Menuju konten utama

Religiusitas dalam Serat Centhini

Anggapan Serat Centhini merupakan bacaan yang sarat ajaran Kamasutra tidak dibantah oleh banyak ahli, namun para ahli juga menggarisbawahi muatan religiusnya.

Religiusitas dalam Serat Centhini
Para pembicara dan moderator Seminar "Tafsir Serat Centhini, seksualitas dan religiusitas dalam Serat Centhini serta hubungannya dengan tradisi Islam di Nusantara." (Dari kanan) Sudibyo, M.hum selaku moderator, kemudian pembicara antara lain: Dr. Kartika Setyawati, Elizabeth D. Inandiak, Dr. Kartika Setyawati, dan Dr. Manu W. Padmadipura Wangsawikrama. [Tirto/Mutaya]

tirto.id - Ia seorang sutradara, dramawan, produser, dan performer yang lahir di Indonesia namun tinggal dan besar di Singapura. Ia sempat menempuh pendidikan National University of Singapore dan Nanyang Academy of Fine Arts Singapura.

Ia telah memproduksi, menulis, dan mengarahkan produksi teater sendiri sejak 2011. Ia juga memperoleh dana seni hibah dari Yayasan Kelola untuk karya inovatif pada tahun 2012, dan baru-baru ini menyelesaikan program Lab. Substation Direksi (sebuah program dari The Substation Singapore dan Dewan Kesenian Singapura).

Perempuan ini bernama Agnes Christina, produser pertunjukan yang terinspirasi dari Serat Centhini.

Namun, sebelum ia dapat menggelar pertunjukan seni yang bersumber dari Serat Centhini itu, Agnes harus melalui perjalanan panjang dengan mencari serat itu secara utuh sebanyak 12 jilid. Setelah menemukannya pun Agnes tak serta merta dapat membaca, apalagi memahaminya.

Di Pendopo Agung Royal Ambarrukmo, di sela-sela acara penutupan Borobudur Writer and Culture Festival (BWCF) 2016 Agnes bercerita, “Saya jatuh cinta dulu, baru saya pilih pertunjukan "Reading Centhini". Alasan [saya] beli buku Serat Centhini [dulu] cukup standar cuma gara-gara dengar dari teman, kok kayaknya lucu ya?” papar Agnes.

Ia berusaha dengan mencarinya ke toko buku yang ada di mal. “Tentu saja nggak ketemu,” katanya terkekeh. Waktu itu Agnes belum sadar bahwa Serat Centhini adalah buku langka. Sekalipun ada, paling-paling cuma ringkasannya.

“Waktu itu lumayan susah nyari buku serat Centhini, dalam versi apapun, ya udah gua ke pasar loak, gua ke Pasar Palasari di Bandung, lumayan jitu, mereka langsung ngeluarin buku Centhini terbitan 1981, langsung dibayar. Tapi begitu dibayar, gua mikir kayaknya ada yang salah, bukunya cuma satu, Serat Centhini kan ada 12 jilid. Gua lihat lagi itu buku ternyata itu ringkasan,” kata Agnes yang kemudian kembali tertawa.

Tapi Agnes tidak kapok. Dia justru semakin bersemangat mencari. “Berubah jadi petualangan, makin susah nyari bukunya malah makin dikejar,” katanya.

Ia mengaku bahagia ketika menemukan cara terbaik agar bisa mendapatkan 12 jilid Serat Centhini. Tidak lagi mencari-cari di toko buku di mal-mal ataupun toko buku loak, ia pergi ke Pusat Javanologi di Yogyakarta. Di sana, Agnes memfotokopi semua jilid Centhini.

Beberapa waktu setelah ia berhasil membaca dan mencermatinya, tentunya dengan berbagai bantuan, Agnes memutuskan membuat pertunjukan dari sari-sari Serat Centhini seperti digelar pada malam penutupan BWCF 2016 (10/10/2016) yang bertajuk "Reading Centhini".

Pertunjukan kontemporer yang ia sutradarai sendiri itu dimulai dengan cerita tokoh Amongraga melarikan diri dari Giri setelah Giri dapat ditaklukkan oleh pasukan Mataram. Dalam pelariannya, Amongraga menjalani petualangan duniawi dan spiritual sampai berjumpa dengan Tambangraras.

“Amongraga menikah dengan Tambangraras, namun di malam pertama Amongraga tidak menyetubuhi Tambangraras. Ia memberi Tambangraras ilmu keagamaan selama empat puluh hari empat puluh malam,” ungkap Agnes, kala memulai pentasnya.

Di akhir pentas ia melontarkan pertanyaan, “Setelah 200 tahun Serat Centhini, apakah kita sudah benar-benar membacanya?”

Pandangan Terhadap Serat Centhini

Sama halnya dengan pertanyaan reflektif Agnes terhadap informasi yang terkandung di dalam naskah, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pun bertanya-tanya apa yang sebenarnya terkandung dalam Serat Centhini?

“Centhini ini bicara erotika, spiritualitas, atau tasawuf?” tanyanya pada malam pembukaan acara BWCF 2016, di Magelang, Rabu malam.

Jika Ganjar Pranowo melemparkan pertanyaan kritis, Elizabeth D. Inandiak sebagai penulis dan penerjemah Serat Centhini merefleksi Serat Centhini sebagai ajaran lengkap. Ia mengajak pembacanya untuk bertanya-tanya kenapa serat tersebut harus diberi judul Serat Centhini, padahal aslinya Suluk Tambangraras?

“Versi saya jika dianggap hampir tidak benar tidak apa-apa, tapi versi saya bahwa kenapa berubah nama jadi Serat Centhini karena [Centhini] satu-satunya yang berhasil. Amongraga tidak berhasil mencari Tuhan dengan cara melepaskan diri dari masyarakat. Itu tidak mungkin, akhirnya dia kalah,” kata Elizabeth.

“Tiba-tiba Centhini hilang dari kisah. Menurut saya dialah yang benar-benar menyatu dengan suluk [simbol ilahi], dengan Tuhan, karena dia terus mengabdi dan tidak sombong. Karena kesombongan kerohanian itu bahaya juga, [seperti] yang dialami Amongraga [...]. Saya pikir itulah ajaran utama dalam Serat Centhini, yakni kalau menjalani jalan spiritual harus memiliki guru supaya tidak jadi sombong,” papar Elizabeth.

Seksualitas dalam Serat Centhini

Elizabeth, perempuan berkewarganegaraan Perancis ini menyebut Serat Centhini merupakan naskah yang mengandung ajaran lengkap tentang Jawa. “Saya anggap Serat Centhini memang ajaran yang sangat luar biasa,” imbuhnya.

Ia membutuhkan waktu kurang lebih lima tahun untuk menerjemahkan Serat Centhini. Sebagai penyair, ia tidak menyangkal bahwa ia telah menambahkan hal-hal tertentu dan mengurangi beberapa hal.

“Ada yang saya tinggalkan, ada yang saya kembangkan secara halus,” ujarnya terkait dengan ragam hubungan seks yang ada di dalam serat.

Elizabeth menganggap ragam hubungan seks di dalam serat itu juga merupakan bagian dari petualangan spiritual. “Pengembaraan tokoh-tokoh ini kelihatannya kacau, sebenarnya tidak,” ujarnya.

Senada dengan keterangan yang diungkapkan oleh Elizabeth, Kartika Setyawati yang juga telah bertahun-tahun mengkaji Serat Centhini mengungkapkan dalam Serat Centhini ada beberapa macam ragam hubungan seksual yang ditulis gamblang.

Ia menyebut ragam hubungan itu ada yang berupa hubungan lelaki-perempuan, atau lelaki-lelaki dengan ronggeng didasari atas rasa suka sama suka, atau dengan motivasi uang. Dari semua hubungan badan yang ada di Serat Centhini, hanya satu hubungan yang dilakukan suami-istri.

“Yang lain dilakukan atas dasar suka sama suka, baik dengan ronggeng laki-laki ataupun ronggeng perempuan,” terang Kartika.

Menariknya, dalam teks hampir selalu disebut bahwa para tokoh menyucikan diri setelah mereka melakukan persetubuhan yang berakhir di pagi hari. “Mereka mengambil air wudhu lalu salat,” kata Kartika.

Karena banyak cerita seks, tak berlebihan jika ada sebagian masyarakat menyebut Serat Centhini sebagai bacaan porno.

Seorang penulis yang fokus pada ilmu tasawuf, Agus Wahyudi yang juga lulusan Jurusan Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya UGM menyatakan label “ bacaan porno” ini harus dikoreksi, karena istilah itu berkonotasi negatif.

Ia mempertimbangkan ada kemungkinan para penulis Serat Centhini tidak memiliki niat negatif saat menyajikan gambaran seksual di dalam karya mereka. Maka, menurut Agus, salah satu istilah yang lebih tepat adalah menyebutnya bacaan beraroma seks dengan tujuan memberi gambaran aktivitas seksual yang ada di Jawa.

Aspek-aspek Religius Dalam Serat Centhini

Lalu apakah aktivitas seksual itu lebih mendominasi isi Serat Centhini? Jawabnya tidak. Pembahasan tersebut adalah bagian dari keseluruhan isi. “Banyak pembahasan tentang seksualitas dalam Serat Centhini, tapi lebih banyak religiusnya,” kata Kartika.

Kartika mengatakan religiusitas di dalam Centhini ini dimengerti sebagai kesalehan, pengabdian terhadap agama. Dalam Serat Centhini hal yang berhubungan dengan religius tercermin dalam banyak hal, dari tuntunan dan keterangan bersifat lahiriah maupun batiniah.

Ia menyebut beberapa contoh, misalnya tuntunan berwudhu, tentang sahnya sembahyang, tentang perlunya salat, tentang Dzat Hyang Widi dan perincian tentang “sipat rong puluh.”

Selain itu, disinggung pula tentang pengetahuan tentang turunnya Lailatul Qadar, keterangan tentang ganjaran orang hafal Quran, keterangan tentang mandi pada hari Rebo wekasan pada bulan Sapar serta puasa sunnah, juga tentang urutan cara mandi dan doanya.

Agus Wahyudin melengkapi keterangan Kartika Setyawati tersebut di atas dengan mengatakan ajaran yang ada dalam Serat Centhini tidak hanya terbatas pada ajaran Islam saja namun juga ada ajaran animisme-dinamisme, Hindu, dan Budha.

Misalnya tentang Jayengsari dan Rancangkapti (dua adik Syekh Amongraga) yang berkelana sampai di Gunung Tengger, di sana mereka bertemu dengan seorang resi dan diberi wejangan tentang ajaran agama Buddha dan enam alirannya.

“Namun, karena Serat Centhini adalah produk santri, ditambah lagi dengan kondisi masyarakat Jawa yang mayoritas berstatus muslim, maka ajaran Islam lebih mendominasi,” kata Agus.

Dalam makalah yang dibuatnya untuk diskusi bertajuk “Setelah 200 tahun Serat Centhini, Erotisisme dan Religiusitas dalam Kitab-kitab Nusantara,” disebutkan ajaran Islam yang dijabarkan dalam Serat Centhini ada dua: ajaran fikih (hukum Islam) dan ajaran tasawuf (kebatinan Islam).

Lebih jauh, ia menjelaskan ajaran fikih dalam serat ini cenderung sederhana dan terkesan apa adanya. Porsinya juga jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jabaran ajaran tasawuf yang memang menjadi jiwa bagi Serat Centhini itu sendiri.

Menurut Agus, pokok ajaran tasawuf Jawa adalah martabat tujuh. Ajaran ini berisi tentang eksistensi manusia dan Tuhan, bahwa pada dasarnya manusia dan alam semesta ini adalah tajali (penampakan diri) Tuhan.

Ia menambahkan di dalam serat Centhini ajaran Martabat Tujuh juga dijabarkan bahkan dalam dua versi. Pertama dijelaskan melalui lisan Syekh Amongraga. Yang kedua, oleh Panembahan Rama atau Panembahan Kajoran.

“Serat Centhini tidak memberi penilaian bahwa yang satu sahih dan yang satunya tidak, hanya sekedar menyampaikan informasi saja,” tutup Agus.

Baca juga artikel terkait SEKSUALITAS atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Maulida Sri Handayani