Menuju konten utama

Respons Kejagung soal Klaim Jaksa Agung terkait Kasus HAM Semanggi

Kejagung menanggapi putusan majelis PTUN Jakarta soal pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin tentang kasus Semanggi I dan Semanggi II.

Respons Kejagung soal Klaim Jaksa Agung terkait Kasus HAM Semanggi
Kapuspenkum Kejagung Hari Setiyono (tengah) memberikan keterangan kepada wartawan di Gedung Bundar, Kejagung, Jakarta, Selasa (4/8/2020). ANTARA FOTO/Reno Esnir.

tirto.id - Kejaksaan Agung mengklaim hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta keliru dalam menimbang perkara gugatan Sumarsih dan Ho Kim Ngo tentang pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin tentang kasus Semanggi 1 dan Semanggi 2.

Kejaksaan, dalam perkara nomor 99/G/TUN/2020/PTUN.JKT itu pun menyebut salah satu kekeliruan hakim adalah mengabaikan bukti video rekaman dalam rapat kerja Komisi III DPR RI yang diajukan Kejaksaan Agung. Sebab, video tersebut diklaim tidak memuat pernyataan Komnas HAM untuk tidak melanjutkan kasus Semanggi I dan Semanggi II ke pengadilan HAM adhoc.

"Dalam video rekaman tidak ada penyampaian Jaksa Agung yang menyatakan 'Seharusnya KOMNAS HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc, berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM'," kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono dalam keterangan tertulis, Kamis (5/11/2020) malam.

Sebagai catatan, pernyataan Kejaksaan Agung mengacu kepada pertimbangan hakim dalam halaman 113 sampai 114. Dalam bagian tersebut, hakim meyakini tindakan ST Burhanuddin selaku tergugat tidak menguraikan proses penyelidikan bahkan diduga cenderung mengabaikan/ menyembunyikan fakta mengenai kewajiban yang masih diemban institusi Kejaksaan selaku penyidik yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Hakim meyakini ST Burhanuddin tidak hanya berujar dengan mengandung kebohongan (bedrog), tetapi juga melanggar asas kecermatan dari asas-asas umum pemerintahan yang baik karena tidak memperhatikan nilai hukum yang terkandung dalam Putusan MK No. 18/PUUV/2008 tanggal 21 Februari 2008.

Kejaksaan Agung menyebut kalau informasi yang diberikan Jaksa Agung dalam Rapat Kerja dengan DPR RI tidak dapat dikategorikan perbuatan konkret penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 1 Perma No. 2 Tahun 2019 sebagaimana tersebut dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim pada halaman 93-95.

Menurut Hari, orangtua korban tidak memiliki kepentingan terhadap kalimat jawaban Jaksa Agung di Rapat Kerja DPR tersebut karena tidak sesuai dengan ketentuan pasal 53 ayat (1) Undang – undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN. Selain itu, para penggugat juga dinilai belum memenuhi kewajiban melakukan ‘banding administratif’ lebih dahulu kepada Presiden Jokowi selaku atasan ST Burhanuddin sebagai Jaksa Agung berdasarkan ketentuan pasal 78 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Pihak Kejaksaan Agung juga tidak mempertimbangkan keterangan ahli Gde Pantja Astawa soal surat terbuka pada 5 Maret 2020 kepada Presiden Jokowi tentang penanganan permasalahan HAM berat tidak dikategorikan sebagai banding administratif. Kejaksaan Agung juga mengkritik putusan karena isi putusan tidak dapat menjelaskan peraturan mana yang dilanggar dari pernyataan dalam rapat tersebut.

"Pertimbangan hukum PTUN Jakarta tersebut di atas lalai tidak dapat menjelaskan peraturan mana yang dilanggar sehingga mengkualifikasikan penjelasan Jaksa Agung di depan Rapat Dengar Pendapat tersebut sebagai tindakan pemerintah yang cacat substansi sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 53 ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. pasal 52 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan," tutur Hari.

Klaim tersebut direspons oleh kuasa hukum penggugat, M. Isnur. Seluruh dalil yang disampaikan Kejaksaan Agung adalah dalil saat persidangan dan sudah ditolak hakim, kata Isnur.

"Jadi itu merupakan pengulangan dalil lah dan sudah dibantah oleh kita semua dalam replik dan kemudian di bukti-bukti," kata Isnur kepada reporter Tirto, Kamis (5/11/2020) malam.

Isnur menegaskan, para penggugat punya hak karena keluarga korban perkara. Kemudian, dalil kewajiban banding administratif sudah terbantahkan karena penggugat sudah mengajukan surat terbuka kepada Jokowi.

Khusus untuk dalil tidak ada pernyataan dalam video, Isnur meminta Kejaksaan Agung melihat bukti laporan kepada Komisi III DPR RI dan risalah rapat pada 16 Januari 2020. Bukti tersebut diperkuat dengan pernyataan pejabat Kejaksaan Agung, Kasmin yang menyiapkan dokumen rapat dengar pendapat tersebut.

Oleh karena itu, dalil Kejaksaan Agung, dalam pandangan Isnur, "mempermalukan dirinya sendiri karena justru hakim itu mengambil bukti pernyataan dari Jaksa Agung, dari buktinya mereka sendiri".

Isnur berharap, Kejaksaan Agung tidak mengasumsikan gugatan keluarga korban Semanggi sebagai musuh. Ia berharap, ST Burhanuddin mengevaluasi kinerja internal yang justru tidak optimal menangani kasus pelanggaran HAM masa lalu.

"Jangan dianggap sebagai musuh yang mempermalukan. Ini upaya rakyat, upaya korban, upaya masyarakat karena sudah mengajukan keberatan ditolak, banding dicuekin, akhirnya menggunakan mekanisme gugatan. Harusnya dianggap sebagai sebuah mekanisme evaluasi internal," kata Isnur.

Baca juga artikel terkait KASUS SEMANGGI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri