Malek Mansur Mirza—adik Shah yang melarikan diri—agar menyerahkan asetnya pada negara. Perintah tersebut dianggap mengusik kepentingan kekaisaran Rusia karena sang pangeran berutang pada bank Rusia dan aset-asetnya dijadikan jaminan. Pemerintah Rusia—yang didukung otoritas Inggris—lantas mengeluarkan ultimatum bahwa pasukannya akan menduduki Iran apabila Shuster tidak segera dipecat.

Janet Afary dalam buku The Iranian Constitutional Revolution, 1906-1911 (1996) menjabarkan bagaimana rakyat Iran meluapkan kemarahannya pada otoritas Rusia kala itu. Diperkirakan sampai 50 ribu demonstran turun ke jalanan Tehran. Ribuan di antaranya perempuan. Mereka terlihat mengenakan kain kafan, yang dimaknai sebagai komitmen untuk membela bangsa.

Salah satu demo, berlangsung 1 Desember 1911, digerakkan oleh organisasi perempuan besar pada masa itu, Anjuman (Organisasi) Perempuan Tanah Air. Pada hari itu, ribuan perempuan berkumpul di luar gedung parlemen. Beberapa naik ke podium untuk berpidato tentang pentingnya revolusi. Sastrawan Zainab Amin, salah satu pendiri Anjuman dan guru di sekolah perempuan, turut membacakan puisinya tentang bela negara.

Mereka meminta agar para wakil rakyat di forum Majelis menolak ultimatum Rusia, sampai menyerukan boikot produk-produk buatan Rusia.

Infografik Perempuan Iran

Infografik Perempuan Iran. tirto.id/Fuad

Tindak tanduk para demonstran dilukiskan begitu heroik. Penasihat keuangan William Shuster mengamati, ada sekitar tiga ratusan perempuan, di antaranya membawa senjata api, yang memaksa masuk bangunan parlemen. Beberapa diizinkan masuk dan mengonfrontasi para anggota Majelis. Berdasarkan deskripsi Shuster, mereka “dengan penuh ancaman menunjukkan revolvernya, menyibakkan kerudungnya, dan mengaku akan membunuh suami dan anak-anak mereka, meninggalkan jasad mereka, apabila para wakil rakyat melupakan kewajibannya untuk menegakkan kebebasan dan martabat rakyat dan bangsa Persia.”

Masih dikutip dari buku Afary, upaya kaum perempuan untuk menentang Rusia juga dilakukan dengan menempelkan poster di penjuru Tehran berisi teguran terhadap warga yang tidak mau mengambil sikap. Mereka juga meminta agar kafe-kafe berhenti memakai gula impor atau menghentikan operasional toko. Mereka pun sukses memboikot sarana transportasi populer kereta kuda yang dimiliki pengusaha Eropa. Boikot juga dilakukan pada satu-satunya jaringan kereta api yang menghubungkan Tehran dengan area pinggiran provinsi.

Di balik keberanian yang sudah ditunjukkan para demonstran dan aktivis perempuan Iran kala itu, pemerintah tak kuasa melawan kekuatan otoritas Rusia. Menjelang Natal 1911, mereka setuju untuk memenuhi tuntutan pihak Rusia. Parlemen Iran pun dibubarkan. Penasihat keuangan pemerintah asal AS yang tidak disukai Rusia, William Shuster, dipulangkan.

Dan berakhir sudah era Revolusi Konstitusional Iran, tapi tidak dengan aktivisme perempuan.

(bersambung)

Baca juga artikel terkait IRAN atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino