Menuju konten utama

Relawan Jadi Komisaris BUMN, Politik Balas Budi Era Jokowi?

Akademisi menilai banyaknya relawan yang diangkat sebagai komisaris BUMN merupakan politik balas budi dari Jokowi.

Relawan Jadi Komisaris BUMN, Politik Balas Budi Era Jokowi?
Presiden Jokowi tegaskan dukungan untuk Palestina di Sidang PBB. antaranews/Biro Pers Setpres

tirto.id - Eks relawan dan pendengung (buzzer) Presiden Joko Widodo pada masa kampanye Pemilihan Presiden mendapat jabatan empuk: komisaris di sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Salah satunya adalah Ulin Yusron. Ia diangkat sebagai Komisaris Independen PT. Indonesia Tourism Development (ITDC) pada 8 Oktober lalu. Ulin dikenal keras membela Jokowi saat Pilpres 2019. Ia beberapa kali melakukan doxing terhadap para kelompok oposisi yang berseberangan dengan Jokowi. Tak ada tindakan apa pun terhadap dia--walaupun jelas melanggar aturan. Posisi Ulin sebagai buzzer dianggap sejumlah pihak bikin dirinya tak tersentuh hukum.

Ada juga Dyah Kartini Rini. Ia baru saja diangkat menjadi Komisaris Independen PT. Jasa Raharja. Dyah adalah relawan-kategori politik yang populer sejak Pilkada DKI 2020--Jokowi sejak 2012. Yang terbaru adalah Eko Sulistyo, mantan tim sukses (timses) Jokowi sejak Pilkada Solo. Eko ditunjuk sebagai Komisaris PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Eko juga tercatat pernah menjabat sebagai Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan.

Terakhir ada nama Kristia Budiyarto, yang ditunjuk sebagai Komisaris Independen PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni). Kistia aktif membela Jokowi di media sosial dengan nama @kangdede78, dengan pengikut hampir 100 ribu. Salah satu kampanyenya adalah mendukung UU Cipta Kerja.

Sebelum Ulin, Dyah, Eko, dan Dede telah ada Budi Arie Setiadi yang diangkat sebagai Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi pada Oktober 2019. Ia pernah menjadi Ketua Relawan Projo.

Para relawan dan buzzer ini, selain mendapat gaji dan tunjangan lewat pajak yang dibayar warga, juga boleh rangkap jabatan berdasarkan Peraturan Menteri BUMN Per-10/MBU/10/2020 yang diteken pada 9 Oktober lalu.

Peraturan itu merupakan revisi atas Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-02/MBU/02/2015 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN. Di aturan tahun 2015, ketika BUMN di bawah Menteri Rini Mariani Soemarno, kebijakan seperti itu tidak ada. Tidak boleh ada rangkap jabatan.

Bab V tentang Rangkap Jabatan dan Berakhirnya Jabatan, khususnya huruf A angka 1, menyebutkan: "Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas dapat merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris pada perusahaan selain BUMN, dengan ketentuan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan sektoral."

Sebelum aturan itu diteken, sebetulnya sudah ada ratusan komisaris yang rangkap jabatan, menurut pantauan Ombudsman.

Bahaya Balas Budi Politik

Dosen manejemen dan kebijakan publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Gabriel Lele menilai kebijakan ini buruk secara organisasi. Perusahaan pelat merah menjadi tidak optimal karena komisarisnya tidak kompeten.

"Jika disertai kompetensi mungkin tidak jadi masalah, tapi tidak sedikit yang tidak kompeten," kata Gabriel saat dihubungi wartawan Tirto, Senin (2/11/2020) sore. "Sisi lain, BUMN dijadikan instrumen politik: dipakai untuk kampanye atau dipaksa membiayai aktivitas politik partai."

Alih-alih mengangkat relawan--yang sangat kental unsur balas budi--ia meminta Jokowi dan Menteri BUMN Erick Thohir membuat lelang jabatan secara terbuka. Kementerian BUMN bisa menyiapkan persyaratan, kriteria, dan prosedur agar setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat bisa ikut prosesnya. Ini semua dalam rangka menjunjung tinggi asas transparansi.

"Meski transparansi hanya bisa mengurangi tapi tidak menghapus nepotisme. Mekanisme minimal seperti itu saja kita tidak punya, padahal di saat yang sama pemerintah sangat gencar dengan isu good governance," katanya.

Praktik ini sebetulnya sudah terjadi sejak era Orde Baru, yang berubah hanya subjeknya saja, katanya. "Jika dulu banyak untuk pensiunan ABRI, sekarang untuk tampung tim sukses. Prakteknya bahkan lebih buruk."

Projo, organisasi pendukung Jokowi yang sempat ingin bubar tetapi batal saat Budi Arie diberi kursi Wamendes, justru menganggap jabatan yang diberikan untuk para pendukung Jokowi masih kurang banyak.

"Jumlah kawan-kawan pendukung Jokowi yang menduduki kursi kepengurusan BUMN, baik itu komisaris atau pun direksi, saat ini, terlalu sedikit," kata Sekretaris Jenderal Projo Handoko saat dihubungi wartawan Tirto, Senin sore.

Menurutnya, berkebalikan dengan pernyataan Gabriel, banyak pendukung Jokowi yang kompeten. "Untuk itu saya persilakan Menteri BUMN untuk bertanya langsung kepada Presiden Jokowi soal ini," katanya.

Sementara Menteri Erick sendiri, dalam wawancara bersama Karni Ilyas, mengatakan segala pengangkatan dan pergantian "bukan didasari karena suka atau tidak suka, tapi bagian dari roadmap, transformasi, KPI (key performance indikator) yang kami inginkan."

Baca juga artikel terkait RELAWAN JOKOWI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino