Menuju konten utama

Retorika Prabowo yang Masih Sama Sejak Pilpres 2014

Jargon 'ekonomi kerakyatan' dan retorika soal 'kebocoran uang negara' tetap diangkut Prabowo pada Pilpres 2019.

Retorika Prabowo yang Masih Sama Sejak Pilpres 2014
Ilustrasi rangkuman Pilpres 2014: Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. tirto.id/Lugas

tirto.id - “Kita harus benar-benar bikin mobil produk Indonesia, jangan mobil ethok-ethok,” kata Prabowo Subianto dalam pidatonya di Jakarta Convention Center, Senin kemarin, 14 Januari 2019.

Meski tak terus terang, capres nomor urut 02 itu menyindir mobil proyek nasional Esemka. Sindiran di luar teks pidato itu serupa dengan tweet-nya, empat tahun lalu.

“Jangan lupa pesanan saya ya @EsemkaIndonesia. Saya masih nantikan. Indonesia harus punya mobil, motor & pesawat sendiri. Kita bangsa besar,” cuit Prabowo pada 16 Januari 2014, beberapa bulan sebelum resmi menjadi lawan tanding Joko Widodo dalam Pilpres 2014.

Orang pertama yang memopulerkan mobil Esemka adalah Jokowi, petahana yang kini melawan Prabowo pada Pilpres 2019. Pada awal 2012, Jokowi memamerkan mobil “Kiat Esemka” yang dicitrakan sebagai pengganti mobil lama dinasnya sebagai walikota Solo, Toyota Camry.

Namun, hingga kini, proyek mobil nasional Esemka masih sebatas ilusi. Belum ada produksi massal mobil tersebut.

Prabowo pernah kepincut Mobil Esemka. Pada 19 April 2012, akun YouTube Partai Gerindra mengunggah rekaman video yang merekam Prabowo mencoba mobil itu. "Bagus. Bagus. Selamat. Selamat," katanya setelah keluar dari ruang kemudi.

Prabowo bahkan pernah berjanji, jika dia menjadi presiden, aparat negara di semua level pemerintahan wajib menggunakan mobil buatan Esemka.

Sebelum mengetahui bahwa Jokowi adalah lawan tandingnya dalam Pilpres 2014, Prabowo mengatakan akan menggunakan mobil Esemka untuk kampanyenya.

Namun, kini mobil Esemka menjadi bumerang bagi Jokowi. Fadli Zon, politikus dan orang dekat Prabowo, memakai retorika bahwa produksi mobil Esemka hanya bentuk "politik kebohongan" Jokowi.

Membentuk Citra dan Membelokkan Tudingan

Dini Hidayanti Herpamudji dalam penelitiannya (Jurnal Politika, Vol.6, No.1, April 2015) menulis Prabowo Subianto berusaha fokus pada isu "ekonomi kerakyatan" untuk menjala simpati. Jargon-jargon bertema ekonomi kerakyatan pun digalakkan, terutama menyasar konstituen petani.

Citra yang melekat terhadap putra Sumitro Djojohadikusumo, gerbong arsitek ekonomi Orde Baru, itu adalah “Soeharto Baru”. Prabowo, mantan menantu Soeharto, menawarkan kembali Indonesia ke era kemapanan Orde Baru.

Dalam penelitian Agus Firmansyah, Siti Karlinah, dan Suwandi Sumartias (Jurnal The Messenger, Vol.9, No.1, Januari 2017) mengenai pola pembentukan citra Prabowo melalui Twitter pada Pilpres 2014, akun-akun di Twitter menatah Prabowo sebagai sosok yang apa adanya, cerdas, kuat, dan negarawan.

Meski begitu, Prabowo diterpa beragam kampanye hitam oleh akun-akun Twitter pendukung Jokowi. Prabowo dianggap bagian dari kebangkitan Orde Baru dan koruptor.

Citra seorang negarawan Prabowo juga digerus oleh beberapa isu. Mulai dari tuduhan menghilangkan aktivis demokrasi pada 1998, dalang kerusuhan Mei 1998, hingga kabur ke Yordania.

Tuduhan yang menerpanya ketika dia menjabat sebagai komandan jenderal Kopassus ditepis dengan pelbagai cara. Prabowo pernah melunakkan kata “penculikan” dengan “mengamankan”. Ia juga mengalihkan tuduhan ke anggotanya.

“Saya harus luruskan. Semua yang pernah anggota saya amankan di 98, telah dilepaskan,” cuit Prabowo pada 10 Februari 2014.

Laporan Time menulis, muncul buku yang dibuat oleh seseorang berjudul “Diculik oleh Prabowo”. Namun, sudut pandang buku itu menguntungkan Prabowo, di antaranya bombastis dan menjebak pembaca karena isinya tak terkait peristiwa penculikan aktivis 1998. Penulisnya adalah pendukung Prabowo.

Penguatan citra Prabowo pun dilakukan oleh Pius Lustrilanang, aktivis yang diculik pada 1998 dan kini politikus Gerindra. Pius menganggap Prabowo tak bersalah dan bahkan berkat berterima kasih.

Namun, menjelang masa tenang Pilpres 2014, Wiranto membunyikan kembali isu tersebut. Mantan Panglima ABRI yang mendukung Jokowi ini menuduh Prabowo adalah orang yang paling bertanggung jawab lantaran mengambil inisiatif sendiri melakukan penculikan aktivis 1998.

Infografik Retorike Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014

Infografik Retorike Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014

'Kebocoran' yang Bernapas Panjang

Dalam sambutannya sebagai pembicara di Rapat Kerja Nasional Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia ke-2, di Hotel Kartika Chandra, 13 Februari 2014, Prabowo Subianto menyinggung anggaran negara yang bocor.

Menurut Prabowo, Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak Rp360 triliun, APBN Rp500 triliun, dan anggaran negara untuk subsidi energi Rp300 triliun. Total kebocoran anggaran negara Rp1,160 triliun per tahun.

Pada 28 Februari 2014, Prabowo mengungkapkan melalui akun Twitternya bahwa pernyataan itu berdasarkan hasil penghitungan Dewan Pakar Partai Gerindra.

Usai pernyataan itu, muncul jargon Prabowo akan menjadikan Indonesia sebagai ‘Macan Asia’. Berulang kali retorika 'Macan Asia' ini digaungkan.

"Kita tidak mau menjadi bangsa pesuruh. Kita tidak mau menjadi bangsa kacung. Kita tidak mau menjadi bangsa yang diinjak-injak oleh bangsa-bangsa lain,” kata Prabowo saat kampanye pada 24 April 2014.

Namun, retorika Prabowo soal kebocoran anggaran negara itu dianggap kontradiktif oleh pengamat, ketika pasangannya Hatta Rajasa adalah orang pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Rajasa dan Yudhoyono tak cuma sama-sama ketua umum partai, bawahan dan atasan, melainkan juga saling berbesan.

Lima tahun kemudian, Prabowo masih menjual retorika soal kebocoran keuangan negara. Dalam pidato kebangsaan di JCC, Senin kemarin, ia menyindir soal kebocoran negara.

“Kami akan hentikan kebocoran uang ke luar negeri, dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang tepat dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia,” katanya.

Baca juga artikel terkait DEBAT PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Politik
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam