Menuju konten utama

Revisi UU KPK dan Pro Kontra Wacana Perppu di Kalangan Ahli Hukum

Wacana Perppu KPK menjadi pro kontra. Sebagian ahli hukum mendukung penerbitan perppu untuk membatalkan revisi UU KPK, tetapi yang lainnya tidak.

Revisi UU KPK dan Pro Kontra Wacana Perppu di Kalangan Ahli Hukum
Presiden Joko Widodo menyampaikan sikap tentang rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/9/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama.

tirto.id - Pengesahan revisi UU KPK atau perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam Rapat Paripurna DPR pada 17 September 2019 lalu, memicu protes publik. Revisi UU KPK menjadi salah satu penyebab demo mahasiswa meluas di banyak kota.

Di antara tuntutan mahasiswa adalah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU KPK hasil revisi. Tuntutan serupa disampaikan sejumlah pegiat antikorupsi yang menilai isi revisi UU KPK memuat pasal yang bisa melemahkan Komisi Antirasuah.

Pada 26 September lalu, Presiden Joko Widodo menemui 40 tokoh di Istana Negara. Dia mengaku menerima banyak masukan di pertemuan itu, terutama soal perppu. Usai pertemuan tersebut, dia menyatakan akan mempertimbangkan penerbitan perppu untuk membatalkan revisi UU KPK.

“Tentu saja ini akan segera kita hitung, kita kalkulasi, dan nanti setelah kita putuskan akan juga kami sampaikan kepada para senior dan guru-guru saya yang hadir pada sore hari [ini],” kata Jokowi setelah bertemu 40 tokoh masyarakat di Istana Merdeka, Jakarta.

Sampai hari ini, Jokowi belum mengeluarkan keputusan soal Perppu KPK. Tenaga Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Kepresidenan, Ali Mochtar Ngabalin beralasan Jokowi masih butuh waktu.

"Ini kan [Jokowi] orang Solo, orang Jawa. Jadi tak tergesa-gesa dalam mengambil satu keputusan kan? Jadi kasih ruang, waktu, tidak akan ada masalah. Insyaallah," ujar Ngabalin, pada Jumat (4/10/2019).

Di sisi lain, muncul perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum soal wacana penerbitan Perppu KPK. Sebagian ahli mendukung penerbitan Perppu KPK, namun yang lainnya tidak.

Pendapat Ahli Hukum Pendukung Perppu KPK

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD menjelaskan polemik revisi UU KPK memang sebenarnya bisa diselesaikan melalui legislative review.

Namun, dia meragukan pasal-pasal yang menuai kritik bisa diubah. Sebab, sebelumnya perwakilan semua partai di DPR kompak menyetujui pengesahan UU KPK hasil revisi.

Selain itu, dia memprediksi uji materi di MK untuk membatalkan revisi UU KPK tidak akan berhasil. Sebab, MK dilarang membatalkan UU hanya karena tidak disukai rakyat. MK bisa membatalkan UU apabila isinya memang bertentangan dengan konstitusi.

“[Revisi UU KPK] Ini tidak disukai rakyat, tapi tidak bertentangan dengan konstitusi,” kata Mahfud di acara talk show ILC yang disiarkan TVOne pada 1 Oktober 2019 lalu.

Oleh sebab itu, kata dia, polemik revisi UU KPK lebih baik diselesaikan dengan penerbitan perppu. Mahfud berpendapat penerbitan perppu adalah hak subjektif presiden. Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 memang mengatur perppu bisa diterbitkan "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.” Namun, kata Mahfud, penilaian soal adanya unsur kegentingan bergantung pada subjektif presiden.

Dia juga membantah pendapat yang menyebut presiden Jokowi bisa dimakzulkan jika menerbitkan Perppu KPK. Mahfud menilai pendapat tersebut menyesatkan. Sebab, kalaupun perppu dinilai tidak tepat, DPR RI bisa membatalkannya.

“Perppu kalau salah, ya dibatalkan saja, tidak ada hukuman pidananya,” ujar salah satu dari 40 tokoh yang bertemu Jokowi di istana pada 26 September lalu tersebut.

Sementara ahli hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar menilai sudah ada 'kegentingan memaksa' yang bisa melandasi penerbitan perppu. Kata dia, kegentingan itu terlihat dari banyaknya korban luka, bahkan ada yang meninggal dunia, dari kalangan peserta demo menolak revisi UU KPK.

Selain itu, terdapat sejumlah pasal di UU KPK hasil revisi yang bisa memicu persoalan kekosongan hukum. Masalah kekosongan hukum merupakan salah satu parameter kegentingan seperti disebut dalam putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.

Zainal mencontohkan UU KPK hasil revisi mengatur usia komisioner KPK paling rendah 50 tahun. Karena tidak ada pasal peralihan, menurut Zainal, salah satu komisioner KPK terpilih, yakni Nurul Ghufron yang masih berusia 45 tahun, tidak bisa dilantik.

Saat berbicara di acara ILC, anggota Komisi III DPR periode 2014-2019 dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, berdalih ada kesalahan redaksi di pasal 29 tersebut. Kesalahan itu ialah angka ditulis 50, padahal di dalam kurung tertulis empat puluh. Namun, Zainal menyangsikan dalih Masinton itu.

Belakangan, Mensesneg Pratikno mengklaim pemerintah menemukan sejumlah salah ketik di UU KPK hasil revisi sehingga perlu meminta klarifikasi ke DPR. Namun, ia tak menjelaskan detail salah ketik itu.

Adapun ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti menyarankan Jokowi segera menerbitkan Perppu KPK mengingat urgensi dan derasnya desakan publik. “Ini justru langkah responsif kalau melihat dinamika yang terjadi di luar dan menuangkannya dalam kebijakan," kata Bivitri.

Dia menambahkan Jokowi tidak perlu menunggu proses uji materi UU KPK di MK selesai. Sebab, tak ada ada aturan yang melarang penerbitan perppu saat UU yang diperkarakan sedang diuji.

Alasan Ahli Hukum Penolak Perppu KPK

Di antara ahli hukum yang tidak sepakat dengan penerbitan Perppu KPK ialah Romli Atmasasmita. Ia menilai usulan penerbitan Perppu KPK “menjerumuskan” Jokowi.

“Mereka yang mendorong presiden membuat perppu pembatalan revisi UU KPK menjerumuskan Presiden ke jurang kehancuran lembaga kepresidenan," kata Romli seperti dilansir Antara, Jumat (4/10/2019).

Dia berpendapat, penerbitan Perppu KPK sebelum hasil revisi diundangkan, melanggar UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. "Jika Presiden membuat perppu sebelum sah revisi UU diundangkan, maka Presiden melanggar UU dan dapat diimpeach," ujar Romli.

Ahli hukum tata negara UI, Indriyanto Seno Adji juga menyatakan penerbitan Perppu KPK bisa dianggap inkonstitusional bila tidak ada kegentingan yang memaksa. Dia menilai saat ini tidak ada kegentingan yang memaksa sesuai parameter yang disebut dalam putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.

Indriyanto pun mengingatkan ada risiko tumpang tindih antara Perppu KPK dengan putusan MK. Hal itu terjadi jika MK menolak uji materi UU KPK yang kini sedang berjalan prosesnya. Kata dia, jika MK menolak uji materi itu, berarti UU KPK hasil revisi dinyatakan tetap sah.

"Itu artinya tidak ada kepastian hukum, karena ada tumpang tindih dan saling bertentangan mengenai polemik objek yang sama, yaitu UU KPK," ucap Indriyanto pada Kamis kemarin.

Baca juga artikel terkait REVISI UU KPK atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Hukum
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Agung DH