Menuju konten utama

Represi di Tanah Papua: Blokir Internet, Doxing, dan Hukum Aktivis

Aksi rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pertengahan Agustus lalu merembet ke banyak hal, termasuk pemblokiran internet dan dijeratnya beberapa aktivis.

Represi di Tanah Papua: Blokir Internet, Doxing, dan Hukum Aktivis
Kerusuhan Wamena. Topi pelajar yang tertinggal di halaman kantor bupati Jayawijaya. Kondisi gedung terbakar. Albertus Vembrianto untuk Tirto.id

tirto.id - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) sempat memblokir layanan data internet di Papua dan Papua Barat. Mereka berharap dengan kebijakan itu situasi sosial pasca-kerusuhan, yang terjadi karena munculnya aksi rasisme mahasiswa Papua di Surabaya pada pertengahan Agustus lalu, lebih cepat pulih.

Kebijakan ini diumumkan dalam Siaran Pers No. 155/HM/KOMINFO/08/2019 bertanggal 21 Agustus 2019. Pemblokiran berlaku sejak putusan dikeluarkan.

Patroli Siber--gabungan Polri, Badan Siber dan Sandi Negara, serta Kemkominfo--kemudian menutup puluhan ribu konten yang mereka anggap provokatif perihal Bumi Cenderawasih setelah kebijakan ini keluar.

"Patroli gabungan dari 14-27 Agustus sudah menutup 32 ribu lebih konten yang bersifat provokatif, diskriminatif, dan hoaks. Ada 1.750 konten yang diajukan untuk diblokir dan di-take down," kata Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Selasa (27/8/2019).

Dedi, mantan Wakapolda Kalimantan Tengah, lantas mengatakan kebijakan tersebut "untuk kepentingan bangsa." Kedaulatan NKRI, katanya, lebih penting ketimbang ekonomi yang relatif melambat karena kebijakan ini--salah satu yang terkena imbas adalah penjual daring.

Ia pun meminta masyarakat untuk tidak "melihat dari perspektif yang berbeda".

Di Jakarta, kebijakan ini dikritisi para aktivis.

Damar Junianto, Koordinator SafeNET, jaringan relawan pembela hak-hak digital se-Asia Tenggara, mengatakan banyak dampak negatif yang muncul dari penghentian akses internet di Papua, satu-satunya kawasan di Indonesia yang terlarang bagi wartawan internasional.

Selain sisi ekonomi, pemblokiran ini justru bisa jadi bumerang. "Justru masyarakat kesulitan untuk mengetahui apa yang terjadi di lapangan," kata Damar di Kantor Kemkominfo, Senin (26/8/2019).

Bagi Damar, pemblokiran ini adalah bukti bahwa cara berpikir pemerintah terlalu dangkal. Ia bahkan mengatakan internet shutdown adalah "salah satu alat represi pemerintah di abad ke-21".

Pernyataan tersebut, tentu saja, disangkal pemerintah. Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengulang pernyataan Kemkominfo bahwa pemblokiran ini dilakukan semata-mata untuk kepentingan nasional.

"Semua harus paham kepentingan keamanan nasional," kata Moeldoko, Kamis (22/8/2019).

Meski pemerintah sudah mencabut pemblokiran itu pada 5 September, tapi koalisi masyarakat sipil, termasuk SAFEnet, membawa persoalan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Selain Kominfo, koalisi juga menggugat Presiden Joko Widodo.

Dijerat Hukum & Doxing

Kerusuhan karena aksi rasisme merembet ke hal-hal lain, termasuk perkara hukum yang menjerat para aktivis yang dikenal fokus mengadvokasi atau setidaknya memperhatikan isu-isu Papua.

Saat ini enam aktivis Papua, termasuk Surya Anta, tengah menjalani persidangan dengan tuduhan makar dengan ancaman pidana penjara maksimal seumur hidup. Mereka ditahan karena mengibarkan bendera bintang kejora di Istana ketika demonstrasi menentang rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya.

Soal kasus Surya, Ketua Bidang Pengembangan Organisasi YLBHI Febriyonesta bertanya retoris: "apa bahayanya pengibaran bintang kejora?"

Sementara kuasa hukum Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya dalam sidang praperadilan Surya Anta dkk, AKBP Nova Irone Surentu, mengatakan "sudah penyelidikan dan penyidikan, sudah ada dua alat bukti yang sah." Artinya, penangkapan Surya dkk menurutnya sudah melalui proses yang benar.

Advokat Veronica Koman juga dijadikan tersangka kasus penyebaran berita bohong dan konten provokatif terkait penyerangan dan pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Rekening Veronica diblokir, dan bahkan paspornya hendak dicabut--konsekuensinya dia bisa diusir dari negara tempat ia sementara bermukim.

Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia atau Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (UNHCHR), badan PBB yang bekerja untuk mempromosikan dan melindungi HAM di seluruh dunia, buka suara ihwal perkara Veronica.

Para ahli dalam badan itu mengkritik sikap aparat terhadap perempuan tersebut. Mereka menilai Indonesia semestinya melindungi hak pembela HAM seperti Veronica. Para ahli yang berkomentar di antaranya Clement Nyaletsossi Voule, David Kaye, Dubravka Šimonović, Meskerem Geset Techane, dan Michel Forst.

"Kami mendesak [pemerintah Indonesia] untuk segera bertindak melindungi Veronica Koman dari intimidasi dan berbagai tuduhan terhadapnya. Agar ia bisa terus melaporkan secara independen tentang situasi HAM di negara ini," kata mereka di Jenewa, Senin (16/9/2019).

Terkait desakan ini, Kepala Bidang Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Frans Barung Mangera pernah mengatakan kalau pihak luar tak bisa mengintervensi, karena "hukum Indonesia mempunyai kedaulatan sendiri."

Ada pula aktivis yang menjadi korban doxing--publikasi sepihak informasi pribadi seseorang--perihal Papua.

Victor Mambor, jurnalis Koran Jubi dan jubi.co.id, yang juga pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, salah satu korbannya. Ia jadi korban doxing di Twitter oleh akun bernama Dapur (@antilalat), Kamis (22/8/2019).

Febriana Firdaus, seorang jurnalis lepas, pun di-doxing akun @maklambeturah. Akun tersebut membagikan informasi pribadi Febriana, juga membantah jumlah korban yang ditulis Febriana dengan dalih itu berbeda dengan versi pemerintah. Febriana sendiri telah mengonfirmasikan soal itu kepada Wakil Bupati Deiyai dan gereja setempat.

Dandhy Dwi Laksono juga diserang habis-habisan oleh akun-akun di Twitter karena dianggap memprovokasi Papua. Cuitan yang dipersoalkan polisi dan didengungkan buzzer ini berisi informasi soal kekerasan di Jayapura dan Wamena, termasuk mereka yang "luka tembak".

Soal serangan dari akun-akun itu, Dandhy berkata kepada reporter Tirto: "Aku seperti sedang dilempar ke kerumunan mata yang lapar dan dikeroyok ramai-ramai."

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino