Menuju konten utama

Respons Ombudsman Saat Polisi Tak Berikan Data Penembakan Begal

Sikap Polda Metro yang tidak memberikan data penembakan terhadap begal mencuatkan adanya dugaan extra judicial killing.

Respons Ombudsman Saat Polisi Tak Berikan Data Penembakan Begal
Komisioner Ombudsman Republik Indonesia ‎(ORI), Adrianus Meliala. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

tirto.id - Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Adrianus Meliala mengatakan ketidaksiapan Polda Metro Jaya dalam mengungkap data pembunuhan di luar proses peradilan (extra judicial killing) menguatkan dugaan unsur kesengajaan semakin kuat.

Unsur kesengajaan yang ia maksud ialah penembakan terhadap pelaku begal atau kejahatan jalanan di ibu kota. Sikap kurang kooperatif Polri mencuatkan dugaan extra judicial killing benar-benar terjadi di tubuh anggota kepolisian.

“Ketidaksiapan Polda Metro Jaya terhadap data-data penembakan begal tersebut, membuat dugaan adanya maladministrasi atau penembakan yang tak sesuai prosedur, semakin menguat,” kata Adrianus di kantor Ombudsman, Jakarta, Rabu (1/8/2018).

Dia berpendapat, Polda Metro Jaya tak bisa berdalih sibuk menyiapkan Asian Games sehingga beralasan tidak membawa data. Pasalnya, kata Adrianus, ketidaksiapan itu seolah mencerminkan sikap lambat dan tidak patuh kepolisian.

Dan hal tersebut, lanjut dia, dan tidak sesuai dengan program profesional, modern dan terpercaya (Promoter) Polri.

Selain itu, pada pertemuan kali ini, pihak Ombudsman juga sudah menyurati kepolisian sejak 27 Juli lalu. “Artinya ada waktu empat hari untuk menyiapkan data, tapi hari ini belum bisa diberikan kepada kami. Jadi, di mana kesiapannya?” ucap pakar kriminologi itu.

Untuk itu, Ombudsman kembali mengundang Polda Metro Jaya pada pekan depan agar menyerahkan data yang diperlukan untuk pengkajian perkara. “Kami belum anggap kasus ini selesai (close case), kami belum punya bukti dari polisi,” kata Adrianus.

Terkait dengan penggunaan senjata api oleh aparat, kepolisian memang diperbolehkan memakai dalam keadaan tertentu dan hal tersebut tercantum pada Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009. Di dalamnya menjabarkan situasi yang memperolehkan aparat memakai senjata. Termasuk prinsip yang harus dipegang teguh anggota kepolisian dalam melakukan penembakan.

Upaya penembakan dapat dilakukan jika pelaku memberikan ancaman yang dapat mengakibatkan luka parah atau kematian terhadap anggota polisi atau masyarakat. Cara ini merupakan upaya terakhir (last resort) dan bertujuan untuk melumpuhkan, bukan mematikan.

Sedangkan bagi pelaku kejahatan, mereka memiliki hak untuk membuktikan dirinya bersalah atau tidak melalui mekanisme pengadilan. Pembunuhan di luar putusan peradilan oleh aparat polisi, dapat dinilai sebagai pelanggaran serius. Pasalnya, penuntutan terhadap perkara otomatis gugur karena pelaku meninggal dunia.

Selama Operasi Kewilayahan Mandiri yang berlangsung sejak 3-12 Juli, ada 1.953 pelaku kejahatan yang ditangkap dan 320 orang ditetapkan jadi tersangka karena ditemukan unsur pidana dan barang bukti.

Kemudian, ada 11 orang ditembak mati karena diduga membahayakan korban dan petugas kepolisian. Operasi cipta kondisi ini merupakan instruksi Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk memastikan keamanan menjelang Asian Games 2018.

Baca juga artikel terkait BEGAL atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Alexander Haryanto