Menuju konten utama
Dampak Pandemi Corona

Resesi Q3 2020 Bukan untuk Ditakuti, tapi Jangan Juga Diremehkan

Menkeu Sri Mulyani sudah memangkas pertumbuhan ekonomi Q3 2020 menjadi hanya minus 2 sampai 0,2%.

Resesi Q3 2020 Bukan untuk Ditakuti, tapi Jangan Juga Diremehkan
Presiden Jokowi lagi memberikan pengarahan penanganan Covid-19 dan PEN di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (3/8/2020). Kris/Biro Pers Sekretariat Presiden

tirto.id - Resesi hampir pasti terjadi di Indonesia lantaran kontraksi pertumbuhan di kuartal III (Q3) 2020 semakin tak terhindarkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani, Jumat (14/8/2020), sudah memangkas pertumbuhan ekonomi Q3 2020 menjadi hanya minus 2 sampai 0,2%, melengkapi pertumbuhan negatif Q2 2020 minus 5,3% untuk memenuhi syarat resesi secara teknis (technical recession).

Meski resesi sudah di pelupuk mata, namun sejumlah pembantu Presiden Joko Widodo tampaknya tak melihat itu sebagai sesuatu yang genting.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan misalnya, meminta masyarakat tidak perlu takut berlebihan bila Q3 nanti pertumbuhan terkontraksi dan Indonesia masuk resesi. Luhut bilang pemerintah sedang berusaha keras untuk menghindari itu. Namun bila terjadi pun, kata dia, itu bukan apa-apa lantaran ia yakin Indonesia bisa cepat pulih.

“Kalau itu [resesi] terjadi, maka itu bukan akhir dari segalanya,” ucap Luhut dalam diskusi virtual di akun Youtube Bank Indonesia, Minggu (30/8/2020).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Minggu (30/8/2020) lalu, malah menyatakan jika kontraksi pertumbuhan Q3 2020 lebih dangkal dari Q2 2020, maka itu sudah dianggap bukan resesi. Ia menilai resesi baru terjadi jika kontraksi yang dangkal menjadi kontraksi yang lebih dalam di kuartal berikutnya.

Pandangan Airlangga ini bertolak belakang dengan buku teks ekonomi yang menyatakan resesi terjadi bila terjadi kontraksi selama dua kuartal berturut-turut tanpa memandang angka.

Resesi sebenarnya sangat berpengaruh bagi masyarakat. Saat indikator makro ekonomi melaporkan pertumbuhan terkontraksi, masyarakat dengan ekonomi terbawah menanggung akibatnya, baik itu ikut menyumbang peningkatan statistik pengangguran maupun kemiskinan. Buktinya terpampang jelas dalam resesi ekonomi 1998. Waktu itu kontraksi pertumbuhan terjadi cukup panjang.

Data Bank Dunia, sepanjang 1998, ada kontraksi 4,88% (Q1), 13,47% (Q2), 16% (Q3), 17,93% (Q4). Kontraksi berlanjut di Q1 1999 dengan angka 6,41%.

Imbasnya angka pengangguran terbuka berikut tingkat pengangguran terbuka (TPT) melonjak. Pada 1997 angkanya hanya 4,18 juta (TPT 4,69%), 1998 menjadi 5,04 juta (TPT 5,46%), dan 1999 6,03 juta (TPT 6,36%).

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Selasa (28/7/2020), memperkirakan jumlah tambahan pengangguran mencapai 3,7 juta orang. Dengan data Februari 2020 6,98 juta orang, total 2020 menjadi 10,58 juta orang dengan kisaran TPT 9,1%.

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap mengatakan pada resesi 2020, pengangguran juga akan meningkat seperti 1998. Peningkatannya bahkan bisa lebih buruk mengingat resesi kali ini disebabkan krisis kesehatan COVID-19.

Pada resesi 1997-1998, tidak ada ancaman pandemi sehingga UMKM--yang per 2018 lalu menyumbang 57,8% PDB--masih bisa berdenyut. Sebagian besar masyarakat yang putus kerja pun bisa terjun ke sektor informal. Imbasnya, konsumsi tetap bisa berjalan dan menjadi sumber pertumbuhan dengan porsi lebih dari 50 persen PDB.

Kali ini UMKM terdampak signifikan, seiring menurunnya aktivitas ekonomi dan permintaan. Sektor informal seperti ojek daring pun terpuruk lantaran pandemi mengharuskan adanya pembatasan sosial. Konsumsi 2020 diperkirakan terus melemah seiring ketidakpastian kapan COVID-19 berakhir.

“Pengangguran di 1997 tidak begitu tinggi naiknya. Sekarang khawatirnya pengangguran naik lebih tinggi. Belum lagi angka tenaga kerja pulang dari luar negeri karena pemburukan ekonomi global,” ucap Manap saat dihubungi Selasa (25/8/2020).

Di samping itu, Indonesia juga mendapat tambahan kemiskinan. Pada Senin (22/6/2020), Bappenas memperkirakan angka kemiskinan di akhir 2020 menyentuh 28,7 juta orang (10,63%), naik dari tahun lalu sebanyak 25,14 juta orang (9,41%). Pada 2021 Kemenkeu memperkirakan angkanya tetap tinggi dengan tingkat kemiskinan 9,2-9,7%.

Data BPS menyebut pada 1996, sebelum krisis, kemiskinan mencapai 34 juta (tingkat kemiskinan 17,47%) dan meningkat menjadi 49,5 juta (24,2%) setelah resesi 1998. Pada 1999, angkanya masih tinggi, 48 juta (23,43%).

Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri mengkritik langkah pemerintah yang terlampau mengejar target agar Q3 tidak resesi pada saat itu hampir pasti terjadi. Menurutnya, pemerintah perlu fokus menangani COVID-19 dan memperbanyak tes agar pemburukan ekonomi tidak berlanjut.

Menurutnya tidak masalah jika Q3 Indonesia mengalami resesi selama penanganan COVID-19 berjalan seperti Malaysia dan Singapura yang akhir-akhir ini sudah mulai membuka lagi ekonominya. Namun jika terus seperti ini, maka ia memperingatkan ekonomi akan lebih lama lagi terpuruk bahkan membentuk huruf W: pembaikan yang terjadi sesudah periode pemburukan akan kembali terpuruk.

“Jangan target tidak resesi di Q3. Target September benahi virus. Buat apa ambil risiko huruf W, ekonomi naik turun output akan melorot, kepercayaan ke pemerintah turun,” ucap Faisal di DPR RI, Senin (31/8/2020).

Baca juga artikel terkait RESESI EKONOMI atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz