Menuju konten utama

Relokasi GKI Yasmin Tak Menyelesaikan Akar Masalah Intoleransi

Rencana Wali Kota Bogor Bima Arya menghibahkan lahan untuk relokasi GKI Yasmin dinilai tidak menyelesaikan akar masalah intoleransi.

Jemaat Gereja Kristen Indonesia Yasmin Bogor dan Huria Kristen Batak Protestan Filadelfia Bekasi merayakan Natal ke-8 di Taman Pandang Istana, Monas, Jakarta Pusat Rabu (25/12/2019). tirto.id/Adi Briantika

tirto.id - Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor, Jawa Barat memasuki babak baru setelah 15 tahun berpolemik. Wali Kota Bogor Bima Arya menghibahkan lahan untuk relokasi pembangunan GKI Yasmin yang selama ini disegel karena ditolak sebagian warga. Namun, langkah ini dinilai tidak menyelesaikan akar masalah intoleransi yang selama ini terjadi.

Bima Arya mengatakan Pemkot Bogor telah memberikan hibah lahan untuk pembangunan rumah ibadah baru untuk GKI Yasmin, Minggu (13/6/2021). Pemberian lahan itu dianggap sebagai solusi polemik penyegelan GKI Yasmin selama 15 tahun terakhir.

Bima Arya berencana merelokasi GKI Yasmin Bogor yang sebelumnya berada di Jln. KH Abdullah bin Nuh Kav 31 Taman Yasmin Kota Bogor ke daerah Kelurahan Cilendek Barat, Bogor dengan luas 1.668 meter persegi.

Penyerahan Berita Acara Serah Terima (BAST) hibah lahan tersebut dilakukan langsung oleh Bima kepada Ketua Majelis Jemaat GKI Pengadilan Bogor Krisdianto di lokasi.

Kendati telah dihibahkan, tapi Pemkot Bogor masih menunggu kelengkapan berkas Izin Mendirikan Bangunan (IMB), gambar, hingga desain bangunan gereja dari GKI Yasmin. Nantinya Pemkot Bogor akan melakukan koreksi desain yang diberikan.

“Semua tergantung kesiapan desain. Kalau tidak ada perbaikan mendasar bisa kurang dari sebulan. Kalau semua sesuai, ya langsung diterbitkan izin," kata Bima Arya kepada reporter Tirto, Senin (14/6/2021).

Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menilai relokasi GKI Yasmin tidak akan menyelesaikan akar intoleransi di daerah tersebut ataupun Indonesia. “Ini kan hanya penyelesaian pragmatis dan solusi politis, bukan berdasarkan konstitusi," kata Bonar kepada reporter Tirto, Selasa (15/6/2021).

Ia mengatakan berdasarkan riset SETARA Institut, pemerintah daerah selalu melakukan pola relokasi apabila tidak ada titik terang antara pengurus rumah ibadah dengan warga. Semestinya, pemerintah tidak boleh kalah dari kelompok intoleran.

“Daripada ada gangguan keamanan dan stabilitas, akhirnya pemda dan aparat memaksa korban untuk relokasi,” kata dia.

Menurut Bonar, tidak ada jaminan jemaat GKI Yasmin dapat beribadah dengan aman apabila direlokasi. Pemda harus menjamin keamanan mereka.

“Untuk menghilangkan akar intoleransi bukan relokasi, melainkan pemerintah daerah harus melakukan jalur dialog antar warga dengan pengurus rumah ibadah agar menemukan titik terang," kata dia.

Relokasi Ditolak GKI Yasmin

Pengurus GKI Yasmin menyatakan menolak relokasi yang akan dilakukan oleh Wali Kota Bogor Bima Arya. Alasannya, pembangunan GKI Yasmin sah secara hukum berdasarkan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung Nomor 127 PK/TUN/2009 tertanggal 9 Desember 2010.

GKI Yasmin didampingi Koalisi Lintas Iman dan HAM yang terdiri dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), Setara Institute, Human Rights Working Group LBH Jakarta, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

“Kami menolak relokasi, kami menolak pemecah belahan. Buka segera gereja sah kami," kata pengurus GKI Yasmin, Bona Sigalingging saat konpers daring, Selasa (15/6/2021).

GKI Yasmin menyatakan dua Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo gagal untuk memastikan kepatuhan dua wali kota Bogor, Diani Budiarto dan kini, Bima Arya, pada putusan Peninjauan Kembali (PK) MA Nomor 127 PK/TUN/2009 tertanggal 9 Desember 2010 yang telah berkekuatan hukum tetap yang menyatakan sahnya IMB gereja GKI Yasmin.

Kemudian rekomendasi wajib Ombudsman RI bernomor 0011/REK/0259.2010/BS-15/VII/2011 tertanggal 12 Oktober 2011, yang juga menyatakan sahnya IMB gereja GKI Yasmin, diabaikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sehingga GKI Yasmin hingga kini masih disegel secara ilegal, seturut kemauan pihak kelompok intoleran.

“Segel ilegal yang dipasang oleh Pemkot Bogor pada bangunan gereja GKI Yasmin masih dibiarkan terpasang. Serah terima Akta Hibah yang dilakukan Bima Arya sekali lagi bukan merupakan tindakan hukum yang diperintahkan oleh Mahkamah Agung dan Ombudsman kepada Wali kota Bogor," kata Bona.

Oleh karena itu, kata Bona, GKI Yasmin meminta kepada Bima Arya untuk memegang janji dan komitmennya terhadap hukum, konstitusi, dan Bhinneka Tunggal Ika. Hentikanlah intervensi, pemecahbelahan institusi gereja, dan patuhi yang diperintahkan oleh hukum dan konstitusi, kata dia.

Bona menambahkan, berhentilah menggeser isu dari persoalan ketidakpatuhan hukum dan konstitusi seorang pejabat publik yang seolah-olah menjadi persoalan "bersatu atau tidak bersatunya gereja”.

“Bukalah segera segel ilegal yang sampai sekarang dipasang di gereja GKI Yasmin," kata dia.

Selain itu, GKI Yasmin juga meminta kepada Presiden Jokowi untuk mengoreksi kepala daerah yang gagal mematuhi hukum dan konstitusi. Ia minta hentikan diskriminasi dan intoleransi serta pembangkangan hukum yang dilakukan Walikota Bogor selama bertahun-tahun.

“Koreksilah kebijakan relokasi Bima Arya atas GKI Yasmin karena relokasi ini akan menjadi contoh buruk penyelesaian kasus intoleransi serta kepatuhan hukum dan konstitusi di Indonesia sebab cenderung meminggirkan siapapun kelompok yang dianggap berbeda dan minoritas,” kata dia.

Sementara itu, Ketua Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menyatakan berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, Akta Perjanjian Hibah Tanah bertentangan dengan Hukum (Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap), sehingga Akta Perjanjian Hibah tersebut haruslah dinyatakan tidak sah.

Lalu berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata jelas bahwa suatu Perjanjian atau kesepakatan tidak boleh bertentangan dengan Hukum atau Undang-undang (UU), termasuk Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Selain itu, berdasarkan Pasal 227 KUHPidana, perbuatan Walikota Bogor yang memberikan akta hibah tanah tersebut tergolong sebagai perbuatan pidana, karena Pengadilan sudah mencabut hak Walikota dan sudah masuk pada tahap Ketiga dalam Pasal 21 ayat (3) PBM No.9/8 Tahun 2006.

Bagi Isnur, tindakan Pemkot Bogor ini sudah berpotensi melanggar hukum. Pihaknya siap untuk memberikan fasilitas hukum apabila para korban ingin mengajukan gugatan hukum.

“YLBHI dan LBH Jakarta tentu akan mempertimbangkan kalau memang korban menyampaikan kesediaannya dan kesiapannya tentu kita akan siapakan juga gugatan kembali,” kata Isnur dalam diskusi daring, Selasa (15/6/2021).

Natal GKI Yasmin Bogor

Jemaat Gereja Kristen Indonesia Yasmin Bogor dan Huria Kristen Batak Protestan Filadelfia Bekasi merayakan Natal ke-8 di Taman Pandang Istana, Monas, Jakarta Pusat Rabu (25/12/2019). tirto.id/Adi Briantika

Jalan Berliku GKI Yasmin

Polemik bermula pada 19 Juli 2006. Pemerintah Kota Bogor menerbitkan IMB Nomor: 645.8-372/2006 untuk pembangunan rumah ibadah atas nama Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pengadilan (Yasmin). IMB itu diberikan di lahan yang terletak di Jalan KH Abdullah Bin Nuh Nomor 31, Kelurahan Curug Mekar, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.

Namun, pada 11 Maret 2011 Pemkot justru mengeluarkan Keputusan Walikota Bogor Nomor 645.45-137 Tahun 2011 tentang Pencabutan Keputusan Walikota Bogor Nomor 645.8- 372 Tahun 2006 tentang IMB atas nama GKI Pengadilan Bogor.

Pencabutan itu diambil karena muncul penolakan dari warga terkait adanya kasus pidana pemalsuan persetujuan warga. Selain itu, keputusan diambil dalam rangka menindaklanjuti hasil rapat Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Kota Bogor pada 24 Januari 2011.

Kemudian pada 5 Juli 2012 Pemkot Bogor menawarkan rencana relokasi kepada Ketua Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Kristen Indonesia (BPMS GKI).

Bima Arya mengaku, sejauh ini terdapat sejumlah proses yang sudah dilalui, ada 30 pertemuan resmi dan 100 lebih pertemuan informal yang digelar untuk mencari ujung penyelesaian konflik. “Ini pula menjadi bukti bahwa negara hadir untuk menjamin hak yang harus didapatkan oleh seluruh jemaat GKI Pengadilan," kata dia.

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bogor mengatakan warga setuju GKI Yasmin direlokasi ke Kelurahan Cilendek. Ketua FKUB Kota Bogor Hasbullah mengatakan sejak 10 Mei 2021, pihaknya telah melakukan verifikasi berkas untuk 90 jemaat pengguna rumah ibadah dan 60 warga sekitar sebagai syarat pendirian gereja.

Alhasil, FKUB mendapatkan 144 tanda tangan jemaat dan dilengkapi oleh tanda tangan 73 masyarakat sekitar. “Warga setuju berdirinya Gereja Yasmin, di Cilendek, mereka yang tanda tangan lebih dari jumlah persyaratan," kata Hasbullah kepada reporter Tirto, Senin (14/6/2021).

Setelah mendapat persetujuan warga, FKUB melakukan verifikasi lapangan, cek ulang ke RW setempat, kelurahan hingga kecamatan. Setelah itu, melakukan komunikasi dengan tokoh agama sekitar untuk menjaga toleransi dan kerukunan di sekitar rumah ibadah.

Selain GKI Yasmin, masih banyak rentetan peristiwa kasus intoleransi di Indonesia. Seperti Jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Ciketing Mustikajaya Bekasi Jawa Barat; tujuh rumah ibadah di Rancaekek, Bandung, Jawa Barat pada 12 Desember 2020 yang ditindak oleh sejumlah ormas.

Terkait HKBP, bisa dilihat di link ini.

Kemudian jemaah Gereja Katolik Santo Johannes Baptista Bogor pada Bogor, 2 April 2010 yang terpaksa pindah kebaktian paskah tiga kilometer dari tempat ibadah mereka setelah mendapat ancaman warga.

Selain itu, rencana pembangunan pura di Desa Sukahurip, Kabupaten Bekasi, juga ditolak sekelompok orang dengan tudingan jumlah penganut Hindu di kampung itu sangat minim pada 9 Mei 2019.

Gereja GPdI Bantul, 8 Januari 2020. Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta telah memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) rumah ibadah. Namun warga menolak gereja itu karena dinilai tidak sesuai dengan peruntukannya. Solusinya akhirnya relokasi.

Baca juga artikel terkait GKI YASMIN atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz