Menuju konten utama

Respons Benny Wenda Soal Rencana DPD Papua Temui ULMWP

Benny Wenda mengatakan, rencana DPD Papua untuk berdialog dengan mereka tak akan menyelesaikan masalah Papua karena merupakan isu internasional.

Respons Benny Wenda Soal Rencana DPD Papua Temui ULMWP
Ilustrasi Benny Wenda. tirto.id/Sabit

tirto.id - Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda, menanggapi rencana Dewan Perwakilan Daerah Papua bertemu dengan pihaknya untuk dialog.

"Kunjungan Kerja DPD RI adalah kewajiban rutinitas sebagai perwakilan rakyat dan DPD tidak akan pernah menyelesaikan masalah Papua karena masalah di sana bukan isu domestik, namun isu internasional," ucap Benny, Minggu (1/12/2019).

Karena isu internasional, maka penyelesaian perkara pun harus menggunakan mekanisme internasional. Selain mengunjungi dua organisasi itu, Ketua Panitia Khusus DPD Papua, Filep Wamafma, berencana tandang ke pemerintah daerah, Dewan Adat Papua, para tokoh gereja maupun tokoh masyarakat setempat.

Benny berpendapat pihaknya tidak bisa digabungkan dengan pekerja HAM, persekutuan gereja, organisasi taktis dan Dewan Adat. "ULMWP adalah lembaga negara bangsa Papua setara dengan lembaga negara Indonesia, maka harus duduk sejajar antara Presiden Indonesia dan pemimpin bangsa Papua, bukan utusan perwakilan daerah," kata Benny.

Bila DPD berdialog persoalan kesejahteraan, pembangunan, pelanggaran HAM, daerah otonomi khusus dan isu lain, ia mempersilakan ambil data melalui lembaga selain ULMWP. Benny menegaskan, Presiden Joko Widodo harus mengundang Komisioner HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengambil data pelanggaran HAM karena dugaan keterlibatan Indonesia membunuh orang Papua.

Pada Oktober lalu, Benny menekankan Jokowi harus menunjukkan keseriusan dalam menangani akar masalah di Papua. Ia mengajukan sejumlah syarat agar dialog dengan Jokowi bisa terlaksana:

  1. Orang-orang Papua yang telah lama bertekad menuntut referendum, diikutsertakan dalam pertemuan;
  2. Pertemuan dilakukan melalui mediasi pihak ketiga (Misalnya diselenggarakan oleh PBB atau negara pihak ketiga yang disepakati);
  3. Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia diizinkan untuk mengunjungi Papua Barat sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan oleh 18 negara Pasifik di Forum Kepulauan Pasifik ke-50 pada Agustus 2019;
  4. 16 ribu personel militer dan polisi Indonesia yang dikerahkan sejak Agustus 2019 segera ditarik;
  5. Semua tahanan politik Papua Barat dibebaskan, termasuk Buchtar Tabuni, Bazoka Logo, Steven Itlay, Surya Anta, Agus Kossay, dan semua siswa yang telah ditangkap selama kerusuhan;
  6. Semua pembatasan masuk ke Papua Barat untuk media internasional dan LSM dicabut.
"Agar kami percaya bahwa ini telah berubah, Indonesia harus menunjukkan itikad baik dan setuju pra-kondisi kami. Keinginan kami untuk mencapai referendum yang demokratis, untuk menjunjung tinggi hak kami untuk mandiri," jelas Benny.

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) juga bersedia duduk di meja perundingan dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yakni PBB. Juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sembom mengatakan organisasinya menolak dialog dengan TNI.

"Karena ini adalah masalah hak politik Penentuan Nasib sendiri bagi Bangsa Papua di bagian barat Pulau New Guinea of Paradise," kata Sebby kepada Tirto, Sabtu (31/9/2019).

Sebby menyampaikan hal itu satu bulan sebelum Presiden Joko Widodo menyatakan kesediaannya bertemu dengan tokoh pro kemerdekaan Papua.

Presiden mengaku bersedia bertemu dengan tokoh pro kemerdekaan Papua seperti ULMWP, KNPB dan OPM. "Tidak ada masalah, bertemu saja kok," kata Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (30/9/2019).

Baca juga artikel terkait PAPUA MERDEKA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Widia Primastika