Menuju konten utama

Repotnya Meminta Keringanan Kredit yang Dijanjikan Jokowi

Realisasi kelonggaran kredit bagi masyarakat terdampak COVID-19 tak semudah yang dibayangkan.

Repotnya Meminta Keringanan Kredit yang Dijanjikan Jokowi
Ilustrasi Pinjaman dana tunai kartu kredit. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Presiden Joko Widodo telah mengumumkan adanya keringanan kredit bagi masyarakat yang perekonomiannya terdampak pandemi COVID-19. Dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan Selasa (24/3/2020) lalu, ia juga menegaskan bahwa kebijakan tersebut menyasar para pekerja informal.

Tentu, kabar tersebut menjadi angin segar, salah satunya bagi mereka menggantungkan nasibnya di jalanan seperti pengemudi ojek online (Ojol). Pasalnya, sejak pemerintah mengimbau warga untuk bekerja dari rumah (work from home) dan menjauhi tempat keramaian, pendapat harian mereka anjlok.

Namun, bagaimana realisasi kebijakan tersebut di lapangan?

Adi Sumanta, seorang pengemudi Ojol di kawasan Jakarta, mengaku mengalami kendala dalam mengakses keringanan kredit yang dijanjikan pemerintah. Kendala ini, kata dia, juga dihadapi teman-temannya yang tergabung dalam kelompok Grab Melipir3 (GM3).

Ia bercerita soal mekanisme pengajuan keringanan kredit yang tak jelas dan berbeda-beda di tiap bank atau perusahaan pembiayaan. Padahal, ia berharap prosesnya bisa dilakukan dengan mudah.

Ia dan beberapa rekannya sesama pengemudi Ojol mengaku telah menyiapkan surat pengajuan dan ditembuskan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui e-mail. Namun, mereka tak kunjung mendapat kepastian, bahkan setelah mereka menghubungi OJK melalui ponsel masing-masing.

“Mereka (perusahaan leasing) suruh kita kirim surat ke OJK tapi setelah kita kirim surat ke OJK malah dipingpong lagi oleh OJK, kalau hal itu adalah wewenang leasing,” ucap Adi saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (31/3/2020).

Alhasil Adi dan teman-temannya mengaku bingung bagaimana mereka dapat memperoleh manfaat keringanan yang dijanjikan Presiden Jokowi. Belum lagi, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman sempat mengeluarkan pernyataan kalau relaksasi ini diprioritaskan bagi mereka yang positif COVID-19. Pernyataan itu kemudian diralat oleh Fadjroel.

Sampai saat ini, ia dan teman-temannya belum ada yang berhasil mengakses keringanan kredit itu. Bahkan, meski ada Presiden dan Ketua OJK agar perusahaan menghentikan aktivitas penagihan sementara waktu, sejumlah rekannya masih didatangi debt collector.

“Bukan kesulitan mengajukan jadinya, serasa mimpi bakal dapat keringanan,” ucap Adi.

Adi lantas membuka peluang menggelar aksi lantaran janji yang diucapkan Jokowi ternyata tak kunjung dijalankan di lapangan. "Kami para Ojol siap ‘menghijaukan’ kantor-kantor mereka apalagi kalau sampai debt collector datang," ucap Adi.

Muhamad Rizqy, pengemudi Ojol lainnya, bercerita tentang hal serupa. Ia mengaku dipersulit saat mendatangi kantor perusahaan leasing yang menerbitkan kreditnya.

Awalnya ia mengira kalau imbauan Presiden Jokowi mengarah pada penangguhan angsuran 1 tahun. Namun ternyata relaksasi yang diberikan adalah perpanjangan tenor dengan bunga yang rendah.

Ia mencontohkan awalnya cicilannya berlaku dengan tenor 21 bulan dan tiap bulannya membayar Rp990 ribu. Dalam relaksasi, maka tenornya menjadi 21 + 12 bulan (33 bulan) dengan cicilan per bulan Rp693 ribu per bulan.

Rizqy lantas memutuskan tidak ikut mengambil keringanan ini. Pasalnya prosedur penambahan tenor memang sudah menjadi prosedur pada umumnya seperti cicilan 3 tahun yang dibuat sedemikian rupa agar ringan. Menurutnya, hal itu tidak lebih baik dari cicilan yang sudah ia jalani karena sebagai debitur tentu semua orang ingin tagihannya cepat lunas.

“Keringanan yang di berikan bukan memberi solusi yang baik, untuk mencari uang buat makan sehari hari saja sudah susah,” ucap Rizqy saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (31/3/2020).

“Jadi saya pribadi hanya bisa pasrah, toh kita enggak bisa berbuat banyak,” imbuhnya.

Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Ajib Hamdani pun sempat menyampaikan kalau kebijakan relaksasi ini terkesan setengah hati.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 11 Tahun 2020 yang menjadi landasan relaksasi ini katanya hanya payung hukum jika perbankan/leasing bersedia memberi relaksasi kredit bagi nasabahnya.

Artinya, POJK itu hanya bersifat imbauan dan relaksasi kredit dikembalikan pada kebijakan masing-masing perbankan atau leasing.

Menurutnya jika mau efektif pemerintah perlu memberi insentif karena perbankan/leasing juga terdampak dari pandemi Corona. Tujuannya agar neraca perbankan tetap sehat atau positif dengan insentif pemerintah.

“Makanya jadi menimbulkan dispute antara perbankan/leasing dengan nasabah,” ucap Ajib saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (28/3/2020).

Menanggapi hal itu Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno belum dapat berkomentar lebih lanjut. Suwandi menyebutkan mereka sedang berdiskusi dengan perusahaan aplikasi yang menaungi para pengemudi Ojol.

“Lagi diskusi. Dengan manajemen Go-jek dan Grab. Nanti kalau sudah ada hasilnya kita sampaikan,” ucap Suwandi dalam pesan singkat, Selasa (31/3/2020).

Juru Bicara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sekar Putih Djarot menjelaskan bahwa keringanan kredit memang dikhususkan bagi masyarakat terdampak COVID-19 yang nilai kreditnya di bawah Rp10 miliar.

Sektor-sektornya terdiri dari pekerja berpenghasilan harian, ojek online, nelayan dan usaha mikro yang kemampuan membayar cicilannya terpengaruh. Bentuk keringanannya pun macam-macam. Antara lain penyesuaian pembayaran cicilan pokok/bunga, perpanjangan waktu atau kebijakan lain oleh bank/leasing.

Debitur juga harus mengajukan permohonan keringanan ke bank/leasing dan dilanjutkan penilaian antara lain apakah debitur terdampak langsung atau tidak langsung, serta riwayat pembayaran pokok/bunga.

Sebab, restrukturisasi diberikan berdasarkan profil debitur dan diskusi kedua belah pihak untuk memperoleh bentuk yang disepakati.

“Baik skema atau jangka waktu dari keringanan ini, akan sangat tergantung dari penilaian bank/leasing terhadap kemampuan membayar masing-masing debitur,” ucap Sekar dalam pesan singkat yang diterima reporter Tirto, Selasa (31/3/2020).

Hal tersebut juga tertera dalam penjelasan tertulis mengenai pertanyaan yang sering diajukan atau frequently ask question (FAQ).

Soal keringanan yang diberikan, tulis OJK, memang bergantung pada perbankan atau leasing itu sendiri. Bank/leasing akan melakukan penilaian atau assesment pada debitur jika mereka terdampak langsung atau tidak maupun historis pembayaran pokok/bunga.

Restrukturisasi juga diberikan bila ada kesepakatan antara debitur dan perusahaan leasing termasuk keringanan jumlah dan perpanjangan waktu yang diberikan. Kesepakatan dicakapi melalui diskusi antar debitur dengan bank/leasing.

Debitur juga diminta proaktif mengajukan permohonan restrukturisasi via email atau melalui situs bank/leasing. OJK juga mengimbau agar masyarakat bertanggung jawab dalam memanfaatkan relaksasi ini.

“Dalam periode 1 tahun tersebut debitur dapat diberikan penundaan/penjadwalan pokok dan/atau bunga dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan ataupun asesmen bank/leasing,” ucap Sekar dalam keterangan tertulis itu.

Juru Bicara Presiden RI Fadjroel Rachman melalui keterangan tertulis, Selasa (31/3/2020) juga menegaskan bahwa ketentuan keringanan kredit mengacu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11 Tahun 2020.

Jika ada praktik debt collector yang tidak sesuai ketentuan, nasabah dapat melaporkannya ke OJK dengan menyebutkan nama, perusahaan bank/leasing, dan masalah yang dihadapi.

Baca juga artikel terkait RELAKSASI KREDIT atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana