Menuju konten utama
K O N F R O N T A S I

Reshuffle Kabinet: Siapa Saja Menteri Jokowi yang Layak Diganti?

Setelah Jokowi marah-marah, tidak ada kebijakan menteri yang menonjol. Lima menteri layak dijadikan pertimbangan Jokowi untuk di-reshuffle.

Reshuffle Kabinet: Siapa Saja Menteri Jokowi yang Layak Diganti?
Ilustrasi reshuffle kabinet Jokowi. tirto.id/Sabit

tirto.id - Dalam rapat kabinet terbatas pada 18 Juni 2020, Jokowi secara tegas menyampaikan reshuffle kabinet bisa dia lakukan andaikata diperlukan. Di rapat itu Jokowi juga marah besar karena para menterinya bersikap seakan-akan kondisi pandemi ini adalah situasi yang biasa saja, tidak istimewa. Jika situasi ini terus bertahan, Jokowi mengultimatum akan membubarkan lembaga tertentu demi mengatasi kondisi buruk akibat COVID-19.

"Bisa saja, membubarkan lembaga. Bisa saja reshuffle. Udah kepikiran ke mana-mana saya. Entah buat Perppu yang lebih penting lagi. Kalau memang diperlukan,” ucap Jokowi.

Jika kalimat Jokowi itu bukan omong-kosong belaka, tentunya ada beberapa menteri yang posisinya sudah tidak aman lagi.

Pada saat hampir bersamaan dengan kemarahan Jokowi, Indonesia Political Opinion (IPO) melakukan survei terhadap 1.350 responden yang tersebar di 135 desa dari 30 provinsi di Indonesia. Salah satu hasil survei yang dilakukan sepanjang 8-25 Juni 2020 itu adalah sebanyak 72,9 persen responden sepakat perlu ada reshuffle atau perombakan kabinet.

Ada delapan nama yang mendapat lebih dari 25 persen suara responden untuk segera diganti oleh orang lain. Peringkat puncak diduduki Yasonna Hamonangan Laoly dan ada pula Edhy Prabowo di peringkat kelima. Saya menyeleksi lagi menteri-menteri yang muncul dalam survei IPO dan menemukan lima orang (Syahrul Yasin Limpo tidak ada dalam daftar, tapi saya masukkan) yang sebaiknya menjadi prioritas Jokowi untuk segera dikocok ulang. Pertimbangan utamanya adalah situasi pandemi dan konteks sosial-politik hari-hari ini.

1. Yasonna Laoly

Yasonna sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia bukan orang baru. Dia pernah menjabat di posisi yang sama dalam kabinet Jokowi periode 2014-2019. Namun posisi Yasonna tidak mudah digoyahkan. Selain karena berasal dari partai penguasa, dia punya jasa besar bagi pemerintah dan DPR. Ada 91 undang-undang yang berhasil disahkan Kemenkumham bersama DPR termasuk Revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) serta revisi UU KPK menjadi UU Nomor 19 tahun 2019.

Dalam UU MD3, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mempunyai perluasan wewenang. Pertama, mereka bisa melaporkan pidana orang yang dianggap merendahkan kehormatan DPR atau anggota DPR. Kedua, siapapun anggota DPR yang diperiksa polisi, penegak hukum harus mendapat izin dari MKD terlebih dahulu.

Sedangkan UU KPK diselesaikan dalam waktu yang sangat sebentar, yakni cuma 15 hari. Salah satu pasal paling kontroversial mengatur perihal penyadapan yang dilakukan KPK. Lembaga antirasuah itu harus mendapat izin terlebih dahulu dari Dewan Pengawas KPK sebelum merealisasikan aksinya.

Andai saja tidak ada demonstrasi besar-besaran bertajuk #ReformasiDikorupsi akhir September 2019, maka pencapaian Yasonna bertambah: selesainya pembahasan Rancangan KUHP yang baru. Setelah demonstrasi yang menimbulkan ratusan korban luka-luka dan sejumlah orang meninggal dunia, desakan Yasonna mundur dari jabatan Menkumham mencuat.

Bagi pemerintah dan DPR, Yasonna mungkin semacam pahlawan; tapi bagi masyarakat, sosok Yasonna tentu jauh dari idaman. Apalagi setelah ia memberikan informasi keliru tentang keberadaan Harun Masiku, buronan KPK. Publik, setidaknya 64,1 persen dari responden IPO yakin, ada orang lain yang lebih cocok mengisi posisi Menkumham.

“Yasonna terus menerus membuat masalah, bahkan semakin membawa Indonesia pada situasi hukum yang tidak menentu," kata peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman kepada reporter Tirto, Rabu (29/1/2020).

2. Edhy Prabowo

Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Edhy Prabowo menjadi pilihan dari 36,1 persen responden IPO agar dilengserkan. Sejak awal, Edhy memang sudah tidak populer karena mencetak aturan yang bertentangan dengan mantan Menteri KP Susi Pudjiastuti.

Susi sudah melarang ekspor benih lobster dari Indonesia dengan Peraturan Menteri KP Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting dan Rajungan dari Wilayah Negara Republik Indonesia. Namun aturan ini dianulir Edhy dengan Peraturan Menteri KP Nomor 12 pada Mei 2020.

Yang lebih mengkhawatirkan, sebagaimana penelusuran majalah Tempo, sebagian perusahaan yang bisa melakukan ekspor lobster memiliki afiliasi dengan kader Partai Gerindra dan tentu saja keluarga Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra.

Nama-nama yang muncul antara lain: Sugiono, Sudaryono, Rauf Purnama, Dirgayuza Setiawan, Harryadin Mahardika, Simon Aloysius Mantiri, Iwan Darmawan Aras, hingga Hashim Djojohadikusumo dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. Dua nama terakhir adalah adik dan keponakan Prabowo.

Kebijakan yang terkesan tak populis ini semakin membuat wacana mengganti Edhy dari jabatan Menteri KP santer dibicarakan.

Permasalahannya, Edhy tidak mendapat posisi Menteri KP karena keahliannya. Dia adalah perwakilan Partai Gerindra. Kehadiran kader Gerindra dalam kabinet adalah usaha Jokowi untuk berdamai dengan Prabowo setelah drama pilpres yang sangat runcing.

Jika Edhy diganti, apakah Prabowo dan Gerindra mengikhlaskan kursi itu diberikan pada politikus partai lain? Atau pertanyaan pentingnya, apakah Permen KP Nomor 12 tahun 2020 akan dicabut? Belum tentu. Tapi yang pasti, Edhy tidak menuai apresiasi dari masyarakat Indonesia.

3. Terawan Agus Putranto

Menyepelekan penyebaran COVID-19, lambat memetakan penyebaran COVID-19, terlambat menanggulangi penularan COVID-19, serta tidak melakukan tindakan dan penilaian tepat soal COVID-19 di Indonesia. Itulah kelemahan-kelemahan Terawan sebagai Menteri Kesehatan selama pandemi.

“Kalau ada [Corona] ya kita sudah siap semua, antisipasinya, apa yang mau dikerjakan, tahu siapa berbuat apa dan apa yang mau dilakukan, itu yang sangat penting," tegas Terawan pada Januari 2020 ketika COVID-19 belum terdeteksi di Indonesia.

Nyatanya, Indonesia belum siap.

Tidak ada protokol kesehatan yang memadai, tidak ada alat perlindungan diri (APD) yang cukup bagi petugas kesehatan, tidak ada deteksi dan pemantauan ketat dari pemerintah terhadap warga yang terinfeksi COVID-19, tidak ada rumah sakit yang cukup untuk karantina, tidak cukup tersedia bahan baku obat dan masker, tidak ada alat tes yang cukup bagi 270 juta penduduk Indonesia, pengajuan PSBB sulit, dan masih ada beberapa—jika bukan banyak—kekeliruan Menteri Kesehatan lainnya.

Pada 2 Maret 2020 jumlah pasien terdeteksi virus COVID-19 hanya 2 orang. Sekarang jumlah itu mencapai 76.699 per tanggal 11 Juli 2020. Angkanya meningkat sebanyak 37 ribu kali lipat dari sebelumnya. Bukan hanya di Jakarta, sekarang COVID-19 juga mewabah secara pesat di berbagai provinsi, terutama Jawa Timur.

Jangankan menyampaikan solusi pencegahan COVID-19, Terawan sekarang hampir tidak pernah muncul untuk memberikan keterangan pada publik. Saat rapat dengan DPR, pertemuan berlangsung tertutup. Dicegat wartawan, Terawan juga mengelak. Terawan yang sempat moncer kala proses penunjukan menteri, kini menjadi pilihan nomor 2 bagi responden IPO untuk segera ditukar dengan orang lain.

4. Ida Fauziyah

Di bawah Yasonna dan Terawan ada Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah dengan perolehan suara 47,5 persen. Saat survei dilakukan antara 8-25 Juni 2020, setidaknya ada 3 juta pekerja dirumahkan atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Untuk menanggulangi PHK ini, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan mengebut peluncuran Kartu Prakerja. Namun program yang seharusnya menjadi jaring pengaman sosial untuk meningkatkan kemampuan bekerja justru menjadi olok-olok.

Mulai dari materi yang sebenarnya bisa diakses gratis, proses tender yang tidak transparan, juga signifikansi pelatihan dengan kebutuhan masyarakat untuk melamar kerja di kemudian hari. Belum lagi masalah pencairan insentif yang kerap terlambat serta sertifikat yang tak kunjung keluar. Parahnya lagi, mereka yang ikut kelas juga harus membayar sejumlah uang.

Pada 30 Juni 2020 program Kartu Pra Kerja resmi dihentikan pemerintah. Kendati gelombang kedua PHK di Indonesia akibat COVID-19 masih membayangi, pemerintah masih gagap. Setelah Kartu Prakerja, tidak ada lagi inovasi untuk memberi pekerjaan atau pelatihan bagi mereka yang terdampak PHK.

Kenormalan baru yang didengungkan Jokowi memang memberi napas segar bagi sejumlah orang secara ekonomi, tapi di sisi lain korban positif COVID-19 juga kian banyak karena mitigasi yang buruk. Namun jika masyarakat memilih tinggal di rumah, tentu biaya hidup akan jadi faktor lain yang bisa membahayakan hidup mereka.

Infografik Konfrontasi Reshuffle Jokowi

Infografik Konfrontasi Kelalaian Menteri Jokowi. tirto.id/Sabit

5. Syahrul Yasin Limpo

Sebenarnya Jokowi bisa saja keliru mengatakan menterinya bersikap "biasa-biasa saja". Pada awal Juni 2020 Kementerian Pertanian yang diampu Syahrul Yasin Limpo tengah menciptakan inovasi baru, yakni kalung antivirus corona yang dibuat dari ramuan eucalyptus (kayu putih) dan bahan-bahan lain. Penemuan ini bahkan membuat Kementan berusaha mendekati investor dari Jepang dan Rusia.

Kalung itu punya prospek yang bagus di tengah pandemi. Setidaknya itu yang mungkin dipikirkan SYL. Bagi sebagian orang, penemuan itu mungkin sama saja dengan obat corona racikan Ningsih Tinampi.

Pada 4 Juli 2020 SYL sendiri yang mengumumkan akan melakukan produksi massal kalung garapan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementan. Dalam 15 menit, kalung ini diklaim bisa membunuh 42 persen virus corona. Niscaya, jika dipakai setengah jam, maka 80 persen virus corona tidak kuat bertahan.

“Kami yakin bulan depan sudah dicetak, diperbanyak,” ucap Syahrul dalam konferensi pers di Kementerian PUPR, Jumat (4/7/2020).

Nahas, bukan (cuma) corona, tapi publik juga tak sanggup menahan diri. Di tengah pandemi, penemuan setengah hati memang bisa jadi senjata makan tuan. Pertama, tidak ada hasil uji klinis yang menyatakan kalung ini berimplikasi pada kesembuhan pasien positif COVID-19. Kedua, izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) hanya sebagai “jamu” bukan antivirus. Penamaan antivirus corona, apalagi yang kebanyakan orang mengartikannya sebagai COVID-19, tentu agak menyesatkan.

Keputusan produksi kalung yang melampaui ranah Kemenkes muncul dari SYL setelah murka dan ancaman reshuffle Jokowi disampaikan di depan hidungnya sendiri. Seakan-akan tidak peduli, dia justru membuat keputusan nyeleneh lain yang menjadi perdebatan dan kebingungan publik.

Kemarahan Presiden Hanya Permainan Teater?

Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, salah satu orang kepercayaan Jokowi, justru meyakinkan tidak akan ada reshuffle dalam waktu dekat. Alasannya, kementerian dan lembaga sudah bekerja dengan baik. Isu reshuffle menjadi “tidak relevan” dengan mengesampingkan fakta Jokowi menegur lagi menterinya dalam rapat terbatas.

Jika kebijakan Mentan dan keempat menteri lain yang menjadi patokan Pratikno dan Jokowi tidak melakukan reshuffle dalam waktu dekat, mungkin benar bahwa murka Jokowi merupakan tindakan teatrikal semata. Bisa jadi Jokowi memang "orang baik" dan memilih percaya menterinya, atau dia memang tidak sadar bahwa SYL dan menteri lainnya tak peduli dengan ancaman reshuffle.

Apapun itu, dengan atau tanpa reshuffle, Jokowi dan kabinetnya barangkali memang tidak menimbang pendapat publik.

==========

KONFRONTASI adalah ulasan serta komentar atas isu sosial-politik yang sedang menghangat di Indonesia. Sajian khusus ini ditayangkan setiap Senin dan diasuh oleh penulis politik Felix Nathaniel.

Baca juga artikel terkait RESHUFFLE KABINET JOKOWI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan