Menuju konten utama

Revolusi Jamban ala Presiden Cina Xi Jinping

Xi Jinping menganggap toilet sebagai barometer kemajuan sebuah peradaban.

Revolusi Jamban ala Presiden Cina Xi Jinping
Ilustrasi interior toilet. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Ketika berbicara soal revolusi biasanya ada tiga peristiwa yang mungkin langsung muncul di benak Anda: Revolusi Industri di Inggris, Revolusi Perancis, ataupun Revolusi Oktober di Rusia. Namun, Presiden Republik Rakyat Cina, Xi Jinping punya bentuk revolusi yang berbeda.

Revolusi ini menentukan hajat hidup orang banyak, baik masyarakat Cina ataupun wisatawan asing. Revolusi itu adalah revolusi jamban.

“Permasalahan toilet bukan hal yang kecil, ini merupakan aspek yang penting untuk membangun kota dan daerah pedesaan yang beradab,” kata Presiden Xi, seperti diwartakan kantor berita Xinhua, Senin (27/11). Tak dapat dipungkiri, infrastruktur toilet umum yang nyaman dan mudah diakses merupakan salah satu barometer peradaban.

Sebenarnya, ini bukan pertama kali Presiden Xi menekankan pentingnya revolusi toilet. Pada Juli tahun lalu, ia juga pernah menyuarakan pentingnya revolusi ini untuk daerah pedesaan ketika mengunjungi Provinsi Jilin dan menyaksikan ada petani yang masih menggunakan toilet tradisional.

Mengapa ia begitu memprioritaskan pembaharuan infrastruktur jamban di Cina? Ada dua alasan utama.

Baca juga: Kepentingan Cina di Balik Kucuran Bantuan Asing

Pertama, toilet yang aman dan nyaman meningkatkan pengalaman para wisatawan yang melancong di Cina. Untuk itu, pembangunan dan renovasi toilet di kota-kota tujuan favorit wisata dan ruang umum seperti taman kota menjadi salah satu prioritas program revolusi toilet yang berlangsung saat ini. Kedua, infrastruktur sanitasi yang higienis dan nyaman akan meningkatkan kesehatan publik khususnya untuk masyarakat pedesaan.

Secara teknis, revolusi toilet ini tentunya tidak bisa diwujudkan dengan gampang dan sederhana. Cheng, et.al (2017) menjelaskan ada empat aspek utama yang dilakukan dalam program revolusi toilet, yaitu: pemisahan kotoran manusia dari pemukiman masyarakat, pembangunan infrastruktur sanitasi yang nyaman, mencegah polusi lingkungan dari sistem sanitasi yang buruk dan melakukan aktivitas daur ulang kotoran.

Pemerintah Cina tampaknya siap menghadapi semua kompleksitas ini.

Setelah gaung pertama revolusi toilet pada tahun 2015 oleh Presiden Xi, data Badan Nasional Pariwisata Cina mencatat, hingga bulan Oktober 2017, telah dibangun 68.000 toilet untuk para wisatawan. Peningkatan kualitas infrastruktur pendukung pariwisata sejalan dengan peningkatan pendapatan industri pariwisata Cina. Pada 2016, industri pariwisata Cina membukukan pendapatan sebesar 3,9 triliun yuan. Angka ini meningkat sebanyak 14 persen dari tahun sebelumnya.

Sementara itu, kontribusi total industri pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto Cina mencapai 9 persen pada 2016 dan diprediksi akan meningkat hingga 11 persen pada tahun 2027. Untuk periode 2018 sampai 2020, Pemerintah Cina telah merencanakan penambahan 47.000 toilet baru dan merenovasi sebanyak 17.000 toilet.

Namun, kesadaran akan perlunya peningkatan akses dan kualitas infrastruktur sanitasi di Cina telah dimulai sejak lama. Revolusi toilet memiliki keterkaitan dengan kampanye dan revolusi kesehatan publik pada tahun 1952 ketika Mao Zedong masih menjadi pemimpin.

Baca juga: Bagaimana Xi Jinping Menjelma Jadi Mao Zedong KW II

Sejarah Revolusi Toilet Cina

Nianqun Yang, profesor dari The Institute of Qing History, Renmin University of China dalam tulisannya menjelaskan mobilisasi sosial untuk memperbaiki kualitas kesehatan publik telah dimulai sejak 1952 di Cina. Kampanye masif bertajuk “Patriotic Health Campaign” pun dilakukan.

Pada awalnya, revolusi kesehatan ini dilakukan karena ada klaim ancaman—yang sampai saat ini belum bisa dibuktikan—bahwa Pemerintah Amerika Serikat telah memulai “Perang Kuman” dengan menyebarkan serangga beracun melalui pesawat.

Memanfaatkan momentum dari rumor serangan kuman Amerika Serikat yang pada saat itu dilihat sebagai penjajah, pemerintah Cina melakukan perluasan program kampanye peningkatan kualitas kesehatan publik secara domestik untuk menanggulangi permasalahan penyakit menular dan sanitasi.

Infografik banyak toilet banyak wisatawan

Dalam tulisan Nianqun yang sama, dijelaskan bahwa kampanye kesehatan ini mempromosikan tiga pesan utama. Pertama, layani pekerja, orang miskin dan tentara. Kedua, lakukan pencegahan. Ketiga, gunakan obat cina maupun obat dari negara-negara barat.

Kemudian, mulai 1953, pemerintah Cina mendirikan lembaga yang bertugas khusus untuk memastikan pencegahan penyakit menular yang juga bertanggung jawab atas peningkatan kualitas kesehatan publik. Strategi kampanye kesehatan yang mengkombinasikan wacana patriotik dan reformasi institusi ini dianggap berhasil dalam memobilisasi berbagai aktor masyarakat mulai dari pekerja kesehatan, pejabat pemerintah lokal, anggota Partai Komunis Cina, sampai masyarakat biasa untuk peduli terhadap kesehatan publik.

Pada 1980, Pemerintah Cina kembali melaksanakan program reformasi kesehatan 3-in-1 untuk meningkatkan kualitas infrastruktur sanitasi: mulai dari akses terhadap air bersih, renovasi toilet, sampai pendidikan kesehatan. Tujuh belas tahun kemudian, pengembangan akses terhadap infrastruktur sanitasi khusus untuk daerah pedesaan pun ikut dilakukan.

Berkaca dari sejarah, Pemerintah Cina sepertinya tidak setengah-setengah dalam melanjutkan peningkatan kualitas kesehatan publik dengan revolusi toilet sebagai salah satu bentuk program. Dalam laporan South China Morning Post (04/17), total dana sebesar 20 miliar yuan telah digelontorkan oleh pemerintahan lokal, ditambah 1 miliar yuan dari pemerintah pusat.

Akan tetapi, revolusi ini bukan tanpa kendala. Cheng, et.al (2017) menjelaskan dinamika sosial masyarakat dapat menjadi kendala dalam memperbaharui teknologi sanitasi di daerah pedesaan. Misalnya, karena fasilitas toilet yang modern dianggap terlalu boros air, masyarakat jadi enggan untuk mengadopsi sistem ini.

Baca juga artikel terkait CINA atau tulisan lainnya dari Terry Muthahhari

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Terry Muthahhari
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Maulida Sri Handayani