Menuju konten utama

Rekonsiliasi: Suara dari Dua Simposium

Ada dua simposium yang merespons Tragedi 1965 di paruh pertama tahun 2016 ini, yakni simposium di Hotel Aryaduta pada 18-19 April dan simposium di Balai Kartini, 1-2 Juni. Simposium Aryaduta secara eksplisit mendorong terjadinya pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi sebagai penyelesaian nonyudisial atas tragedi itu. Di sisi lain, Simposium Balai Kartini memandang rekonsiliasi sudah terjadi secara alamiah dan meminta pemerintah tidak membuka-buka lagi masa lalu.

Rekonsiliasi: Suara dari Dua Simposium
Massa dari Front Pembela Islam (FPI) dan Front Pancasila membakar kain bersimbol komunis di depan kantor Gubernur Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur. Antara foto/Didik Suhartono

tirto.id - Seorang pria berbicara lantang dengan volume tinggi. Suaranya sampai ke telinga hadirin dan memantul pada dinding-dinding gedung. Ia sedang mengisahkan pejabat-pejabat pemerintahan yang dibunuh pada Peristiwa Madiun 1948 oleh PKI.

“Kepala stasiun kereta api, kepala provoost, kepala pendidikan, kepala kepolisian, kepala pengadilan, bapak saya, dibunuh. Disuruh gali lubang sendiri, kemudian dibunuh!” pekiknya.

Lelaki itu adalah Sri Edi Swasono, pakar ekonomi koperasi dari Universitas Indonesia, yang sedang berbicara pada Simposium Nasional Mengamankan Pancasila di Balai Kartini, 1-2 Juni 2016 itu.

“Mereka [PKI] selalu mulai dulu, tapi setelah kalah, lalu kita disuruh minta maaf.”

Tahun 1948, titimangsa yang dirujuk Edi, memang situasi pelik bagi Indonesia. Secara de facto, republik ini belum merdeka. Perang terjadi di mana-mana melawan Belanda yang masih bersikukuh bahwa negara ini masih Hindia Belanda; bagian negara Belanda yang terletak di timur atlas dunia. Di tengah kesulitan itu, muncul kejadian Madiun 1948.

Saat itu sistem pemerintahan negara ini masih parlementer. Presiden Soekarno merupakan kepala negara, sementara kepala pemerintahan ada di tangan Perdana Menteri M. Hatta. Gerakan Madiun 1948 kemudian dipukul oleh pemerintahan Hatta. Tak tanggung-tanggung, mantan perdana menteri Amir Sjarifuddin ditembak mati karena dianggap sebagai penggerak peristiwa itu.

Meski ada beberapa versi dan narasi tentang Madiun 1948, ada data yang menunjukkan pihak PKI membunuhi pejabat pemerintahan. Sejarawan Harry A. Poeze dalam Madiun 1948 PKI Bergerak mencatat pemberontakan dan pembantaian itu, meski kemudian gerakan kontra-teror dari pemerintahan Hatta meresponsnya dengan sangat keras. Tak sedikit anggota PKI yang dieksekusi secara massal.

Peristiwa itulah yang kemudian menjadi ingatan kolektif sebagai “kekejaman PKI.” Yang dialami oleh Sri Edi Swasono sebagai putra korban pembantaian, adalah salah satunya.

Pada Simposium Balai Kartini yang merupakan reaksi atas Simposium Aryaduta, perihal kekejaman PKI pada 1948 ini menjadi salah satu topik sentral dan menjadi poin rekomendasi. Tapi, sesungguhnya, soal ini juga dibahas dalam Simposium Aryaduta.

Agus Widjojo, panitia pengarah Simposium Aryaduta, mengatakan bahwa simposium yang digelarnya bertujuan agar para pihak dalam tragedi 1965 bisa saling-mendengar kenyataan dan versi kebenaran menurut pihak-pihak lain.

Baik pihak korban, pihak yang terlibat dalam penyerangan dan pembunuhan, juga pihak yang menyalahgunakan kewenangan (aparat negara), diberi kesempatan untuk mengemukakan apa yang terjadi pada konflik-konflik itu. Termasuk soal ingatan kolektif tentang kekejaman PKI pada 1948.

“Tahun 48 juga terjadi pembunuhan massal. Saya tidak menggunakan kata pemberontakan, tapi ada pembunuhan massal. Juga ada pembunuhan massal pada para kyai. Juga ada pembunuhan satu per satu dengan memaksakan kebijakan-kebijakan yang dipandang memaksakan terhadap kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada Pancasila. Contohnya adalah [program] tanah untuk rakyat. Contohnya [yang lain] adalah angkatan kelima kalau dalam fungsi pertahanan. Itu dianggap terlalu keras,” papar Agus dalam simposium Aryaduta.

Jumlah korban dalam tragedi 1965 adalah hal lain yang dibahas, termasuk paparan data-data dari beragam versi. Angka umum korban tewas pasca-G-30S menunjukkan 500 ribu korban tewas, seperti diutarakan sejarawan Asvi Marwan Adam. Tapi rupanya, jumlah itu dibantah oleh Mantan Komandan Peleton 1 Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Letjen Sintong Panjaitan. Ia menyebut angka yang jauh lebih kecil, yakni 80 ribu korban.

Ada pula perdebatan soal sifat dasar tragedi 65 ini: versi konflik horizontal melawan versi konflik vertikal. Versi konflik horizontal melihat tragedi terjadi karena kaum komunis “mulai duluan” dengan membunuh enam jenderal TNI. Sebagai respons, masyarakat antikomunis menghabisi mereka yang dianggap komunis dengan pola pikir “jika mereka tidak dibunuh, kita yang akan dibunuh.”

Tapi, ada pendapat yang lebih melihatnya sebagai konflik vertikal, misalnya sosiolog Ariel Heryanto. Ariel berpendapat, tragedi 1965 terjadi karena kegagalan negara secara kolektif dalam melindungi warganya.

“Apabila konflik […] hanya pada level masyarakat, maka yang terjadi adalah kekerasan yang bersifat sporadik, acak, dan lokal. Korbannya mungkin beberapa puluh atau beberapa ratus. Saya nggak bisa ngebayangin sampai seribu,” kata Ariel.

Jika memakai pendapat Ariel, maka jumlah korban versi Sintong Panjaitan yang “hanya” 80 ribu pun jadi terlalu besar untuk dikatakan sekadar konflik horizontal.

Untuk kepentingan mengekspose kebenaran dan fakta-fakta itulah, pada simposium Aryaduta, Agus Widjojo menawarkan konsep rekonsiliasi yang harus diawali dengan proses pengungkapan kebenaran. Harkristuti Harkrisnowo kemudian melengkapi ceramah Agus, bahwa kedua hal itu perlu diwadahi dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Namun, simposium yang diselenggarakan setelahnya di Balai Kartini pada 1-2 Juni—diinisiasi oleh beberapa pensiunan militer, juga beberapa organisasi yang menyatakan diri antikomunis seperti FPI (Front Pembela Islam)—bereaksi keras atas seruan untuk pencarian kebenaran atas tragedi 1965.

Pemimpin FPI Rizieq Shihab, misalnya, menyatakan kekecewaannya karena PKI disebut sebagai pihak korban. “Kalau PKI itu korban, penjahatnya siapa? Kalau mereka jadi korban, berarti penjahatnya NU, penjahatnya umat Islam, penjahatnya tentara, penjahatnya polri, penjahatnya negara!”

Terkait rekonsiliasi, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada acara itu pun tak menyambutnya secara positif. “Ini pendapat saya. Rekonsiliasi dengan siapa? Dengan PKI? Orang [sudah] pada mati kok, nggak usah lagi lah,” ucapnya, disambut tepuk tangan dan tawa hadirin.

“Yang peru direkonsiliasi adalah sekarang itu ada Orde Baru, Orde Lama, Orde Reformasi. Kalau masih ada orde-orde ini, berarti kita belum satu. Masih terpecah-pecah, padahal kita harus bersatu. Ini rekonsiliasi. Jangan dengan unsur yang lain yang sudah dikubur semua tuh. Ya nanti habis lebaran maaf-maafan lah. Maaf lahir batin, gitu,” lanjutnya, sambil menambahkan bahwa Obama pun tak minta maaf atas nama Amerika Serikat yang pada 1945 mengebom Hiroshima dan Nagasaki.

Ketua panitia pengarah Simposium Balai Kartini, Letjen (purn) Kiki Syahnakri pun berpendapat rekonsiliasi sudah terjadi secara alamiah. Lembaga khusus untuk menggelar pencarian kebenaran dan rekonsiliasi tidak diperlukan karena sudah ada Departemen Dalam Negeri yang bisa didayagunakan untuk itu.

“Untuk apa bikin bikin, apalagi nanti buat komisi lagi,” tandas Kiki.

Pada akhir acara, para pemangku acara Simposium Balai Kartini menegaskan rekomendasinya agar pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan segenap masyarakat tidak membuka kasus masa lalu lagi. Permintaan itu merupakan satu dari sembilan rekomendasi yang mereka ajukan.

Terkait resistensi ini, Agus tak terkejut. Ia sudah memperkirakan reaksi penolakan itu sejak mengupayakan digelarnya Simposium Aryaduta.

“[...] Ini pertama kali sebuah pertemuan dengan ciri yang seperti saya katakan itu bisa dilakukan secara terbuka di Indonesia setelah 50 tahun. Jadi pasti itu akan ada kekakuan-kekakuan,” katanya, saat diwawancarai secara khusus oleh Tirto.id.

Baca juga artikel terkait SIMPOSIUM NASIONAL MEMBEDAH TRAGEDI 1965 atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Hukum
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti

Artikel Terkait