Menuju konten utama

Rencana Aturan Karantina 7 Hari, Luhut: Jangan Pikir Tak Konsisten

Selain soal kebijakan PCR, pemerintah tidak menutup kemungkinan untuk memperpanjang kembali karantina selama 7 hari.

Rencana Aturan Karantina 7 Hari, Luhut: Jangan Pikir Tak Konsisten
Ilustrasi Swab Tes. foto/Istockphoto

tirto.id -

Pemerintah tengah mengkaji rencana pengetatan mobilitas masyarakat dengan menerapkan kebijakan wajib PCR. Pemerintah juga berencana untuk mengetatkan kembali aturan karantina menjadi 7 hari.

Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan menuturkan, pemerintah mencatat ada kenaikan mobilitas akibat relaksasi penanganan COVID-19. Ia mencatat ada 34 persen kabupaten/kota Jawa-Bali yang mengalami kenaikan mobilitas di atas basis minimum.

Pemerintah juga melihat ada beberapa daerah yang mengalami pemulihan ekonomi yang positif sementara ada daerah yang mengalami lonjakan kasus.

Luhut mengaku akan mengkaji ulang pelaksanaan penerapan PCR apalagi dalam rangka mencegah penyebaran COVID-19 di saat Natal dan Tahun Baru (Nataru).

"Untuk itu kehati-hatian dalam menghadapi Nataru harus menjadi prioritas bagi pemulihan ekonomi yang lebih cepat. Ini perlu kita perhatikan kita sedang evaluasi, apakah nanti penahanan mobilitas penduduk ini akan kita terapkan kembali pelaksanaan dari PCR sedang kami kaji," kata Luhut dalam konferensi pers daring, Senin (8/11/2021).

Luhut pun menuturkan, pemerintah mencatat bahwa ada beberapa sektor yang menerapkan protokol kesehatan (prokes) sesuai ketentuan pemerintah dan tidak.

Dalam peninjauan pekan lalu di Bali dan Bandung, mereka menemukan bahwa mall dan pusat perbelanjaan menerapkan prokes secara ketat. Sementara itu, penerapan di tempat wisata cukup baik meski ada beberapa lokasi yang lemah dalam penerapan jaga jarak dan PeduliLindungi.

Pemerintah justru menemukan pelanggaran di Beach Club dan restoran di Bali berupa tidak ada pembatasan kapasitas, physical distancing, tidak ada pelaksanaan prokes dari pengelola hingga paksaan penerapan PeduliLindungi.

Hal tersebut juga terjadi di klub dan bar di Kota Bandung. Pemerintah pusat berharap agar pemerintah daerah bisa tegas dalam pelaksanaan prokes.

Di sisi lain, Luhut juga menyampaikan bahwa pengkajian pelaksanaan PCR dilakukan karena varian delta new atau A.Y.42 sudah masuk di Malaysia.

Pemerintah tidak ingin kecolongan kemasukan varian COVID-19 dari Inggris itu. Oleh karena itu, selain soal kebijakan PCR, pemerintah tidak menutup kemungkinan untuk memperpanjang kembali karantina selama 7 hari dari saat ini hanya 3 hari.

"Jangan ada pikiran kita tidak konsisten. Strategi kita taktik kita akan selalu bermuara pada COVID-19 ini. Tadi disinggung Pak Menkes, dari Inggris masuk ke Malaysia itu varian delta A.Y.42 dan ini menurut saya mesti kita waspadai," kata Luhut.

"Jadi bukan tidak mungkin nanti kalau orang datang dari luar, yang kita bisa lakukan mungkin karantinanya naik jadi 7 hari. Ini juga tidak tertutup kemungkinannya. Jadi jangan nanti dikatakan bolak balik. Tidak sama sekali. Kita sangat hati-hati," tegas Luhut.

Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman menyambut positif rencana pemerintah untuk memperpanjang kembali masa karantina. Ia mengaku langkah karantina 7 hari memang harus dilakukan di masa vaksinasi.

"Ini sebetulnya yang harus diambil dari sejak awal bahwa masa karantina yang efektif ini di era sudah ada vaksinasi, di era PCR dilakukan ketika orang datang bahkan sebelum kepergian itu 7 hari," kata Dicky kepada Tirto, Selasa (9/11/2021).

Menurut Dicky, keputusan tersebut sudah tepat karena vaksinasi lengkap mengurangi waktu karantina dari 14 hari menjadi 7 hari. Ia beralasan, vaksinasi sekaligus tes PCR sudah mampu mengamankan 7 hari karantina pertama.

"Nanti ketika hari ke-5 atau ke-6 baru dilakukan tes kembali PCR untuk memastikan bahwa sebelum masuk ke wilayah dia itu negatif. Ini memang keputusan yang tepat berbasis sains," kata Dicky.

Akan tetapi, Dicky kurang sepakat jika pemerintah ingin menerapkan kebijakan pelaksanaan berbasis PCR untuk pengetatan mobilitas. Ia mengingatkan bahwa pendekatan testing dalam negeri harus mengedepankan strategi kesehatan masyarakat.

Strategi ini berbeda dengan strategi klinis yang mengedepankan mendeteksi, mendiagnosa dan mengonfirmasi kasus layaknya di fasilitas kesehatan maupun isolasi karantina.

Sementara itu, pendekatan public health adalah pendekatan untuk mendeteksi seseorang terinfeksi atau tidak. Selain itu, butuh kecepatan dalam mendeteksi karena membawa risiko penyebaran sehingga strategi testing yang dipilih harus selain efektif yang mudah dan cepat.

"kalau bicara yang murah dengan kriteria tadi cepat, juga mudah ya rapid test antigen atau yang disebut lateral flow test," kata Dicky.

Dicky lantas mengutip hasil penelitian University College London menyatakan rapid test antigen sangat berguna sebagai alat tes kesehatan untuk memutus transmisi virus.

Berdasarkan penelitian universitas, orang yang memiliki hasil tes positif harus dipercaya untuk dikarantina. Hasil riset juga merekomendasikan bahwa hasil rapid test antigen tidak perlu dikonfirmasi dengan PCR.

Hasil tes juga dinilai 80 persen efektif mendeteksi infeksi COVID bahkan naik menjadi 90 persen ketika pasien tes tengah mudah menularkan penyakit.

Hasil riset Harvard School of Public Health juga mendukung penggunaan rapid test antigen untuk mendeteksi COVID.

Hasil penelitian menyatakan bahwa rapid test bisa mendeteksi orang yang berpotensi menularkan COVID.

Oleh karena itu, penggunaan rapid test lebih baik daripada PCR untuk mendeteksi masalah perjalanan. Ia bahkan merekomendasikan agar rapid test antigen bisa juga digunakan untuk tes di sekolah hingga event musik besar bagi masyarakat tidak bergejala.

"Jadi memang cukup rapid test antigen di dalam negeri. Bahkan ke depan kalau vaksinasi sudah di atas 80 persen ya sudah enggak perlu ada tes," tegas Dicky.

Baca juga artikel terkait CEGAH VARIAN AY42 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Nur Hidayah Perwitasari

Artikel Terkait