Menuju konten utama

Respons Tokoh Gereja Papua & LIPI Soal Papua Tak Bisa Referendum

Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan Papua tidak bisa referendum, hal ini ditanggapi oleh beberapa elemen masyarakat Papua dan peneliti dari LIPI.

Respons Tokoh Gereja Papua & LIPI Soal Papua Tak Bisa Referendum
Ilustrasi papua. foto/istockphoto

tirto.id - Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan Papua tidak bisa referendum lantaran tercatat dalam konstitusi Indonesia, sehingga segala upaya pemisahan dianggap sebagai perlawanan.

Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, Socratez S Yoman memiliki pendapat berbeda. "Itu yang disampaikan [ialah] pandangan penguasa, sudah biasa. Kami tidak terpengaruh dengan itu, dia memang harus katakan itu sebagai Menko Polhukam," kata dia ketika dihubungi Tirto, Selasa (17/12/2019).

Berkaitan dengan Resolusi Nomor 2504 dalam Sidang Umum PBB ke-24 pada 19 November 1969, yang mengukuhkan perpindahan kekuasaan di wilayah Irian Jaya dari Belanda kepada Indonesia, artinya Papua kini dalam pelukan Pertiwi.

Socratez menyatakan hal itu betul secara politis, namun diskriminasi dan pelanggaran HAM terhadap orang Papua masih bergulir.

"Banyak orang Papua ditembak mati, belum diselesaikan dan pelakunya justru terlihat dalam mengambil keputusan [pejabat]. Apakah orang Papua tidak berharga dalam republik ini?" ucap Socratez.

Dia turut menanggapi pernyataan Mahfud ihwal pemerintah telah memberikan kebijakan afirmatif untuk Papua yakni pemberlakuan otonomi khusus.

Socratez berpendapat hal itu masih juga mencerminkan diskriminatif, ia bandingkan dengan Aceh yang memiliki partai lokal dan bendera Gerakan Aceh Merdeka boleh berkibar.

"Tapi Papua tidak boleh kibarkan bendera [Bintang Kejora], ini diskriminasi rasial. Jadi, otonomi khusus yang mana? Kibarkan Bintang Kejora, masyarakat ditangkap, dibilang makar dan dijebloskan ke penjara," imbuh dia.

Berkaitan dengan pemerintah menetapkan ketentuan bahwa Gubernur Papua harus orang Papua atau yang dianggap orang Papua berdasarkan adat setempat; syarat mutlak anggota DPR harus 25 persen asal Papua; jatah kepada anak Papua untuk masuk perguruan tinggi, Socratez anggap keliru.

"Maaf, setiap orang punya hak untuk jadi anggota parlemen dan masuk perguruan tinggi. Itu bukan karena pemerintah, itu salah. Indonesia tidak pernah berikan sesuatu ke orang Papua," jelas Socratez.

"Sebelum Indonesia menduduki Papua, orang Papua telah belajar ke Belanda, di mana-mana," sambung dia.

Sementara, peneliti dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) Adriana Elisabeth mengatakan perbedaan interpretasi soal sejarah Papua menjadi salah satu dari akar masalah.

"Bahkan perbedaan juga terjadi di antara orang-orang Papua. Hal ini akan terus berlangsung kalau tidak ada solusi bersama. Mungkin baik dibuat kajian akademik terkait soal sejarah dan dari berbagai sudut pandang, karena misalnya proses integrasi Papua tidak hanya penting dipahami secara politik, namun juga secara ekonomi dan sosial budaya," ujar dia ketika dihubungi Tirto, Selasa (17/12/2019).

Terkait soal referendum, ia berpendapat, baik juga dipahami substansi Resolusi PBB Nomor 2504 itu. Apakah semua elemen di dalam resolusi itu sudah direalisasikan, khususnya mengenai aspek kesejahteraan orang Papua?

"Ini juga bagian penting dalam kajian akademik kalau memang mau dilakukan," ucap Adriana.

Baca juga artikel terkait REFERENDUM PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri