Menuju konten utama

Respons Polri Soal Keluarga Sulit Bertemu Tersangka Rusuh 22 Mei

Polisi membantah mempersulit kunjungan keluarga para tersangka rusuh Mei 2019. 

Respons Polri Soal Keluarga Sulit Bertemu Tersangka Rusuh 22 Mei
Tersangka pelaku kericuhan dalam aksi 22 Mei ditampilkan dalam rilis di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (23/5/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.

tirto.id - Polri menanggapi kritik Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang menyatakan polisi mempersulit kunjungan keluarga tersangka rusuh Mei 2019.

Pemeriksaan mendalam menjadi dalih polisi. "Perlu ada ruang dan waktu, penyidik melakukan upaya-upaya pemeriksaan terkonsentrasi," ucap Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra di Mabes Polri, Jumat (14/6/2019).

Ia membantah jajarannya mempersulit kunjungan keluarga para tersangka. Bahkan, kata dia, polisi cukup adil lantaran penyidik menangguhkan penahanan 100 dari 447 tersangka aksi rusuh.

"Artinya ada sebuah komunikasi ke keluarga maupun kuasa hukumnya, jadi tidak benar (membatasi akses tersangka dengan keluarga), itu hanya persoalan waktu saja," kata Asep.

KontraS menyayangkan polisi membatasi akses terhadap saksi dan tersangka kerusuhan tersebut. Berdasarkan tujuh pengaduan gabungan yang diterima lembaga itu, orang yang ditangkap kesulitan menemui keluarga.

"Selain itu tidak mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum atau advokat. Hal ini bertentangan dengan Pasal 60 KUHAP, di mana setiap tersangka berhak untuk menerima kunjungan dari keluarganya" kata Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi KontraS, Feri Kusuma di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Rabu (12/6/2019).

KontraS juga buka mulut perihal omongan Kapolri Tito Karnavian yang menyatakan ada ‘ruang komunikasi’ dalam kasus dugaan penyelundupan senjata oleh Soenarko.

Koordinator Badan Pekerja Kontras, Yati Andriyani mengkritik pernyataan Tito dengan menegaskan bahwa dalam hukum tidak dikenal istilah ‘ruang komunikasi’.

“Yang ada ialah yang bersangkutan terbukti atau tidak atas sangkaan tindak pidana yang dituduhkan,” kata dia.

Kepada reporter Tirto, Kamis (13/6/2019), Yati mengatakan jika terdapat bukti yang cukup dan jelas, maka proses hukum dilanjutkan. Jika tidak, kasus dihentikan sebagaimana tertera dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP.

“Sebenarnya apa yang dimaksud masih ada ruang komunikasi? Profesionalisme Polri dipertaruhkan dan dipertanyakan bila proses hukum atau penghentian penyidikan kasus ini tidak mengacu pada aturan hukum yang ada,” tegas Yati.

Baca juga artikel terkait AKSI 22 MEI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Alexander Haryanto