Menuju konten utama

Respons Pihak Sjamsul Nursalim Soal Pemanggilan Pemeriksaan KPK

Kuasa hukum pengusaha Sjamsul Nursalim (SN), Maqdir Ismail menilai permintaan KPK untuk memeriksa kliennya sebagai tersangka kasus BLBI BDNI

Respons Pihak Sjamsul Nursalim Soal Pemanggilan Pemeriksaan KPK
Ilustrasi Sjamsul Nursalim. tirto.id/Deadnauval.

tirto.id -

Kuasa hukum pengusaha Sjamsul Nursalim (SN), Maqdir Ismail menilai permintaan KPK untuk memeriksa kliennya sebagai tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) telah mengganggu citra Sjamsul dan istri.

Sebab, KPK seolah-olah mencitrakan suami-istri Nursalim itu telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dipersangkakan, tanpa proses hukum.

“Sedangkan faktanya SN dan IN belum pernah diperiksa sebagai calon tersangka seperti yang diwajibkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi,” kata Maqdir dalam keterangan tertulis yang diterima tirto di Jakarta, Rabu (12/6/2019) malam.
Sikap pimpinan dan juru bicara KPK tersebut dipandang tidak proporsional dan menyesatkan. Padahal, penyelesaian kewajiban BLBI BDNI oleh SN didasarkan pada perjanjian keperdataan (MSAA) yang dibuat antara pemerintah dengan Sjamsul sudah selesai.

Pihak Sjamsul beranggapan pendekatan penyelesaian kasus SKL BLBI ada di ranah keperdataan, bukan pidana.

“Ini bukti bahwa KPK tidak menghargai hukum dan proses hukum,” katanya.
Menurut Maqdir, untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa KPK dalam perkara BLBI-BDNI bersikap terbuka dan melakukannya demi kepentingan hukum.

KPK harus membuktikan Sjamsul telah melakukan misrepresentasi atas hutang petambak berdasarkan putusan pengadilan perdata. Sebab, penyelesaian BLBI BDNI dilakukan dengan mekanisme keperdataan melalui pembuatan Perjanjian MSAA.

Kemudian, KPK harus mengonfirmasi terlebih dahulu dari pemerintah, terutama untuk mengambil langkah-langkah hukum terhadap SN sehubungan dengan penyelesaian BLBI berdasarkan MSAA dan Instruksi Presiden No. 8/2002.

Selain Inpres Nomor 8 Tahun 2002, keterangan Pemerintah di DPR tahun 2008, serta jaminan pemerintah dalam release and discharge sudah menyatakan kalau pemerintah tidak akan melakukan atau menuntut segala tindakan hukum atau melaksanakan segala hak hukum yang mungkin dimiliki pemerintah terhadap SN sehubungan dengan penyelesaian BLBI berdasarkan MSAA.
KPK pun juga harus membuktikan bahwa timbulnya keuangan negara sebesar Rp. 4,58 triliun akibat ditandatanganinya MSAA oleh pemerintah dan SN. Padahal, pemerintah tidak pernah menyatakan bahwa SN belum melaksanakan seluruh kewajibannya sesuai dengan MSAA. Apalagi aset-aset termasuk hutang petambak tersebut sudah sepenuhnya milik pemerintah sejak tahun 1999.

Sjamsul pun disebut tidak terlibat saat penghapusbukuan ataupun dijual sudah sepenuhnya kewenangan Pemerintah soal utang petambak.

Menurut Maqdir, situasi tidak adil jika sekarang SN kembali dikait-kaitkan dengan dihapuskannya ataupun bahkan diminta bertanggungjawab atas selisih penjualan hutang petambak Dipasena tersebut. Apalagi seluruh jaminan dari sejumlah lebih dari 22.000 tambak sudah seluruhnya diserahkan kepada pihak ketiga.

Kemudian, Maqdir juga menyoalkan penjualan seluruh aset-aset yang diterima Pemerintah sehubungan dengan penyelesaian BLBI pada masa krisis, hampir seluruhnya dilakukan dengan nilai yang jauh lebih rendah dibandingkan nilai penerimaannya. Maqdir pun memasalahkan hasil audit investigatif BPK 2002 dan audit BPK 2006 yang sudah menyatakan SN telah menyelesaikan seluruh kewajibannya atas BLBI dan hal-hal terkait lainnya berdasarkan MSAA.

Maqdir menyatakan audit yang lebih dekatlah yang memiliki nilai pembuktian lebih tinggi dan yang seharusnya digunakan bila mengacu prinsip hukum pembuktian. Maqdir pun mempersoalkan hasil audit investigatif BPK tahun 2017 karena sudah ada hasil audit sebelumnya.

"Mengapa hingga saat ini KPK belum menjelaskan kebenaran yang sesungguhnya tentang laporan audit investigatif BPK 2017, yang sebenarnya didasarkan pada instruksi dan arahan sepihak KPK. Apalagi dalam pelaksanaannya auditor BPK sama sekali tidak merujuk pada audit investigative BPK 2002 dan audit BPK 2006, dan justru menggunakan bukti dan informasi sepihak dari KPK tanpa terlebih dahulu menguji dan memverifikasinya," kata Maqdir.
"Hingga saat ini KPK dan BPK belum menjelaskan mengapa mereka mengabaikan audit BPK 2002 dan 2006, padahal keduanya adalah bukti-bukti yang sangat menentukan," Lanjut Maqdir.
Ia pun menilai kampanye melalui media dan konferensi pers yang dilakukan oleh KPK secara khusus dan berulang-ulang untuk perkara BLBI BDNI, dengan mengesankan bahwa SN dan IN tidak kooperatif, adalah upaya nyata dan sistematis dari KPK untuk merusak harkat dan martabat SN dan IN.

"Ini juga merupakan upaya menghukum SN dan IN di muka publik, tanpa melalui proses hukum yang berkeadilan dan menghargai martabat manusia," kata Maqdir.

Baca juga artikel terkait KASUS KORUPSI BLBI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri