Menuju konten utama
Perludem:

Tidak Etis Merekomendasikan Perwira Aktif dalam Pilkada

Perwira TNI maupun Polri harus menjaga netralitasnya dalam pilkada.

Tidak Etis Merekomendasikan Perwira Aktif dalam Pilkada
Irjen Pol Murad Ismail menyerahkan berkas pendaftaran bakal calon Gubernur Maluku kepada Ketua Komisi Pemenangan Pemilu DPD Partai Demokrat Maluku Max Marchel Sahusilawane, Maluku, Sabtu (22/7). ANTARA FOTO/Izaac Mulyawan.

tirto.id - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyayangkan sikap partai politik yang memberikan rekomendasi bagi perwira aktif, baik TNI dan Polri untuk menjadi kandidat dalam pilkada serentak 2018. Sikap ini dinilai tidak etis karena berpotensi mengganggu netralitas aparat dalam gelaran pesta demokrasi.

“Komunikasi antara parpol dan perwira aktif dengan pemberian rekomendasi itu tidak etis,” kata Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini saat dihubungi Tirto, pada Rabu malam (20/12/2017).

Pernyataan perempuan kelahiran Palembang, 12 Oktober 1979 ini adalah respons terhadap sikap PDI Perjuangan yang merekomendasikan Kepala Korps Brimob Polri Irjen Pol Murad Ismail sebagai calon gubernur (Cagub) Maluku Utara, serta rekomendasi Gerindra agar Letjend TNI Edy Rahmayadi menjadi Cagub Sumatera Utara pada Pilkada 2018.

Selain Murad dan Edy, dua perwira tinggi lain, yaitu Kapolda Kalimantan Timur (Kaltim) Irjen Pol Safaruddin dan Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Wakalemdiklat) Polri Irjen Pol Anton Charliyan juga sedang mempersiapkan diri untuk bertarung di pilkada tahun depan.

Menurut Titi, pemberian rekomendasi kepada perwira aktif sebelum mereka mengundurkan diri dapat mengganggu netralitas aparat dalam bekerja. Sedangkan, institusi TNI dan Polri secara undang-undang dituntut untuk bersikap netral.

“Ketika berniat mencalonkan diri, artinya mereka [perwira] sudah menyimpan hasrat untuk berpolitik,” kata Titi menegaskan.

Dalam hal ini, kata Titi, parpol seharusnya sudah sadar sejak awal mengenai psikologis seorang yang berniat mencalonkan diri tersebut, dan tidak perlu memberikan rekomendasi kepada perwira TNI dan Polri sebelum mereka mengundurkan diri. “Parpol harusnya sadar ada sejarah panjang yang diperjuangkan soal netralitas TNI dan Polri,” kata Titi.

Hal senada juga diungkapkan Komisioner Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti. Mantan Direktur Imparsial ini meminta agar perwira aktif yang hendak maju pilkada terlebih dahulu mundur dari jabatannya. Langkah ini harus ditempuh oleh perwira aktif Polri dan TNI yang memilih untuk terjun ke dunia politik.

Poengky menilai, wajar saja jika ada para perwira yang hendak menggunakan hak politiknya, yaitu mencalonkan diri atau dicalonkan parpol sebagai calon kepala daerah.

“Jika yang bersangkutan sudah dicalonkan parpol atau mencalonkan diri untuk maju, maka yang bersangkutan harus segera mengundurkan diri. Jika tidak segera mundur, besar kemungkinan akan terjadi konflik kepentingan,” kata Poengky kepada Tirto, Rabu (20/12/2017).

Jika merujuk pada UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI, maka pendapat Titi Angraini dan Poengky Indarti tersebut cukup beralasan. Misalnya, Pasal 28 UU Kepolisian secara tegas mengatur bahwa polisi tidak boleh melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

“Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis,” demikian bunyi Pasal 28 ayat (1) UU Kepolisian.

Sementara pada ayat (3) Pasal 28 UU Kepolisian disebutkan “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”

Hal yang sama juga berlaku bagi TNI. Pasal 39 ayat (2) UU No 34 tahun 2014 tentang TNI menyebutkan bahwa “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis” dan dalam Pasal 47 ayat (1) diatur bahwa “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”.

Perwira yang Maju Pilkada Belum Mundur

Sayangnya, meskipun sudah mengantongi rekomendasi dari partai politik, sejumlah perwira aktif tersebut masih belum mundur dari jabatan dan keanggotaannya sebagai Polri dan TNI. Salah satunya Irjen Pol Murad Ismail dan Letjend TNI Edy Rahmayadi yang sudah mendapatkan rekomendasi dari partai.

Murad menyatakan, dirinya baru akan mengundurkan diri dari Polri, pada awal Januari 2018. Hal itu karena pengunduran diri itu akan dilakukan Murad ketika dirinya sudah resmi mendaftar sebagai calon gubernur di Pilkada 2018 Provinsi Maluku.

“Selama proses-proses ini pun, kami sudah bicara sama pak Kapolri [Tito Karnavian]. Kalau seumpamanya penetapan, setelah pendaftaran, saya akan mengajukan surat pengunduran diri,” kata Murad, di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Minggu (17/12/2017).

Sementara Edy Rahmayadi juga masih tercatat sebagai perwira tinggi aktif di TNI. Pada awal Desember lalu, melalui Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/982/XII/2017, tanggal 4 Desember 2017, Edy sempat dibebastugaskan dari jabatannya sebagai Pangkostrad. Sementara jabatan barunya adalah Panglima Tinggi (Pati) Mabes AD.

Status Edy berkaitan dengan langkah politiknya untuk turut serta dalam Pilkada Sumatera Utara. UU TNI tidak membolehkan tentara aktif untuk maju atau berkontestasi memperebutkan jabatan politik apapun. Ia harus menanggalkan seragamnya terlebih dulu.

Akan tetapi, melalui Surat Keputusan Panglima TNI Bernomor Kep/982.a/XII/2017 yang dikeluarkan Selasa, 19 Desember 2017, rotasi terhadap Edy tidak berlaku. Dalam surat revisi yang ditandatangani Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, rotasi terhadap Edy diubah "menjadi tidak ada", dengan huruf yang dicetak tebal.

Preseden Buruk bagi TNI-Polri

Titi Angraini meminta kepada Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto agar meminta secara tegas kepada perwira-perwira yang mencalonkan diri sebagai bakal calon kepala daerah pada Pilkada 2018 segara mundur tanpa harus menunggu masa pendaftaran.

“Jangan menunggu ada kejadian tidak netral. Ketika mereka sudah dideklarasikan oleh partai itu artinya sudah partisan,” kata Titi menegaskan.

Lagi pula, lanjut Titi, dengan para perwira tersebut memegang rekomendasi akan mempengaruhi netralitas anak buah mereka untuk berbuat tidak netral. Sementara, kata dia, hal itu membuka peluang bagi aparat kepolisian dan TNI di semua tingkatan untuk melakukan kecurangan saat pilkada.

“Ini bisa berpengaruh buruk bagi citra TNI dan Polri di publik,” kata Titi.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi & Lalu Rahadian
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani