Menuju konten utama

Revisi PKPU Tidak Efektif Menghasilkan Kepala Daerah Berintegritas

KPU mau melarang pejudi dan pemabuk maju di pilkada. Aturan ini dianggap tidak efektif memunculkan kepala daerah berintegritas.

Revisi PKPU Tidak Efektif Menghasilkan Kepala Daerah Berintegritas
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman berpidato saat peluncuran pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 di Jakarta, Senin (23/9/2019). ANTARA FOTO/Reno Esnir/pras. ANTARA FOTO/Reno Esnir/pras.

tirto.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah. Dalam revisi yang tengah diuji publik ini, KPU menambahkan syarat untuk para calon. Aturan ini dimuat dalam Pasal 4 huruf j.

Dalam beleid itu seseorang yang punya catatan melanggar kesusilaan dilarang mencalonkan diri. Pelanggar yang dimaksud adalah judi, mabuk, pemakai atau pengedar narkoba, dan berzina.

Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik mengatakan larangan ini sebetulnya sudah ada di dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, namun detail apa saja perbuatan tercela itu ada di dalam bagian penjelasan, bukan disebutkan dalam batang tubuh. Formula serupa diterapkan dalam PKPU.

Revisi dilakukan agar tak ada lagi multitafsir terkait pasal itu.

“Penjelasan dalam UU 10/2016 kami cantumkan langsung dalam PKPU sehingga nanti tidak ada multitafsir yang dimaksud dengan perbuatan tercela ini," ujar Evi di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (2/10/2019).

Dalam Pasal 42 ayat (1) huruf h rancangan PKPU, calon kepala daerah harus membuktikan diri mereka tak melakukan hal-hal itu dengan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dari polisi.

Calon gubernur dan wakil gubernur harus meminta SKCK ke polda. Sementara calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota harus mendapat SKCK dari polres.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan revisi ini memang baik, tapi hanya basa-basi belaka. Ia tidak lantas menghasilkan kepala daerah yang berintegritas.

Sebabnya, hal itu sebetulnya sudah "berlangsung dari pilkada ke pilkada, pemilu ke pemilu." Dan itu, kata Titi kepada reporter Tirto, Sabtu (5/10/2019), "bisa dikatakan sebatas formalitas saja."

Sejauh ini tidak pernah ada yang mempersoalkan aturan ini karena memang sifatnya hanya formalitas, kata Titi.

Untuk itulah, kata Titi, KPU lebih baik menyiapkan peraturan lain yang lebih berbobot, misalnya larangan pencalonan terpidana kasus korupsi atau mantan koruptor. Peraturan ini dirasa lebih efektif menghasilkan kepala daerah yang tak akan menyelewengkan kekuasaan.

Dari tiga puluh poin draf revisi PKPU, tak ada satu pun poin larangan napi koruptor. Namun Titik memaklumi ini. Menurutnya KPU sengaja tak memasukkan larangan eks koruptor maju pilkada ke dalam PKPU karena sedang menyiapkannya dalam revisi UU Pilkada.

KPU, kata Titi, tak mau kalah dua kali dalam mengatur syarat larangan pencalonan bagi eks narapidana korupsi.

“Kami mendorong agar pengaturan tersebut diadopsi di dalam regulasi setingkat undang-undang karena kalau itu di PKPU, akan mengandung kerentanan: digugat para pihak ke MA," kata Titi.

Saat Pemilu 2019, PKPU Nomor 20 Tahun 2018 digugat ke Mahkamah Agung karena mencantumkan larangan eks narapidana korupsi mencalonkan diri dalam pileg. MA lantas mengabulkan gugatan uji materi untuk pembatalan larangan itu karena menilai ia bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Saat itu MA menyarankan KPU melarang pencalonan bekas koruptor lewat undang-undang, bukan peraturan di bawahnya.

Peneliti Sindikasi Pemilu Demokratis (SPD) Erik Kurniawan mengatakan hal serupa. Erik khawatir aturan-aturan ini malah membuat kisruh saja, sementara kualitas kepala daerah yang dipilih juga tak benar-benar bagus.

Sebagai gambaran, selama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri, lebih dari 100 kepala daerah yang sudah diproses. Sepanjang tahun lalu, yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) mencapai 31.

"Saya khawatir polemik itu akan terulang dan tidak berkontribusi positif untuk menghadirkan calon kepala daerah yang berintegritas," kata Erik kepada reporter Tirto.

Ia juga menilai PKPU tak perlu repot-repot mengatur larangan perbuatan tercela karena akan dianggap membatasi hak politik warga negara. Apalagi larangan pencalonan untuk orang pernah berbuat demikian hanya disebutkan dalam PKPU saja. Ia khawatir aturan hasil revisi ini akan digugat kembali.

Faktanya memang sudah ada partai yang menyatakan tidak sepakat dengan peraturan ini. Misalnya PBB. Mereka meminta aturan ini diperjelas, dan bahkan sebaiknya dihapus saja.

Upaya menghadirkan kepala daerah yang berintegritas, kata Erik, bisa dilakukan oleh KPU dengan mensyaratkan setiap calon untuk mendeklarasikan kepada publik kekayaan dan potensi konflik kepentingan yang dimilikinya.

"Kalau mau, KPU mensyaratkan pada setiap calon kepala daerah terbuka kepada publik perihal integritasnya, misalnya deklarasi konflik kepentingan kepada publik," Erik memungkasi.

Tahun depan, akan ada 270 daerah yang akan menggelar pemilihan kepala daerah. Sembilan di antaranya tingkat provinsi. Pemungutan suara akan digelar pada 23 September 2020.

Baca juga artikel terkait REVISI PKPU atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Hukum
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino