Menuju konten utama

Reuni 212: Mengapa Sejumlah Generasi Z Mengikutinya?

Aksi dan Reuni 212 dibikin para generasi tua. Tetapi, Generasi Z juga hadir dalam kegiatan itu.

Reuni 212: Mengapa Sejumlah Generasi Z Mengikutinya?
Umat Islam mengikuti Reuni 212 di kawasan Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, Minggu (2/12/2018). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Sarifuddin tengah duduk di tepi trotoar Jalan Katedral kala azan penanda waktu salat zuhur berkumandang dari Masjid Istiqlal, Minggu (2/12/2018) siang. Dia tak lekas menuju masjid karena menunggu kelima temannya memunguti sampah. Beberapa botol dan kantong plastik pun mereka masukkan ke kantong sampah. Kelima orang itu berumur lebih muda dari Sarifuddin.

Saat itu, pemuda berumur 21 tersebut sudah lebih dari 10 jam berada di arena Reuni 212. Bersama lima kawannya itu, Sarifuddin berangkat dari tempat tinggalnya di Bantar Gerbang, Bekasi pada pukul 00.00. Mengendarai sepeda motor, mereka tiba di area Monumen Nasional (Monas) pada pukul 01.30. Enam laki-laki yang tergabung dalam Majelis Taklim Ikatan Remaja Darul Mukminin (Irdami) itu pun tidur dengan beralaskan tikar sewaan, 5 ribu rupiah sekali pakai, di pelataran Monas.

"Sebagai umat Islam, tidak mungkin lah dihina sama orang lain. Makanya kami ini ikut," ujar Sarifuddin menyatakan alasannya mengikuti Reuni 212.

Sementara itu, sekitar 50 meter dari lokasi yang dibersihkan kawan-kawan Sarifuddin, tiga peserta Reuni 212 yang berumur belum genap 15 bergegas menuju pintu masuk timur Masjid Istiqlal. Ketiganya bernama David Maulana, Muhammad Romdoni, dan Trisna Agroni. Mereka mengenakan baju koko putih—pakaian yang digunakan sebagian besar peserta Reuni 212. David dan Andi mengikatkan bandana bertulis kalimat tauhid di kepala mereka, tindakan yang juga jamak dilakukan peserta Reuni 212 lainnya.

Tiga orang yang masih duduk di sekolah menengah pertama ini sudah tiba di arena Reuni 212 pada pukul 07.00. Mereka berangkat dari Kalideres, Jakarta Barat menggunakan Transjakarta.

Meskipun pernah duduk di sekolah dasar yang sama, Romdoni mengaku jarang bertemu dengan David dan Trisna. Mereka sekarang bersekolah di tempat yang berbeda.

"Kami ini jarang ketemu. Ada acara ini jadi bisa ketemu. Siapa tahu juga ketemu teman lainnya di sini," ujar Romdoni, mengutarakan alasannya ikut Reuni 212.

Generasi Z, Internet, dan Dakwah

Dilihat dari segi usia, mereka yang dikisahkan di atas tergolong Generasi Z. Istilah ini mencakup orang-orang yang lahir pada era internet. Di Indonesia, Generasi Z dapat didefinisikan mereka yang lahir setelah 1995, setahun setelah Indonet, penyelenggara jasa internet komersial perdana di Indonesia, beroperasi. Generasi Z Indonesia tertua berumur 23 pada 2018.

Generasi Z lekat dengan internet. Tirto pernah menyurvei 1.201 orang berusia 7-21 pada 9 Maret hingga 16 Juni 2017. Area survei meliputi Jakarta, Tangerang, Bandung, Yogyakarta, dan Denpasar. Hasilnya menunjukkan, sebagian besar Generasi Z mengakses berita lewat media sosial (35,2 persen) atau peramban (26,1 persen).

Lewat internet pula Generasi Z belajar soal agama. Pada 1-7 Oktober 2017, PPIM UIN Jakarta menyurvei 1.522 siswa Muslim di SMA/SMK Kelas XI dan 337 mahasiswa semester 3. Jumlah dan sebaran responden tersebut secara statistika mewakili Generasi Z di seluruh Indonesia. Hasil survei ini menyebutkan 50,89 persen siswa dan mahasiswa mendapat informasi rujukan keagamaan dari internet.

Sebagian besar siswa dan mahasiswa mengatakan Mamah Dedeh (43,49 persen) sebagai penceramah yang ditonton melalui internet. Selain dia, siswa dan mahasiswa juga merujuk Yusuf Mansur (28,06), Zakir Naik (20,22), Aa Gym (14,92), dan Rizieq Shihab (10,08).

Sarifuddin mengaku hanya aktif di Facebook. Di media sosial bikinan Mark Zuckerberg itu, ia mengikuti beberapa akun dakwah. Sebagian informasi mengenai Reuni 212 juga ia dapatkan dari Facebook dan pesan WhatsApp yang dikirim rekan-rekan majelisnya.

Sedangkan Romdoni dan David ialah pengguna aktif Instagram. Romdoni mengaku menyukai media sosial tersebut karena lebih bisa menjaga privasi. Sementara David mengatakan, "Kalau Facebook terlalu banyak [berisi] berita yang melenceng dari seharusnya."

Lewat Instagram pula Romdoni mendapatkan sejumlah informasi soal Reuni 212. Ia mengikuti beberapa akun temannya yang pernah menjadi peserta Aksi 212 2016 dan Reuni 212 2017. Dari situ, Romdoni juga tahu tentang kabar yang beredar bahwa Reuni 212 dikaitkan dengan politik Pemilihan Presiden 2019.

"Sebenarnya sih enggak masalah, asal jangan menjelek-jelekkan. Politik enggak apa-apa, yang penting positif," ujar Romdoni.

Infografik Gen Z belajar agama dari internet

Belajar Islam Dari Internet

Di media sosial, David mengaku mencari ceramah Hanan Attaki setiap hari, kemudian menontonnya. "Kalau ada masalah apa, saya tonton dakwah beliau," ujarnya.

Hanan Attaki, laki-laki kelahiran 1981, merupakan penceramah sekaligus pendiri kelompok pengajian Pemuda Hijrah di Bandung. Akun YouTube Inspirasi Islam yang mengunggah ceramah Hanan berjudul "Dengarkan Ketika Anda Sedang Sendiri" telah ditonton lebih dari 6 juta kali.

Sedangkan Romdoni punya penceramah favorit lainnya. Dia menggemari Abdul Somad Batubara, penceramah kelahiran Asahan, Sumatra Utara. Selain itu, Romdoni juga mengikuti akun Instagram @majelisrasulullahsaw_official yang dikelola organisasi Majelis Rasulullah. Lembaga tersebut didirikan Munzir Almusawwa.

Namun, Romdoni juga kerap menonton ceramah Hanan Attaki. Suatu kali Romdoni mempertanyakan soal batasan Islam soal mengidolakan seseorang. "Bagaimana mengidolakan seseorang? Kata Ustad Hanan, mengidolakan seseorang itu enggak apa-apa. Tapi, jangan ikuti dia tiap lini. Lebih baik mengidolakan Nabi Muhammad," ingat Romdoni.

David mengatakan Reuni 212 merupakan acara yang hebat. Baginya ini adalah simbol perjuangan ulama Islam yang harus ditiru. Sementara Sarifuddin bangga betul bisa jadi peserta Reuni 212.

"Kita bisa bareng-bareng di sini. Panas, ya kepanasan. Saya bangga bisa hadir di sini," ujar Sarifuddin.

Baca juga artikel terkait REUNI AKSI 212 atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Humaniora
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan