Menuju konten utama

Rencana Kenaikan Harga Rumah Subsidi Bisa Ancam Industri Properti

Rencana pemerintah menaikkan harga perumahan subsidi dinilai bisa berimbas pada kondisi industri properti yang makin terpuruk.

Rencana Kenaikan Harga Rumah Subsidi Bisa Ancam Industri Properti
Pembangunan rumah subsidi di kawasan Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat, Jumat (5/10/2018). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya.

tirto.id - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengusulkan kenaikan harga rumah bersubsidi yang menggunakan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Kenaikan harga diusulkan sebesar 3 persen hingga 7,75 persen.

Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul mengatakan, usulan ini dipicu adanya kenaikan harga material bangunan dan upah pekerja yang berimbas pada kenaikan biaya konstruksi rumah subsidi.

Belum lagi, faktor kenaikan harga tanah yang turut memengaruhi harga jual hunian.

“Ada kenaikan harga tanah dan harga material, ini juga penyesuaian untuk 2019. Untuk 5 tahunnya, nanti kami bahas lagi untuk 2020-2024,” kata Khalawi saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (23/1/2019).

Kondisi tersebut diamini Sekretaris Jenderal DPP Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida.

Menurut dia, saat ini pengembang tengah dirundung beban tanggung jawab yang cukup besar untuk menyediakan rumah berkualitas di tengah tingginya biaya pembangunan hunian saat ini.

Paulus mengatakan, organisasinya khawatir bila harga rumah tetap ditekan terus, maka kualitas bangunan akan menurun.

Sebab, pengembang harus melakukan banyak penghematan agar rumah yang dibangun memiliki harga jual sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah.

Sehingga, kata Paulus, kenaikan harga rumah subsidi menjadi hal yang sulit dihindari.

Paulus bahkan mengatakan para pengembang yang tergabung dalam REI mengusulkan kenaikan yang lebih tinggi dari usulan pemerintah.

“Hal ini dilakukan dengan segala pertimbangan. Memang kami [pengembang REI] mintanya kemarin 10-20% pada 2018. Kami sudah berunding, sudah sepakat,” kata Paulus.

Data Kementerian PUPR menunjukkan batasan harga jual rumah sejahtera tapak pada tahun 2018 dipatok paling tinggi Rp205 juta dengan rincian:

  • Jawa kecuali Jabodetabek: Rp130 juta
  • Sumatera kecuali Kepulauan Riau dan Bangka Belitung: Rp130 juta
  • Kalimantan: Rp 142 juta -Sulawesi: Rp 136.000 juta.
  • Maluku & Maluku Utara: Rp148,5 juta
  • Bali & Nusa Tenggara: Rp148,5 juta
  • Papua & Papua Barat: Rp 205 juta
  • Kepulauan Riau & Bangka Belitung: Rp136 juta
  • Jabotabek Rp148,5 juta.

Infografik CI rumah Subsidi

Infografik CI rumah Subsidi

Daya Beli Masyarakat Mesti Diperhatikan

Namun demikian, kenaikan harga rumah subsidi tak cukup hanya mempertimbangkan kenaikan biaya produksi saja. Pemerintah dan pengembang juga perlu dipertimbangkan aspek lain, seperti daya beli masyarakat.

Sebab, menurut Kepala Departemen Riset dan Konsultasi Savills Indonesia, Anton Sitorus lesunya daya beli masyarakat berimbas pada rendahnya pertumbuhan industri properti.

"Interes [ketertarikan] orang untuk membeli properti itu, kan, sebenarnya dalam dua tahun ini juga belum meningkat. Setelah kita mengalami periode stagnan dalam dua tahun terakhir ini,” kata Anton.

Data survei harga properti residensial (SHPR) yang dilakukan Bank Indonesia memang mengindikasikan adanya perlambatan kenaikan harga properti residensial di pasar primer.

Hal tersebut tercermin dari indeks harga properti residensial (IHPR) yang hanya tumbuh 0,42 persen (qtq) di kuartal III 2018, lebih lambat dari kuartal II 2018 yang mencapai 0,76 persen.

Bukan hanya itu, pada kuartal III 2018, penjualan properti residensial bahkan terpantau menurun hingga 14,14 persen (qtq), lebih dalam dari penurunan kuartal II 2018 yang 0,08 persen.

Penurunan terjadi pada semua tipe rumah, terutama disebabkan oleh menurunnya permintaan konsumen, terbatasnya penawaran perumahan dari pengembang, dan tingginya suku bunga kredit perumahan (KPR).

“Jadi kalau kata saya sih [rencana kenaikan] kurang tepat,” kata Anton.

Menurut Anton, jika pemerintah memaksakan menaikkan harga perumahan subsidi tersebut, maka bisa jadi akan bakal berimbas pada kondisi industri properti yang makin terpuruk.

Hal itu, kata Anton, bukan hanya akibat dari kenaikan harga jual, tapi juga pada faktor psikologis masyarakat yang alergi dengan kata 'kenaikan harga'. Bila hal tersebut tetap dilakukan, maka bisa saja masyarakat semakin enggan membeli rumah.

“Orang dengar kata 'harga naik' saja tanpa lihat itu naiknya berapa itu, apakah naiknya 10% atau apakah naiknya 20% atau mungkin cuma 2%. Jadi itu bukan sesuatu yang tepat untuk menaikan harga,” kata dia.

Karena itu, kata Anton, ada baiknya pemerintah mengkaji ulang rencana kenaikan harga rumah subsidi sebelum disahkan. Saat ini, usulan aturan tersebut masih dibahas di Kementerian Keuangan.

“Kalau ingin menaikkan harga itu sebaiknya kalau pasarnya sudah membaik. Seperti daya beli mulai meningkat, kemudian perbaikan ekonomi sudah semakin terlihat,” kata Anton.

Meski demikian, kata Anton, opsi kenaikan harga rumah subsidi bukan tertutup sama sekali. Apalagi, bila kenaikan ini bisa memacu para pengembang untuk meningkatkan kualitas bangunannya.

Sebab, banyak keluhan masyarakat yang sudah kepalang membeli rumah subsidi, tapi kualitasnya kurang. Mulai kualitas air yang buruk, kualitas bangunan yang kurang optimal hingga urusan utilitas seperti sambungan listrik yang belum terpasang sempurna.

Baca juga artikel terkait RUMAH SUBSIDI atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz