Menuju konten utama

Revolusi Iran dan Represi terhadap Tubuh Perempuan

Revolusi Islam menjadi awal mimpi buruk bagi perempuan di Iran.

Revolusi Iran dan Represi terhadap Tubuh Perempuan
Wanita memegang gambar Mahsa Amini Iran saat mereka meneriakkan slogan-slogan selama protes terhadap kematiannya, di luar konsulat jenderal Iran di Istanbul, Turki, Rabu, 21 September 2022. (Foto AP/Francisco Seco)

tirto.id - Seorang perempuan usia 55 tahun berjibaku membawa belanjaan di tengah hari yang panas. Ia terlalu sibuk untuk memikirkan jilbab yang mulai longgar sehingga tak menutupi aurat dengan sempurna. Rambutnya yang terikat akhirnya terpampang dan mata polisi segera tertuju padanya. Dia ditangkap kemudian dipenjara. Sebanyak 80 cambukan melayang di badannya karena bagian tubuh yang tidak sengaja terlihat publik.

Situasi ini adalah sesuatu yang lazim di Iran. Kita bisa menariknya sampai 43 tahun ke belakang.

Ketika itu, 1979, adalah waktu yang sangat buruk bagi pemimpin tertinggi Iran, Shah Mohammad Reza Pahlavi. Kekuasaannya dianggap lalim dan orang-orang yang muak mulai berani angkat suara. Gelombang demonstrasi di dalam negeri tak terbendung.

Masyarakat menganggap partai besar yang eksis, Melliyun Party (National Party) dan Mardom Party (People’s Party), tidak mewakili mereka. Bahkan partai yang disebut terakhir diduga hanya dibentuk untuk meredam tuntutan sistem demokrasi. Selain itu Mohammad Reza juga hanya memilih perdana menteri yang sejalan dengan visinya.

Selain di dalam Iran, Sayyid Ruhollah Musavi Khomeini alias Ayatollah Khomeini, pria yang pernah memimpin Revolusi Putih (1963) melawan Dinasti Pahlavi, juga memanaskan situasi dari luar negeri. Pada 1 Februari 1979, setelah eksil selama 15 tahun, Khomeini akhirnya kembali ke tanah airnya. Di sisi lain, sekitar dua pekan sebelumnya, keluarga Pahlavi melarikan diri ke Mesir dengan alasan berobat tapi tidak pernah kembali--alias bertukar posisi dengan Khomeini: hidup dalam pengasingan.

Sejak saat itu monarki runtuh dan Republik Islam Iran berdiri. Dan, sebagai orang yang punya peran signifikan dalam perubahan tersebut, Ayatollah Khomeini menjadi pemimpin tertingginya.

Khomeini ternyata tidak lupa dengan mereka yang berjasa dalam penggulingan kekuasaan lama, termasuk para perempuan. Pidatonya beberapa kali menyinggung hal itu: bahwa perempuan adalah garda terdepan dalam gelombang perlawanan rakyat. “Pertama-tama dan yang terpenting, kemenangan ini terjadi karena jasa-jasa perempuan daripada laki-laki,” kata Khomeini suatu kali.

Tapi ucapan tak sesuai dengan tindakan. Tidak ada yang menyangka bahwa orang yang begitu menghargai dan membanggakan perempuan ini malah menjadi biang kerok terbesar hilangnya hak-hak perempuan sampai sekarang.

Hukum Diskriminatif

Setelah revolusi, yang terjadi adalah kemunduran bagi perempuan. Beragam hukum yang cukup baik dicabut dan yang diskriminatif dibuat.

Khomeini, misalnya, mencabut aturan undang-undang perlindungan keluarga. Pada dasarnya aturan ini menguatkan hak-hak perempuan dan mengurangi dominasi lelaki dalam rumah tangga. Tanpa aturan ini, laki-laki bisa mengajukan cerai secara sepihak, sedangkan perempuan sebaliknya. Laki-laki juga bisa melakukan poligami dengan leluasa seperti dahulu. UU perlindungan keluarga membatasi laki-laki hanya bisa melakukan poligami atas izin pengadilan.

Khomeini juga melucuti perempuan yang memiliki jabatan di departemen kehakiman. Ia menyuruh perempuan untuk mencari pekerjaan di bidang administratif atau, lebih parah lagi, hanya melakukan pekerjaan domestik semata.

Ratusan perempuan kehilangan pekerjaan, termasuk di bidang pemerintahan, karena menentang kebijakan untuk selalu mengenakan cadar dalam situasi apa pun di depan orang lain selain suaminya.

Alison E. Graves dalam “Women in Iran: Obstacles to Human Rights and Possible Solutions” (1996) menyatakan meskipun punya hak pilih, pada dasarnya perempuan di Iran kehilangan kekuatannya. Mereka tetap berpolitik dan mendukung partai tertentu tapi, sepanjang catatan Graves, sering kali hanya mengekor pilihan suami.

“Khomeini menipu perempuan agar mereka berpikir punya hak memilih yang sangat penting dan menjadikannya sebagai tembok partisipasi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, perempuan Iran pada faktanya menerima hak untuk memilih tanpa adanya kekuasaan. Di masyarakat mereka dianggap kelompok terpinggirkan,” catat Graves.

Terpengaruh oleh pendapat masyarakat secara umum, perempuan Iran juga menganggap feminisme, sebuah gagasan tentang emansipasi, punya nilai-nilai yang merusak dan tak sesuai dengan Islam. Hak untuk mengenyam pendidikan tinggi juga tabu. Mereka yang berkuliah dianggap anti-Islam. Demikian pula dengan hak untuk berkumpul. Perempuan dilarang keras untuk bisa mengorganisir sebuah demonstrasi atau berorasi di depan umum.

Satu kebijakan lain yang paling mencolok adalah keharusan bagi perempuan selalu berpakaian tertutup dan tidak boleh berdandan (termasuk menggunakan lipstik atau mewarnai kuku). Perubahan ini sangat drastis dibandingkan kepemimpinan Pahlavi yang mengizinkan mereka berpakaian bebas (bahkan melarang jilbab).

Sebelumnya, tidak lama setelah suaminya berkuasa, Khadijeh Saqafi muncul di televisi mengenakan hijab lengkap. Ia mendorong agar semua perempuan berpenampilan serupa--menutupi aurat.

Kebijakan ini berakar dari pandangan Khomeini bahwa perempuan adalah “pelayan” suami yang tugasnya sekadar melahirkan keturunan. Mereka harus dijauhkan dari laki-laki lain karena punya kemampuan menggoda. Ia juga menyamakan mentalitas perempuan dengan anak-anak yang tidak bisa mengambil keputusan tanpa pertimbangan dari orang lain--dalam hal ini suami.

Infografik jilbab di Iran

Infografik jilbab di Iran

Pihak yang menegakkan aturan tersebut di lapangan tidak lain adalah polisi. Siapa pun perempuan yang melanggar dengan mempertontonkan rambutnya--sengaja atau tidak--di depan laki-laki lain akan dicambuk sebanyak 74 kali, sedangkan yang berani memakai lipstik akan berakhir di penjara.

Di penjara keadaan tidak lebih baik, bahkan makin kacau. Washington Post edisi Desember 1988 melaporkan beberapa perempuan yang dipenjara bersaksi bahwa mereka diperkosa. Sekali lagi hanya karena berpakaian tidak sesuai dengan standar Khomeini. Anak-anak juga dibanting ke tembok.

Menurut sumber yang sama, pada Juli-November 1988 setidaknya ada 12 ribu tahanan yang meninggal di bawah rezim Khomeini, termasuk di antaranya perempuan dan anak-anak.

Yang lebih parah adalah orang-orang yang “menegakkan moral” ini toh dapat “dibeli”: “Jangan pikir penjahat-penjahat ini adalah puritan yang religius. Prinsip mereka bisa dibeli. Perempuan yang mau keluar penjara bisa membayar 125 dolar AS jika rambutnya terlihat oleh publik dan 900 dolar AS untuk mereka yang mengenakan kosmetik,” tulis Washington Post.

Medio September lalu, kegeraman perempuan Iran mencapai ubun-ubun ketika mengetahui seorang dari mereka, Mahsa Amini, baru berusia 22, meninggal dunia setelah ditahan oleh polisi moral di Teheran, ibu kota Iran. Sebelumnya ia tiga hari koma di rumah sakit.

Orang-orang menduga Amini mengalami penganiayaan berat selama “dididik” polisi karena pakaiannya dianggap longgar. Hanya sedikit, jika bukan tidak ada sama sekali, orang yang percaya Amini meninggal karena sebab alami seperti klaim negara. Tradisi kekerasan polisi moral terhadap perempuan bukan kali ini saja terjadi dalam sejarah negara tersebut.

Kerusuhan pecah di berbagai kota pada 17 September 2022. Setidaknya sampai naskah ini ditulis gelombang kerusuhan sudah menyebar di lebih dari 20 kota besar.

Meski Khomeini sudah meninggal pada 1989 lalu, warisan hukum syariahnya yang menyulitkan perempuan masih bertahan sampai sekarang. Tapi demikian pula perjuangan untuk menghapuskannya.

Madonna, ikon penyanyi pop asal Amerika Serikat, pernah meluapkan emosinya terhadap Khomeini dan pandangan misoginisnya sewaktu pemimpin Iran itu masih hidup. Dalam konteks saat ini, nama Madonna bisa kita ganti dengan siapa pun yang menentang diskriminasi; sementara nama Khomeini bisa disubtitusi dengan mereka yang masih bersikeras mempertahankan ketimpangan gender. Demikian katanya:

“Kamu tahu apa yang aku harapkan untuk Khomeini? Aku berharap dia mati dan terlahir lagi sebagai perempuan di bawah rezimnya sendiri.”

Baca juga artikel terkait IRAN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino