Menuju konten utama

Respons Aktivis 98 Saat Titiek Soeharto Getol Kampanye Orde Baru

Kempanye Titiek Soeharto yang getol mempromosikan Orde Baru dinilai tak lebih hanya upaya menaikkan elektabilitas politiknya saja.

Respons Aktivis 98 Saat Titiek Soeharto Getol Kampanye Orde Baru
Politisi Partai Berkarya yang juga puteri Presiden RI ke-2 Soeharto Titiek Hediati (tengah) didampingi Ketua Tim Pemenangan Prabowo Sandi (TP-PAS) Taufiq (kanan) dan Wakilnya Heldi (kiri) memberi keterangan pers usai acara Konsolidasi di Serang, Banten, Rabu (14/11/2018). ANTARA FOTO/Weli Ayu Rejeki.

tirto.id - Twit Titiek Soeharto atau Siti Hediati Hariyadi yang menginginkan Indonesia kembali seperti Orde Baru menuai ragam komentar. Sebab, politikus Partai Berkarya ini masih getol menjual rekam jejak ayahnya, Presiden ke-2 RI Soeharto saat kampanye untuk Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pilpres 2019.

Mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada era 1990-an, Budiman Sudjatmiko mengaku menghargai keinginan Titiek yang ingin mengembalikan Indonesia seperti era Soeharto. Namun ia mengingatkan konsekuensinya bila wacana itu benar-benar terealisasi.

“Jika kembali ke Orba, berarti kembali ke pemilu yang kita tahu siapa yang akan menang, kembali ke zaman di mana partai itu-itu saja yang akan berkuasa, kembali ke zaman orang mengkritik bisa ditahan, harga cengkeh bisa dikuasai keluarga Cendana, dan juga mobil nasional dimonopoli,” kata Budiman kepada reporter Tirto, Selasa sore (20/11/2018).

Selain itu, kata politikus PDIP ini, tak akan ada lagi dana desa yang mengalir ke sejumlah daerah, tak ada lagi otonomi daerah, hingga kembalinya orientasi pembangunan nasional yang berpihak kepada asing.

“Berarti [kalau kembali ke Orba] presiden bisa terus-menerus mencalonkan diri tanpa dibatasi. Mau seperti itu?” kata dia.

Pernyataan Budiman ini sebagai respons atas wacana Titiek yang selalu mengatakan berusaha mengembalikan kebijakan era Soeharto. Salah satunya yang dibangga-banggakan adalah swasembada pangan.

“Sudah cukup. Sudah saatnya Indonesia kembali seperti waktu era kepemimpinan Bapak Soeharto yang sukses dengan swasembada pangan, mendapatkan penghargaan internasional dan dikenal dunia,” demikian twit Titiek melalui akun Twitternya, Rabu lalu (14/11).

Anggota dewan pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ini mengaitkannya dengan kebijakan Presiden Jokowi yang tak serius memajukan sektor pertanian, bahkan membuka keran kebijakan impor yang membuat petani tercekik.

Padahal pada era Soeharto, meskipun ada kebijakan swasembada pangan, tapi pada 1984, Indonesia masih mengimpor beras. Terlebih pada 1995, Indonesia ketergantungan pada impor beras. Kala itu impor beras mencapai angka sekitar 3 juta ton.

Era kepemimpinan Soeharto juga bergelimang penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi. Berdasarkan data Global Corruption Report 2004 dari Transparency International, Soeharto adalah salah satu pemimpin paling korup di dunia.

Berbeda dengan Budiman, salah satu bekas aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) era 1998, Fahri Hamzah menilai pernyataan Titiek Soeharto tersebut muncul dikarenakan pemerintah Joko Widodo saat ini yang kerap mengkritik Orde Baru. Padahal tidak semua kebijakan Orde Baru jelek.

Hal tersebut, kata Fahri, yang membuat Titiek sebagai anak Soeharto membanding-bandingkan keadaan sekarang dengan kepemimpinan bapaknya.

“Saya rasa itu yang mendorong beliau menyatakan apa yang terjadi pada zaman Orde Baru itu lebih baik,” kata Fahri saat dihubungi reporter Tirto, Senin lalu.

Fahri menyadari tumbangnya Orde Baru memang membawa dampak positif bagi Indonesia. Ia menilai jatuhnya Orde Baru merombak struktur ketatanegaraan dan kelembagaan yang cukup signifikan, seperti dihapusnya dwifungsi ABRI, menciptakan otonomi yang luas, hingga membatasi kewenangan lembaga eksekutif.

“Dan banyak lagi yang sudah kita lakukan yang menyebabkan kita melangkah maju ke depan,” kata Fahri.

Ia pun menyarankan pemerintahan Joko Widodo agar tidak selalu mengkritik masa lalu dan lebih baik fokus menatap masa depan.

“Itu sebabnya saya sarankan kepada incumbent jangan terlalu mengkritik masa lalu. Kenapa tidak melihat ke depan saja? Bereaksi berlebihan terhadap masa lalu akan menyebabkan masalah masa kini,” kata wakil ketua DPR RI ini.

Infografik Kilas balik kehidupan soeharto

Sebaliknya, aktivis mahasiswa era 1980-an Rachland Nashidik justru mengatakan apa yang diucapkan oleh Titiek Soeharto tak lebih hanya upaya menaikkan elektabilitas politiknya saja. Hal itu tergantung dengan warga yang punya ikatan emosional ke Orde Baru dengan warga yang memiliki ikatan emosional dengan era reformasi.

“Menurut saya itu pesan yang secara spesifik ditunjukkan kepada warga yang merasa masih punya ikatan emosional atau pandangan politik yang sama dengan Pak Harto,” kata politikus Demokrat ini.

Menurut Rachland, apa yang diucapkan Titiek Soeharto hanyalah penegasan bila masyarakat yang ingin kembali ke Orde Baru tak sedikit. Dengan kata lain, kata Rachland, itu hanyalah pesan elektoral belaka.

“Realisasinya akan sangat bergantung pada seberapa banyak atau seberapa kuat pendukung Pak Harto dibanding warga lain yang justru memiliki ikatan dengan reformasi,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz